Petani rumput laut mengangkat hasil panennya di Desa Sani Sani, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (22/8/2022). | ANTARA FOTO/Jojon/hp.

Iqtishodia

Budidaya Rumput Laut Terpadu dalam Mendukung Implementasi Blue Economy

Sejak 2005, Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar.

DR NUVA, DR NIA KURNIAWATI HIDAYAT, OSMALELI, DANANG PRAMUDITA; Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), IPB University

YUSIF, Blue Economy Foundation (BEF), Jakarta

HANNA, HAAJ Jakarta

 

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia yang membentang sepanjang 99.093 kilometer (BIG, 2015). Dengan total wilayah laut sebesar 5,9 juta kilometer persegi yang terdiri dari 3,2 juta kilometer persegi laut teritorial dan 2,7 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sektor budidaya laut dan air payau mempunyai potensi besar dalam mendukung ketahanan pangan, mata pencaharian berkelanjutan, peluang ekonomi dan inklusi sosial bagi masyarakat pesisir dan non-pesisir di negara ini. Meskipun memiliki potensi yang besar, sektor ini belum memainkan peran penting dalam perekonomian negara.

Sektor perikanan baik tangkap maupun budidaya menghadapi permasalahan seperti degradasi lingkungan pesisir dan penipisan sumber daya, polusi laut di daratan, dan penangkapan ikan yang berlebihan. Permasalahan ini semakin parah akibat tumpang tindih dan bertentangannya undang-undang mengenai pengelolaan kelautan dan pesisir, lemahnya penegakan hukum, tidak jelasnya peran dan tanggung jawab lembaga pengelola sumber daya kelautan dan pesisir, serta kurangnya koordinasi antar kementerian, kapasitas pemerintah daerah, dan partisipasi masyarakat.

Kondisi ini pada gilirannya akan mengancam penghidupan masyarakat yang bergantung pada ekosistem penting ini sebagai sumber nafkah dan kesejahteraan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung karena masyarakat pesisir sudah termasuk masyarakat termiskin di negara ini. Angka tersebut mencakup 25,14 persen dari 31,02 juta penduduk miskin di Tanah Air yang tersebar di 10.639 desa pesisir. 

Permasalahan yang terjadi tidak hanya di wilayah pesisir Indonesia tetapi juga di banyak wilayah pesisir negara lain telah memicu kesadaran akan perlindungan laut
   

Permasalahan yang terjadi tidak hanya di wilayah pesisir Indonesia tetapi juga di banyak wilayah pesisir negara lain telah memicu kesadaran akan perlindungan laut. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporannya menganalisis bagaimana sektor-sektor utama yang terkait dengan lingkungan laut dan pesisir – blue world – dapat melakukan transisi menuju Ekonomi Hijau yang mengedepankan pentingnya lingkungan laut, dalam hal ini dikenal juga sebagai blue economy.

Dalam konteks blue economy, diyakini bahwa peralihan ke arah keberlanjutan dalam hal peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial dapat mengarah pada lautan yang lebih sehat dan produktif secara ekonomi yang sekaligus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir dan industri terkait laut lainnya. Menanggapi hal tersebut, Indonesia mulai mengadopsi strategi model blue economy untuk mengembangkan sektor ini.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP) telah menyepakati lima poin penting dalam pengembangan konsep blue economy, yaitu, pertama, pemerintah akan mengidentifikasi peluang investasi di sektor kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan berdasarkan konsep tersebut; kedua, pengembangan dunia usaha dan investasi berdasarkan model ekonomi biru; ketiga, pengembangan sumber daya manusia di bidang kelautan dan perikanan; keempat, mengembangkan dokumentasi dan materi Ekonomi Biru untuk kepentingan publik; dan terakhir, untuk mendorong partisipasi internasional. Pemerintah juga mendorong adaptasi blue economy dalam menyelesaikan permasalahan kelautan.

KKP telah menyusun cetak biru pengembangan sektor kelautan dan perikanan berdasarkan konsep Ekonomi Biru di Lombok Timur, Banggai, Bali, Teluk Tomini, dan Pulau Anambas. Model ini memerlukan zona wilayah pesisir dan laut yang spesifik agar para pemangku kepentingan dapat menggunakan dan mengelola sumber daya laut dan pesisir secara efisien dan berkelanjutan menuju tujuan blue economy berbasis zero-waste (Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia 2012).

Terkait penerapan ekonomi biru di sektor perikanan dan kelautan, budidaya rumput laut merupakan salah satu mata pencaharian alternatif yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan nelayan dan mengurangi kemiskinan di wilayah pesisir. Selain itu, pengembangan budidaya rumput laut terpadu (integrated seaweed farming) diyakini dapat membantu mengubah perilaku masyarakat pesisir dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan menjadi budidaya rumput laut produktif yang ramah lingkungan dan memberdayakan ekonomi (Zamroni dan Yamao, 2011). Budidaya rumput laut di Indonesia telah menyebar dengan pesat. 

Sejak 2005, Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar, khususnya spinosum (Eucheuma denticulatum) dan Gracilaria
   

Sejak 2005, Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar, khususnya spinosum (Eucheuma denticulatum) dan Gracilaria. Indonesia mempunyai potensi luas budidaya rumput laut sebesar 1,2 juta ha dan potensi produksi 16 ton per ha (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2008 dalam Luhur et al, 2012). Selain itu, budidaya rumput laut juga dapat digunakan untuk melengkapi atau bahkan menunjang pendapatan nelayan pada saat tangkapan ikan rendah (Zamroni dan Yamao, 2011).

Konsepnya dalam implementasi blue economy untuk budidaya rumput laut terpadu adalah prinsip zero waste dalam kegiatan budidaya perikanan, inklusivitas sosial, atau meningkatkan nilai tambah produk dan lapangan kerja, menciptakan multiproduk yang menghasilkan beberapa jenis produk budidaya perikanan.

Penerapan ekonomi biru ini diharapkan dapat menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi sekaligus tanpa limbah, karena limbah dari budidaya udang dapat digunakan untuk pupuk tanaman mangrove dan juga dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut Gracilaria sp. Dengan konsep blue economy, sisa hasil panen udang berupa kulit atau carapax dapat diolah menjadi berbagai produk turunan yang bernilai tambah tinggi, seperti kitin dan kitosan. Hal ini juga diharapkan dapat menghasilkan lapangan kerja lokal dan pemberdayaan perempuan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat