Warga mencoblos surat suara saat simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024). | Republika/Putra M. Akbar

Iqtishodia

Marc Marquez, Jokowi, dan Risiko yang Terabaikan

Presiden Jokowi selama ini dianggap sebagai kader PDI Perjuangan.

OLEH Ali Mutasowifin, Dosen Departemen Manajemen FEM IPB

Para penggemar balap motor MotoGP pasti sangat mengenal nama Marc Marquez. Pembalap asal Spanyol ini telah enam kali memenangi gelaran MotoGP. Ia menjadi juara ajang adu balap motor paling bergengsi di muka bumi itu pada 2013, 2014, 2016, 2017, 2018, dan 2019.

Setelah bertahun-tahun merajai sirkuit, nasib nahas menimpa Marc Marquez pada awal musim balapan 2020. Ketika itu, ia terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuatnya cedera dan harus beristirahat lama, sekaligus kehilangan kesempatan mengikuti perburuan gelar juara dunia untuk ketujuh kalinya.

Nasib buruk yang dialami Marc Marquez tak pelak juga berimbas kepada tim yang menaunginya, Repsol Honda, pun terakhir merasakan menjadi juara bersama Marc Marquez pada 2019. Setali tiga uang, Honda juga menorehkan titel juara kategori constructor terakhir pada 2019 bersama Marc Marquez. Kemudian, Repsol Honda empat tahun berikutnya harus ikhlas nirgelar dan merelakan mahkota kepada Ducati.

Nasib buruk Tim Repsol Honda maupun pabrikan Honda dalam ajang MotoGP empat tahun terakhir tak lepas dari kebijakan yang terlalu mengandalkan Marc Marquez. Selama enam tahun, Marc Marquez telah memberikan kemenangan kepada Tim Repsol Honda maupun pabrikan Honda, sehingga membuat mereka terlena dan lupa memperhitungkan kejadian buruk yang mungkin terjadi pada pembalap andalan mereka. Kecelakaan yang dialami Marc Marquez pun membalikkan semua kondisi dan rencana mereka.

Ketergantungan pada persona juga jamak dijumpai pada dunia usaha. Survei Price Waterhouse Coopers (2014) menunjukkan bahwa lebih dari 95 persen usaha di Indonesia dimiliki oleh keluarga. Namun, tak banyak di antara mereka yang mampu bertahan lama.

Family Business Consulting (2009) mengungkapkan bahwa hanya 30 persen usaha keluarga yang berhasil diwariskan kepada generasi kedua. Dari yang bertahan tersebut, sekitar 12 persen yang sampai di tangan generasi ketiga, dan akhirnya hanya tersisa 3 persen yang sampai kepada generasi keempat.

Sebagian dari kegagalan regenerasi pada usaha keluarga adalah terlalu bergantung pada pendiri, sang tokoh utama pengendali usaha, sehingga lupa mempersiapkan sistem yang baik dan generasi pengganti yang tangguh mengatasi tantangan usaha yang semakin kompleks dan berat.

Hal serupa juga mudah dijumpai pada dunia politik di Tanah Air. Banyak partai politik yang masih dikelola seperti perusahaan keluarga. Anak-anak pendiri partai politik dengan mudah memegang posisi-posisi penting dalam partai politik yang didirikan oleh orang tuanya, dan kemudian mengambil alih kepemimpinan ketika generasi pertama lengser.

Banyak partai politik yang masih dikelola seperti perusahaan keluarga

 

 

Ketika pendiri atau kader partai memegang kekuasaan, terbuka jalan lebar bagi partai politik untuk mengakses sumber-sumber dana, yang diyakini bisa menjadi bahan bakar untuk menggerakkan mesin partai. Inilah alasan mengapa begitu pemilihan presiden usai, partai-partai pendukung calon presiden yang menang, sibuk melobi presiden terpilih agar mendapatkan kursi “basah” dalam kabinet yang akan dibentuk. Bahkan, partai politik dari kubu yang calon presidennya kalah pun tidak sungkan merapat untuk juga berkesempatan menikmati kue kekuasaan. 

Sebaliknya, ketika tidak ada lagi dukungan dari tokoh yang berkuasa, biasanya akan diikuti dengan menurunnya kejayaan partai politik tersebut. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh Partai Demokrat menjabat Presiden, Partai Demokrat menjadi Pemenang Pemilu Legislatif 2009. Partai Demokrat memperoleh 150 kursi (26,4 persen) di DPR RI, setelah meraup 21.703.137 total suara (20,4 persen).

Partai Demokrat juga meraih suara mayoritas di provinsi-provinsi yang pada pemilu sebelumnya tidak banyak dukungan, seperti Aceh, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Prestasi ini merupakan lompatan luar biasa dari pemilihan umum legislatif 2004, saat Partai Demokrat hanya meraih 8.455.225 suara atau sekitar 7,45 persen.

Namun, keadaan berubah drastis pada Pemilihan umum legislatif 2014. Saat itu, jumlah perolehan suara Partai Demokrat merosot drastis menjadi posisi keempat dari 10 partai di DPR, dengan perolehan suara sebanyak 10,19 persen suara nasional (12.728.913). 

Kondisi lebih buruk lagi terjadi pada Pemilihan umum legislatif 2019, ketika jumlah perolehan suara Partai Demokrat menurun menjadi posisi ketujuh dari 9 partai di DPR, dengan perolehan suara sebanyak 7,77 persen suara nasional (10.876.507). Pada pemilihan umum legislatif 2024, perolehan suara Partai Demokrat relatif tidak banyak berubah dari lima tahun sebelumnya, yakni 11.283.160 suara atau sekitar 7,43 persen.

Yang banyak mendapat sorotan pada pemilihan umum 2024 lalu adalah turunnya suara PDI Perjuangan secara signifikan. Pada Pemilu 2019 PDI Perjuangan meraup 27.503.961 suara (19,33 persen), anjlok menjadi 25.387.279 suara (16,72 persen) pada Pemilu 2024. Calon presiden yang diusung PDI Perjuangan pun keok, hanya mampu bertengger di peringkat ketiga dari tiga kontestan. 

photo
Perolehan kursi DPR RI Pemilu 2024. - (Republika)

Banyak yang tidak menyangka hal itu terjadi, karena Presiden Jokowi selama ini dianggap sebagai kader PDI Perjuangan. Dengan approval rate yang tinggi, Jokowi diharapkan mampu mendongkrak suara PDI Perjuangan dan Ganjar Pranowo. Namun, kenyataannya, Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2024 telah lebih memilih mendukung Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.

Dalam perspektif manajemen risiko, PDI Perjuangan terlalu bergantung pada Presiden Jokowi dan telah luput untuk memperhitungkan risiko perubahan haluan yang akan dilakukan oleh Presiden yang diusung dan selama ini selalu dibelanya. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri mungkin semula memiliki keyakinan bahwa karena PDI Perjuangan telah mendukung penuh Jokowi di berbagai jabatan pemerintahan, mulai dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI, Jokowi akan selalu mendukung PDIP.

Bukan hanya itu, menjelang pemilihan walikota Solo pada 2020, Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Solo sebenarnya sudah memutuskan untuk mengusung Achmad Purnomo, seorang kader setia partai yang juga berpengalaman di birokrasi. Namun, akhirnya Megawati memutuskan untuk mengusung Gibran, yang bahkan baru bergabung dengan PDI Perjuangan, dan mengabaikan aspirasi para kadernya di Solo. PDI Perjuangan juga mendukung Bobby Nasution, menantu Jokowi, sehingga kemudian terpilih menjadi walikota Medan, Sumatra Utara.

Data dan Fakta Hasil Pemilu 2024 - (Republika)

Ketika kenyataan ternyata berbeda dengan harapan, limbunglah PDI Perjuangan. Hal serupa juga yang terjadi dengan Honda, Tim Repsol Honda, serta banyak perusahaan keluarga dan partai politik. Ketergantungan mereka yang berlebihan pada persona, membuat mereka lupa untuk melakukan mitigasi risiko, mempersiapkan regenerasi dan sistem yang baik. Sementara, kiprah mereka semua tentu bak petualangan yang penuh dengan beragam risiko karena, seperti kata Douglas Coupland, “adventure without risk is Disneyland.”

 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat