Warga memanggul beras yang dibeli pada Operasi pasar murah di Banyuwangi, Jawa Timur, Ahad (11/2/2024). | ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Iqtishodia

Apakah Upah Minimum Dapat Menurunkan Kerawanan Pangan Rumah Tangga?

Terdapat banyak indikator yang menunjukkan masalah kerawanan pangan di Indonesia.

OLEH Dr. Heni Hasanah, Prof. Hermanto Siregar (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB)

Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi salah satu dasar dalam penetapan upah minimum. Secara definitif, KHL mengukur standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup secara layak secara fisik dalam satu bulan.

Kebutuhan utama berupa pangan, sandang, dan papan termasuk dalam komponen perhitungan KHL. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa upah minimum berperan dalam mengatasi isu kerawanan pangan.

Persoalannya, definisi di atas terkait pekerja ‘lajang’. Jika pekerja itu memiliki keluarga, maka belum tentu biaya yang dihitung dari KHL dapat menghasilkan kehidupan yang layak untuk satu keluarga. Hal tersebut menjadi argumen pertama untuk dapat mempertanyakan peran kebijakan upah minimum dalam mengatasi kerawanan pangan rumah tangga meski tidak ditujukan langsung untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Argumen kedua, implementasi upah minimum pada tataran praktis masih menemui isu dan permasalahan dalam hal compliance. Apakah semua perusahaan memberikan upah minimal pada tingkat upah minimumnya pada setiap pekerja yang bekerja antara 0-1 tahun? Jika tidak, maka masih relevan untuk mempertanyakan peran kebijakan ini dalam membantu menyelesaikan isu kerawanan pangan.

 

 

Implementasi upah minimum pada tataran praktis masih menemui isu dan permasalahan dalam hal compliance

     

Kenyataannya, data Sakernas tahun 2017-2021 secara rata-rata menunjukkan bahwa persentase buruh/karyawan (pekerja di sektor formal) yang menerima upah di bawah UMP masing-masing berkisar antara 31,17 persen (Banten) hingga 71,43 persen (Sumatra Selatan). Artinya, kebijakan upah minimum tidak dilaksanakan secara penuh di Indonesia.

Argumen terakhir, pekerja di Indonesia masih banyak yang bekerja di sektor informal yang mana sektor ini tidak terlingkupi oleh aturan ketenagakerjaan secara umum termasuk upah minimum. Pada tahun 2018-2019, sekitar 56 persen lapangan pekerjaan merupakan informal dan bahkan naik menjadi 61 persen pada tahun 2020 saat terjadi pandemi. Oleh karena itu, kebijakan upah minimum diragukan dapat berkontribusi pada pengurangan kerawanan pangan berdasarkan ketiga argumen tersebut.

Saat ini kajian dampak upah minimum telah berkembang pada outcome di bidang kesejahteraan, kemiskinan dan kesenjangan, kesehatan, konsumsi, dan kerawanan pangan. Kerawanan pangan sebagai salah satu ukuran langsung kesejahteraan ekonomi, masih menjadi tantangan kebijakan publik. Kerawanan pangan juga dapat memiliki asosiasi negatif dengan berbagai indikator di bidang kesehatan yang dapat berpengaruh berikutnya pada produktivitas.

Indonesia menjadi kasus yang menarik dalam melihat dampak upah minimum terhadap kerawanan pangan. Meski dari sisi ketersediaan pangan dapat dikatakan sudah baik, terdapat banyak indikator yang menunjukkan masalah kerawanan pangan di Indonesia.

Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan

 

 

Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan, yaitu 19 persen. Sekitar 70,9 persen populasi di Indonesia tidak mampu memperoleh pola makan sehat.

Porsi konsumsi selain biji-bijian hanya 17,9 persen, yang berarti keragaman pangan rendah. Terakhir, proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum terus meningkat terutama didominasi oleh 20 persen penduduk dengan pendapatan terendah.

Bagaimana kebijakan upah minimum berperan mengurangi kerawanan pangan? Masalah kerawanan pangan terkait dengan dimensi akses, dimana kemampuan membeli merupakan salah satu penentunya. Hal ini berhubungan erat dengan tingkat upah sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga.

Saat pendapatan sangat terbatas karena upah yang rendah, rumah tangga mengalami food trade-off. Pengeluaran untuk makanan merupakan pilihan paling fleksibel untuk dikurangi saat terjadi ketidakcukupan pendapatan. Kenaikan upah minimum dapat membantu mengatasi kerawanan pangan melalui peningkatan pendapatan rumah tangga, menghilangkan food trade-off.

Analisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2017-2019 dengan metode unconditional quantile regression menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum dapat meningkatkan konsumsi kalori per kapita rumah tangga pekerja di sektor industri pengolahan untuk kelompok desil kedua dan ketiga. Kedua kelompok ini masih memiliki asupan kalori per kapita di bawah rekomendasi 2100 kkal. Namun, kelompok paling rentan yaitu kelompok desil pertama (asupan kalori per kapita terendah) tidak menerima manfaat dari kenaikan upah minimum.

Kenaikan upah minimum juga mampu meningkatkan indikator lain dari kerawanan pangan berupa keragaman pangan dengan magnitudo yang relatif rendah. Namun demikian, upah minimum tidak dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur per kapita.

Dengan rekomendasi WHO 0,4 kg per kapita per hari untuk konsumsi sayur dan buah per kapita, rata-rata di Indonesia masih 50 persen lebih rendah yaitu 0,2 kg. Jadi, kenaikan upah minimum belum cukup merangsang kenaikan konsumsi buah dan sayur, karena initial condition yang masih rendah. Selain itu, ada aspek kebiasaan atau preferensi rumah tangga yang tidak tertangkap, namun memiliki pengaruh yang cukup besar.

Hasil dan analisis di atas memberikan implikasi penting bagi pemerintah bahwa kenaikan upah minimum berperan dalam mengatasi masalah kerawanan pangan, namun kelompok paling rentan justru tidak menerima manfaat dari kenaikan upah minimum dalam hal peningkatan asupan kalori. Oleh karena itu, diperlukan strategi spesifik yang ditujukan untuk kelompok poor food insecured.

Karena upah minimum tidak dapat menjangkau kelompok ini, maka kebijakan yang sudah ada misalnya program bantuan sosial secara umum atau khusus berupa bantuan pangan dapat difokuskan pada kelompok tersebut. Dengan kata lain, akurasi penargetan program bantuan sosial harus lebih ditingkatkan untuk memastikan kelompok paling rentan menerima dukungan dari pemerintah.

 

 

Akurasi penargetan program bantuan sosial harus lebih ditingkatkan

 

Terakhir, dampak yang tidak signifikan dari kenaikan upah minimum terhadap konsumsi buah dan sayur dapat disebabkan oleh kurangnya akses atau karena preferensi dan pengetahuan yang rendah tentang pentingnya asupan bergizi seimbang. Implikasinya, jika hal di atas terkait kurangnya akses, maka kenaikan upah minimum perlu disertai stimulus lain dari pemerintah yang dapat merangsang pola perubahan konsumsi. Namun jika hal tersebut dikarenakan preferensi atau kebiasaan, maka kebiasaan itu dapat diubah melalui strategi peningkatan pengetahuan gizi rumah tangga, terutama bagi kaum ibu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat