Opini--Membantah Dalih Collateral Damage dalam Tragedi Kemanusiaan di Gaza | Republika/Daan Yahya

Opini

Membantah Dalih Collateral Damage dalam Tragedi Kemanusiaan di Gaza

Penggunaan istilah collateral damage di sini adalah menyesatkan.

Oleh MUHAMMAD LILI NUR AULIA; Anggota Dewan Pembina Lembaga Kajian dan Pemikiran Islam Indonesia (LKPII)

Dengan alasan apa pun, tak ada negara dan kelompok manapun yang secara eksplisit mengakui dalam perang dibolehkan membunuh warga sipil atau nonkombatan. Apalagi anak-anak, lansia, perempuan, dan lainnya yang tidak ikut berperang.

Jika yang terjadi adalah korban perang yang begitu besar, maka para penentu kebijakan dari politisi dan militer negara-negara berkaitan akan bertanggung jawab. Dengan berusaha mengajukan beragam dalih pembenaran secara moral atas tinddakan yang menjatuhkan korban perang begitu besar itu.

Itulah yang terjadi dalam serangan Israel atas Gaza. Inilah yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel bersama negara-negara pendukungnya, dengan mengangkat dalih pembenaran moral untuk melegitimasi sikap dan langkah mereka dalam serangan Israel yang menelan sejumlah besar korban sipil di Gaza.

 
Inilah yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel bersama negara-negara pendukungnya, dengan mengangkat dalih pembenaran moral untuk melegitimasi sikap dan langkah mereka dalam serangan Israel yang menelan sejumlah besar korban sipil di Gaza.
 
 

Dalam peraturan perang dunia, ada peristilahan yang dikenal ungkapan collateral damage atau juga dapat disebut dampak ikutan dari suatu serangan yang tak diharapkan dan bukan bagian dari target utama, untuk mencapai suatu target yang lebih besar.

Istilah ini pertama kali digunakan sebagai eufemisme atau ungkapan pelembut para politisi dan jenderal Amerika Serikat di dalam Perang Vietnam, antara tahun 1960-1970-an, ketika mereka membantai anak-anak dan wanita Vietnam.

Korban bom nuklir Hiroshima-Nagasaki pada Agustus 1945 yang hampir mencapai 250 ribu jiwa yang dilakukan AS untuk menghentikan agresi Jepang di berbagai negara pada masa Perang Dunia II, juga bisa disebut sebagai collateral damage.

Collateral damage atau kerusakan tambahan terjadi ketika serangan yang ditujukan pada sasaran militer menyebabkan terbunuhnya rakyat sipil dan merusak objek-objek sipil. Masalah ini sudah diantisipasi dan menjadi peraturan dalam konflik bersenjata untuk membatasi serangan secara sembarangan.

Dalam Konvensi Jenewa, tahun 1949, Pasal 57 Protokol Tambahan I, tahun 1977, menyebutkan bahwa, dalam sebuah konflik internasional, “perhatian harus selalu diberikan untuk melindungi populasi sipil, orang-orang sipil, dan objek-objek sipil.”

Sebagai tambahan, pada Pasal 51, “Pengeboman area (carpet bombing) dilarang, begitu juga serangan yang menggunakan cara dan alat pertempuran yang efeknya tidak dapat dikontrol.”

Inilah yang kita saksikan digunakan oleh para pejabat AS dan Israel. Mereka berulangkali menyatakan berbagai ungkapan untuk menggiring opini dunia bahwa apa yang dilakukan adalah dalam konteks collateral damage.

Bagaimana mereka terkadang memuji tentara Israel sebagai salah satu tentara paling profesional di dunia, dan di waktu yang sama mengatakan bahwa Hamas sengaja membunuh warga sipil dengan menjadikan mereka sebagai tameng manusia.

 
Bagaimana mereka terkadang memuji tentara Israel sebagai salah satu tentara paling profesional di dunia, dan di waktu yang sama mengatakan bahwa Hamas sengaja membunuh warga sipil dengan menjadikan mereka sebagai tameng manusia.
 
 

Jadi pembantaian yang dilakukan pasukan Israel diubah dengan alasan hal itu sebagai respons dari pembunuhan yang dilakukan pejuang Palestina. Artinya juga, pembantaian itu dilakukan secara tidak sengaja karena tujuan utamanya adalah menghabisi pejuang Palestina.

Lebih lanjut dengan kuat, AS menyematkan tuduhan terorisme pada pejuang Palestina dan meminta pertanggungjawaban Hamas sebagai organisasi terdepan dalam perjuangan kemerdekaan Palestina, atas terbunuhnya warga sipil yang terbunuh oleh senjata Amerika dan Israel.

AS juga kerap “mendesak” Israel dengan menggunakan kalimat “meminimalkan korban sipil". Tapi kenyataannya, membenarkan pembantaian yang telah terjadi di Gaza selama hampir tiga bulan dengan dukungan bom, pesawat tempur, dan persenjataan berat.

Klaim karakter paling bermoral juga diungkapkan secara eksplisit oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dengan mengatakan bahwa tentara Israel adalah tentara paling profesional dan bermoral di dunia, dan yang terjadi di Gaza adalah collateral damage.

Di waktu yang sama, mereka terus menerus melakukan pembantaian sipil setiap hari di Gaza, hingga jumlah syahid telah mendekati 20 ribu orang, ditambah puluhan ribu yang terluka, dan kehancuran menyeluruh akibat pengeboman Israel yang tak kenal henti.

Apa yang diinginkan para musuh kemanusiaan itu sebenarnya? Setidaknya mereka ingin mencapai tiga tujuan.

Pertama, menghindari tanggung jawab moral dan hukum atas akibat tindakan militer kejam yang terjadi di Gaza.

Kedua, menutupi kegagalan komando militer yang tidak berhasil mencari anasir perlawanan Palestina dan gagal menghindari jatuhnya korban yang begitu banyak di kalangan sipil.

Ketiga, menjamin agar aksi militer yang dilakukan bisa tetap berlanjut agar tujuan tercapai tanpa pembatasan sanksi tertentu yang mengakibatkan serangan ditekan atau dihentikan.

Yang dilakukan AS dan Israel itu jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, jatuhnya korban sipil selama apa yang disebut “konflik bersenjata” meski bukan kejahatan perang tapi hukum humaniter internasional, yang termaktub pada Konvensi Jenewa 1949, hanya mengizinkan pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan “serangan proporsional” terhadap sasaran militer (principle of necessity, distinction and proportionality); meskipun diketahui sebelumnya bahwa hal itu akan menimbulkan korban sipil.

Jelas apa yang terjadi saat ini di Gaza dan sudah keluar dari unsur proporsional.

Jika alasan collateral damage atau kerusakan (yang tak terhindarkan) itu diterima, maka dalam konteks korban di Gaza dan, akan bermakna dehumanisasi terhadap korban, atau menjadikan manusia hanya sekadar objek atau alat untuk mencapai tujuan militer dan politik.

Kerusakan tambahan, menurut definisinya, adalah dampak yang menimpa individu, harta benda, atau fasilitas, dan merupakan isu sekunder dalam keputusan perang dan tindakan militer.

Sedangkan yang terjadi, jelas justru bukan isu sekunder melainkan menjadi persoalan sentral yang dilakukan secara sengaja dan membabi buta.

Lalu, Amerika cukup puas dengan menyatakan kesedihan atas jatuhnya korban jiwa di Gaza, sambil terus mendukung perang dan mengirimkan senjata yang membunuh warga sipil tersebut.

 
Penggunaan istilah collateral damage di sini adalah menyesatkan. Sebab yang terjadi jelas aspek kesengajaan yang ingin dicapai dalam perang yang sedang berlangsung di Gaza.
 
 

Penggunaan istilah collateral damage di sini adalah menyesatkan. Sebab yang terjadi jelas aspek kesengajaan yang ingin dicapai dalam perang yang sedang berlangsung di Gaza.

Mengingat sifat senjata yang digunakan, yang dampaknya diketahui secara pasti oleh produsen, pemasok dan pengguna senjata, dalam hal jangkauan dan potensi destruktifnya, pasti sudah bisa diprediksi.

Juga mengingat sifat medan perang di Gaza yang kepadatan penduduknya salah satu tertinggi di dunia, dan penargetan fasilitas perumahan dan kesehatan diketahui --dengan pasti-- akan menimbulkan korban jiwa tanpa mencapai tujuan militer yang sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan.

Hukum humaniter internasional harus diterapkan secara ketat dalam perang yang sedang berlangsung di Gaza karena aspek senjata, wilayah, dan sasaran, serta dampak sebenarnya, yaitu terbunuhnya sekitar dua puluh ribu orang, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.

Penyangkalan dunia terhadap genosida atas Gaza dan kejahatan kepada kemanusiaan (crime against humanity) yang dilakukan secara sengaja, akan menjadi preseden kemanusiaan luar biasa di masa depan. Dan bukan mustahil, jika pun ternyata AS dan Israel berhasil “mengalahkan” Hamas di Gaza, akan terbuka medan pertikaian yang lebih luas dan sulit terkontrol, mencakup dalam negeri Israel sendiri, negara-negara tetangga Palestina bahkan bisa sangat mengganggu stabilitas politik dan dunia.

Bersyukur, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menyatakan dalam Majelis Umum PBB (28/11/2-23) mendukung upaya menuntut pertanggungjawaban Israel melalui International Court of Justice (ICJ) secara teori dan faktual dan juga International Criminal Court (ICC) untuk mengadili individu-individu atas kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bagaimana Gaza jadi Labirin Mematikan Bagi Tentara Israel?

Hamas telah membangun kekuatan secara signifikan sejak 2014.

SELENGKAPNYA

‘Tiap Lima Menit Tentara Israel Tewas di Gaza’

Syuhada di Palestina melampaui angka 19 ribu jiwa.

SELENGKAPNYA

Tentara Israel Bunuh Sandera yang Pegang Bendera Putih

Tiga sandera yang dibunuh oleh tentara Israel tersebut sedang mengibarkan bendera putih.

SELENGKAPNYA

Julid fi Sabilillah

Para Julid fi Sabilillah juga mengirim secara acak file-file berukuran besar ke tentara Israel.

SELENGKAPNYA