
Ekonomi
Ubah Paradigma Konservasi Pesisir
Proses perubahan lahan mangrove terbesar terjadi pada periode 1990-2000.
JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menegaskan pentingnya upaya konservasi lingkungan laut. Sekretaris Jenderal KNTI Iing Rohimin mengatakan, lebih dari 50 persen mangrove Indonesia hilang selama 30 tahun terakhir, yang menjadikan Indonesia memiliki laju kerusakan mangrove tercepat di dunia.
Rohimin menyampaikan, proses perubahan lahan mangrove terbesar terjadi pada periode 1990-2000 dengan total luas mangrove yang terdegradasi mencapai 52.632 hektare, hanya menyisakan 215.514 hektare pada tahun pengamatan 2019. Sebaliknya, perubahan tambak yang mencolok terjadi antara 1990-2000 yang dianggap sebagai periode konversi puncak.
"Diperkirakan 61.083 hektare atau sekitar 70 persen dari total tambak pada 2019," ujar Rohimin dalam keterangannya di Jakarta, Senin (27/5/2024).

Rohimin mengatakan, tidak adanya langkah nyata dalam upaya konservasi lingkungan akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Rohimin mengatakan nelayan tradisional anggota KNTI di berbagai daerah di Indonesia sejak zaman nenek moyang hingga saat ini telah menjadikan penjagaan lingkungan sebagai nafas dalam kehidupan sehari-hari.
"Nelayan tradisional meyakini laut dan pesisir adalah sumber kehidupan yang tidak boleh dirusak atau bahkan dihancurkan. Jika kita merusak lingkungan, sama dengan merusak sumber kehidupan kita sendiri dan itu artinya kita bunuh diri," ucap Rohimin.
Rohimin menyampaikan, banyak tokoh KNTI di berbagai daerah yang konsisten melakukan penanaman mangrove, menjaga hutan mangrove dan berjuang melawan para perusak lingkungan, seperti Latif dan Duloh di Indramayu (Jawa Barat), Zulham di Sumatra Utara, dan Amrullah di Kepulauan Riau. Namun, yang menjadi persoalan adalah deforestasi atau penghilangan hutan mangrove terus terjadi yang dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan dalih pembangunan atau peningkatan angka produksi perikanan budidaya.
"Dalih-dalih itu semuanya justru menimbulkan kerusakan yang maha dahsyat dan mengancam kehidupan dunia dengan munculnya perubahan iklim, peningkatan emisi dunia dan menurunnya sumber oksigen dunia," kata Rohimin.
Rohimin mengatakan konservasi pesisir yang dilakukan KNTI dan para pejuang lingkungan di berbagai daerah tidak akan ada artinya jika perusakan lingkungan terus terjadi, perampasan ruang hijau dan sabuk pengaman pesisir tidak bisa dihentikan dan industrialisasi yang merambah hutan mangrove terus dibiarkan.
Dia menilai upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang pentingnya konservasi pesisir tidak pernah dilakukan dan banyak masyarakat pesisir juga, yang ikut-ikutan melakuan perusakan mangrove untuk dijadikan kayu bakar ataupun untuk perluasan lahan tambaknya.
Menurut Rohimin, tantangan terbesar dalam konservasi bukan hanya penghentian perusakan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, industrialisasi perikanan, dan menjadikan lingkungan sebagai wawasan pembangunan. Rohimin mendorong ulaya penyadaran semua pihak serta menggeser paradigma konservasi dari sekadar upaya penyelamatan lingkungan semata, melainkan mendorong konservasi menjadi pusat ekonomi yang akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir.
"Paradigma dalam konservasi lingkungan selama ini hanya untuk penyelamatan dan perbaikan lingkungan hidup yang telah rusak semata, mungkin bisa ditambahkan sebagai tugas mulia menyelamatkan dunia atau bisa juga sebagai amal ibadah yang mengandung pahala bagi manusia beragama," kata Rohimin.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, sebelumnya menjelaskan, upaya konservasi wilayah laut menggunakan pendekatan kesatuan antara ekosistem pesisir seperti kawasan rawa pasang surut (tidal marsh), padang lamun, serta mangrove.
"Mangrove tidak akan bisa hidup kalau tidak ada tidal marsh yang serapan karbonnya lebih tinggi dan dia tidak boleh diganggu terus kemudian karena dia ada tidal marsh, mangrove bisa hidup dan dia terkoneksi sea grass atau padang lamun," ujar Trenggono.

Dia mengatakan, dalam perluasan kawasan konservasi perairan, yang ditargetkan mencapai 30 persen dari total area laut tanah air pada 2045, wilayah pesisir dengan potensi penyimpanan dan penyerapan karbon juga turut menjadi perhatian.
Termasuk di dalamnya ekosistem rawa pasang surut, padang lamun dan mangrove, hal itu mengingat beragam ekosistem itu memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Trenggono juga menekankan bahwa perluasan kawasan konservasi perairan merupakan salah satu kebijakan ekonomi biru yang terus diperkuat pemerintah untuk mendukung pemberdayaan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Dengan menargetkan sekitar 97,5 juta hektare area lautan menjadi kawasan konservasi pada 2045, maka berpotensi memberikan perlindungan lebih kepada ketiga ekosistem tersebut dan juga terumbu karang.
Potensi penyerapan karbon juga menjadi perhatian Indonesia, dengan terdapat potensi penambahan sektor dalam dokumen iklim Nationally Determined Contribution (NDC) kedua yang saat ini tengah dipersiapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Ekosistem pesisir dan laut dilihat memiliki potensi yang sama bersama sektor kehutanan dan penggunaan lahan, industri, energi, pertanian, serta limbah dalam upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional. Menanggapi hal tersebut, Trenggono memastikan pihaknya terus melakukan koordinasi dalam bidang konservasi perairan.
"Ya itu semua. Kita rapat terus dan kita evaluasi terus, lalu undang-undangnya seperti apa, aturannya seperti apa kita evaluasi," kata Trenggono.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.