Sejumlah bangunan semi permanen hunian warga berdiri dengan latar belakang gedung-gedung apartemen di tepi Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta, Selasa (29/6/2021). | ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Iqtishodia

Hubungan Ketimpangan dengan Kemajuan Ekonomi Antarwilayah

Idealnya, ketimpangan dan kemajuan ekonomi memiliki hubungan negatif.

OLEH Fahmi Salam Ahmad (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)

Ketika mencermati nilai indeks Gini Indonesia antara tahun 2007 hingga 2023, didapatkan hasil sebagai berikut: 0.360 (2007), 0.370 (2009), 0.410 (2011), 0.413 (2013), 0.408 (2015), 0.393 (2017), 0.382 (2019), 0.384 (2021), dan 0.388 (2023). Terlihat bahwa indeks Gini awalnya meningkat, mencapai nilai tertinggi pada tahun 2013, kemudian berangsur-angsur menurun, kemudian stagnan sejak pandemi Covid-19. Apa yang bisa diidentifikasi dari pola tersebut?

Pertama kita kenali dahulu apa itu indeks Gini. Indeks Gini adalah suatu koefisien yang mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan secara agregat, yang angkanya berkisar antara 0 (pemerataan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna). Sederhananya, penurunan angka indeks Gini dapat bermakna sebagai penurunan tingkat ketimpangan pendapatan antar penduduk di suatu wilayah.
Dalam upaya mewujudkan pembangunan yang inklusif, peningkatan kesejahteraan tidak cukup jika hanya memperhitungkan peningkatan pendapatan per kapita, tapi juga perlu memperhatikan bagaimana keadaan ketimpangan.

Pembangunan tidak dapat dikatakan berhasil secara tuntas apabila manfaat atau kesejahteraan tidak dapat dinikmati oleh seluruh penduduk. Bahkan ketika peningkatan pendapatan dapat dirasakan oleh seluruh penduduk, apabila manfaat yang lebih besar terdapat pada penduduk dengan pendapatan yang lebih tinggi, maka artinya tetap terjadi peningkatan ketimpangan antar penduduk.

Idealnya, ketimpangan dan kemajuan ekonomi memiliki hubungan negatif. Artinya ketika ekonomi semakin maju maka diiringi dengan ketimpangan yang menurun. Akan tetapi kenyataan yang terjadi tidak selalu seperti itu. Pola hubungan yang populer menggambarkan ketimpangan dan kemajuan ekonomi dirumuskan sebagai kurva Kuznets.

Simon Kuznets mengemukakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan akan cenderung memburuk, hanya pada tahap selanjutnya akan membaik (menuju pemerataan). Pengamatan ini kemudian dicirikan oleh kurva Kuznets yang berbentuk seperti bukit atau “U-terbalik”, dengan sumbu vertikal adalah ketimpangan (diukur dengan indeks Gini) dan sumbu horizontal adalah pertumbuhan ekonomi (sering diukur dengan PDB per kapita riil).

Terdapat sejumlah penjelasan mengapa ketimpangan bisa memburuk pada tahap awal pertumbuhan ekonomi sebelum akhirnya membaik. Hal ini hampir selalu berkaitan dengan sifat perubahan struktural. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan di awal mungkin terkonsentrasi di sektor industri, di mana lapangan kerja terbatas namun upah dan produktivitas tinggi. Seiring dengan peningkatan pendapatan, kesempatan kerja meningkat sehingga dapat menyerap semakin banyak tenaga kerja, dan berimplikasi pada penurunan ketimpangan.

Berdasarkan data yang dikemukakan di awal tulisan, maka keadaan di Indonesia menunjukkan pola yang mengikuti kurva Kuznets. Pada sumbu vertikal, nilai indeks Gini pada awalnya meningkat (antara 2007 hingga 2013), kemudian menurun (sejak 2013).

Pada sumbu horizontal, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang konstan positif dalam 20 tahun terakhir (kecuali saat pandemi Covid-19 pada 2020), terdapat peningkatan yang stabil dalam nilai PDB per kapita. Sekilas ini mengimplikasikan bahwa saat ini Indonesia sudah berada pada “sisi penurunan bukit” dalam kurva Kuznets.

Dengan kata lain, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat dan baik untuk menuju peningkatan pendapatan dan penurunan ketimpangan.

Apakah data ini menunjukkan keadaan yang sebenarnya di lapangan? Tentu data mengenai ketimpangan dan pendapatan per kapita tersebut tidak salah, tetapi perlu diketahui bahwa konteksnya itu adalah data secara agregat di level nasional.

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan karakteristik antar wilayah yang beragam. Tingkat kemajuan ekonomi pun bervariasi antar wilayah. Informasi mengenai hubungan ketimpangan dan pendapatan akan semakin detail ketika kita menganalisisnya di lingkup yang lebih kecil. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi secara sederhana bagaimana perbedaan karakteristik antar wilayah (provinsi) pada aspek hubungan ketimpangan dan pendapatan.

Di dalam analisis kuantitatif, pola hubungan dengan bentuk seperti kurva Kuznets dapat dirumuskan melalui suatu persamaan kuadratik. Ketika suatu persamaan kuadratik digambarkan dalam kurva, akan didapatkan titik balik (turning point) arah pergerakan nilai suatu variabel.

Ketika ini diaplikasikan pada hubungan antara indeks Gini (sebagai variabel “y”) dan pendapatan per kapita (sebagai variabel “x”), maka diperoleh berapa besaran pendapatan per kapita ketika terjadi perubahan arah pengaruhnya terhadap indeks Gini, dari semula pengaruhnya positif (ketimpangan naik) menjadi negatif (ketimpangan turun).

Secara ringkas, hasil analisis persamaan kuadratik antara indeks Gini dan pendapatan per kapita di level provinsi pada kurun waktu 2007 hingga 2022 menunjukkan bahwa kurva Kuznets berlaku di 27 dari 33 provinsi. Karena pertimbangan data, analisis tidak menyertakan Provinsi Kalimantan Utara serta empat provinsi di Pulau Papua yang baru dibentuk tahun 2023.

Adapun dari 33 provinsi tersebut, terdapat enam provinsi yang tidak menunjukkan hubungan kuadratik, di mana secara data pola hubungan antara ketimpangan dan pendapatan di provinsi tersebut cenderung linier. Pertanyaannya, apakah dengan mayoritas provinsi menunjukkan hubungan kuadratik, bisa diartikan di sebagian besar wilayah di Indonesia saat ini terdapat peningkatan pendapatan yang stabil dan ketimpangan sudah membaik? Dalam hal ini kita perlu berhati-hati dalam menafsirkan hasil analisis.

Menilik pada hasil model kuadratik, terdapat variasi antar provinsi untuk nilai PDRB per kapita saat turning point arah indeks Gini, yaitu dari yang terendah Rp 3,19 juta (harga konstan 2000) hingga yang tertinggi Rp 54,67 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat selisih tingkat pendapatan yang cukup jauh antar wilayah atau provinsi di Indonesia.

Lebih lanjut, statistik indeks Gini yang selama ini kita gunakan adalah mengukur ketimpangan antar pendapatan penduduk di suatu wilayah yang diamati, bukan bagaimana disparitas pendapatan antar wilayah. Ketimpangan yang membaik di suatu wilayah tidak berarti bahwa akan berlaku sama saat diukur antar wilayah.

Terdapat satu temuan yang menarik tentang perbandingan nilai indeks Gini antar provinsi ini. Ketika provinsi di Indonesia diurutkan dari yang tertinggi berdasarkan nilai median indeks Gini, enam provinsi di Pulau Jawa masing-masing menempati urutan ke-1, 3, 4, 9, 13, dan 14. Wilayah di Pulau Jawa yang lazim dipersepsikan memiliki kemajuan ekonomi, juga memiliki angka ketimpangan pendapatan di dalam wilayahnya yang relatif tinggi dibandingkan daerah lain.

Dapat dikatakan bahwa meskipun benar di mayoritas provinsi terdapat hubungan kuadratik antara ketimpangan dengan pendapatan, serta saat ini trennya adalah penurunan ketimpangan, akan tetapi itu lebih karena nature atau sifat dari data yang dianalisis. Itu pun, sebagaimana yang ditunjukkan data, tren indeks Gini agak berubah sejak pandemi Covid-19, di mana pada beberapa tahun terakhir nilainya cenderung stagnan. Hal lain yang juga ditunjukkan oleh data adalah masih terdapat kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antara wilayah.

Tentu saja analisis sederhana ini dilakukan hanya dengan menggunakan indikator ekonomi secara makro dengan durasi dan jumlah data yang relatif singkat. Maka kita perlu berhati-hati dalam menarik kesimpulan dari perubahan statistik ekonomi jangka pendek sebelum kita mengetahui lebih banyak tentang perubahan mendasar dalam ekonomi secara riil yang memunculkan statistik tersebut.

Analisis pun belum menyertakan variabel lain yang berkaitan erat, misalnya keadaan kemiskinan. Diperlukan studi yang lebih mendalam terkait hal tersebut.

Akan juga menarik apabila pihak yang berwenang seperti BPS, dapat membuat indeks atau suatu ukuran perbandingan ketimpangan antar wilayah. Tujuannya untuk mendukung analisis dan pemetaan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang semakin inklusif dan merata.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat