Wisatawan mengunjungi Desa Wisata Nglanggeran di Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta. | ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Safari

Menembus Celah Batuan Purba

Tantangan sesungguhnya adalah saat jalur pendakian harus melewati celah sempit dinding batu.

Rintik hujan masih terus membasahi aspal jalan utama yang menghubungkan Desa Ngoro Oro dengan Desa Sambipitu. Saat itu, jarum jam di tangan telah menunjukkan pukul 03.45 WIB.

Sekira 15 menit lagi saat yang tepat untuk memulai pendakian di Gunung Api Purba Nglanggeran. Saya berharap banyak cuaca bisa sedikit bersahabat setelah kawasan Desa Nglanggeran diguyur hujan dua hari terakhir. Begitu pula Heru Purwanto (26 tahun), salah seorang pemuda karang taruna setempat sudah bersiap menyertai saya.

Namun, kenyataan berkata lain. Ia memastikan kami harus segera bergegas mengawali pendakian dengan melupakan kondisi cuaca. “Siapa tahu cuaca akan berangsur membaik karena kita harus tiba di puncak sebelum pukul 05.00 WIB,” katanya.

Ia beralasan, hujan membuat kondisi jalur pendakian akan semakin berat karena licin. Sehingga, jarak tempuh pendakian bisa memakan waktu lebih lama dari rata- rata perjalanan satu jam. Kami pun mengawali pendakian di bawah guyuran rintik air hujan.

photo
Pengembangan Wisata Yogyakarta. Pengunjung menikmati pemandangan Embung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta. - (Republika/ Wihdan Hidayat)

Menembus gelap dan hujan

Setapak demi setapak kami pun menyusuri tangga yang tersusun alami dari batuan andesit. Suasana masih sangat gelap, hanya headlamp yang menerangi langkah dingin kaki kami.

Ternyata benar. Paruh perjalanan menuju puncak Gunung Gedhe, kaki ini harus ekstra hati- hati dalam menopang bobot badan. Kondisi jalur pendakian kian bertambah terjal dan licin.

Untuk mempermudah menaklukkan tebing batu di jalur pendakian, telah dipasang tali dan tangga dari batang kayu. Fasilitas ini banyak membantu pengunjung yang akan mendaki.

Jalur pendakian gunung api purba Nglanggeran itu tergolong ramah meski untuk pemula sekalipun. Namun, karena kondisinya basah, jalur ini relatif lebih licin dan saya pun harus tetap ekstra hati- hati.

photo
Peserta mengikuti uji kompetensi pemandu wisata panjat tebing di Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Kamis (20/10/2022). - (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Pendakian menuju puncak Gunung Gedhe dari pendopo Kalisong membutuhkan waktu rata- rata satu jam. Sepanjang jalur ini tersedia sedikitnya lima pos pendakian berbentuk gardu.

Pos itu tak sekadar berfungsi sebagai tempat untuk melepas lelah. Namun, kehadirannya juga berfungsi sebagai gardu pandang.

Bagi yang awam dengan jalur pendakian ini, juga tak perlu khawatir tersesat. Di sepanjang jalur pendakian telah terpasang papan petunjuk arah rute pendakian yang mudah dipahami.

Tantangan sesungguhnya

Namun, tantangan sesungguhnya datang saat jalur pendakian harus melewati celah sempit dinding batu. Lebar celah ini tak lebih dari ukuran badan orang dewasa. Sedikitnya ada dua jalur celah batuan yang oleh Heru disebut “celah sumpit”.

photo
Pemanjat berlatih di tebing batuan Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Minggu (28/6/2020). - (Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO)

Uniknya, celah yang harus kami lalui ini tidak semuanya dengan presisi. Alhasil, untuk masuk, harus mengikuti kontur dan bentuk batuannya. Terutama, di celah batuan berbentuk kanopi.

Merayap, menyesuaikan posisi badan dengan kontur celah menjadi tantangan tersendiri. Pada jalur ini tidak dilengkapi alat bantu tali atau tangga dari batang kayu.

Untuk menaklukkannya, jari-jemari ini harus lihai menari untuk mencari profil batuan yang nyaman. Baik untuk pegangan sekaligus tumpuan badan dan penjaga keseimbangan.

Begitu asyiknya menikmati tantangan menuju puncak Gunung Gedhe ini, tak terasa hujan pun mulai jeda. Gumpalan awan tebal masih terlihat saat kami tiba di pos terakhir pendakian.

Semburat jingga cahaya fajar samar-samar mulai terlihat di atas cakrawala. Tak banyak menunggu waktu lagi, saya pun segera menyiapkan kamera untuk mengabadikan munculnya sang surya.

photo
Pemanjat berlatih di tebing batuan Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta. - (Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO)

Di puncak Gunung Gedhe itu, kami bertemu serombongan pengunjung asal Yogyakarta. Salah satunya Arthur (23) yang memilih berkemah di sekitar pos kelima, jalur pendakian.

“Sunrise menjadi daya tarik bagi para pengunjung di Gunung Api Purba Nglanggeran, selain sunset,” ujar Arthur yang memilih bermalam dengan mendirikan tenda dome di puncak bersama empat rekannya.

Sementara, lokasi untuk menikmati terbitnya mentari di puncak Gunung Gedhe ini ada pada puncak sisi timur. Selain tidak terhalang, lokasinya juga memungkinkan untuk menikmati indahnya gunung Merapi di arah utara.

Melongok Jejak Serdadu Jepang di Nglanggeran

Ada satu tempat di Gunung Api Purba Nglanggeran yang masih kental dengan aura mistisnya. Tempat ini disebut dengan “Mata Air Comberan”. Entah bagaimana asal-usulnya nama itu.

Sejatinya, ini merupakan lokasi sumber mata air yang keluar dari celah dinding batu. Sepintas sumber itu hanya mengalirkan air yang tak seberapa besar. Namun, dari sekitar celah bebatuan tersebut akan terdengar suara gemericik air yang sangat jelas.

photo
Pengembangan Wisata Yogyakarta. Pengunjung menikmati pemandangan Embung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta. - (Republika/ Wihdan)

Aura mistis menyeruak karena tepat di depan mata air ini tumbuh pohon beringin dan di bawahnya terdapat prasasti telapak kaki Syahadatain, R Siswo Laksono. Sepertinya, lokasi ini menjadi tempat pemujaan.

Ini dapat dilihat dari sisa-sisa dupa dan bunga mawar dan kenanga yang masih belum mengering. Sementara, selain pohon beringin, juga tumbuh sebatang pohon salam. “Lokasi ini memang tempat untuk laku prihatin untuk ngalap berkah,” ujar Heru.

Dibandingkan lokasi lainnya, akses menuju Mata Air Comberan juga lebih sulit dan cenderung menakar nyali saya. Selain tangga batang kayu yang hampir tegak lurus, aksesnya juga harus ditempuh dengan merayap di celah bukit batu sempit dan vertikal.

Konon, lokasi di sekitar mata air ini merupakan lokasi persembunyian tentara Jepang pada Perang Dunia II. Salah satu bukti yang tersisa, tatahan pijakan pada celah vertikal buatan mereka. “Menurut cerita para orang tua dahulu, tentara Jepang ini sering turun melatih warga baris-berbaris. Saat kembali ke persembunyian, mereka membawa hasil bumi untuk logistik mereka,” kata Heru menjelaskan.

photo
Pengembangan Wisata Yogyakarta. Pengunjung menikmati pemandangan Embung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta, Senin (15/7/2019). - (Republika/ Wihdan)

Cerita ini juga diamini oleh Mbah Jono, salah seorang warga. Menurutnya, para serdadu Jepang pelarian ini bahkan sempat akan membuat kubu pertahanan di lokasi Mata Air Comberan itu. “Selain tatahan pada dinding batu, dulu juga sudah dibuat tempat- tempat perlindungan dari serangan,” ujarnya.

Sedangkan, lanjut pemilik homestay di kawasan Gunung Nglanggeran ini, air dari Mata Air Comberan tidak pernah kering. Saat terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, sempat terjadi perubahan.

Debit air yang keluar mengecil. Namun, air jernih yang mengalir dari mata air ini banyak diburu para pengunjung. “Karena, jika digunakan untuk mencuci muka, dipercaya dapat membuat awet muda,” ujarnya.

‘Terbang’ di Puncak Gunung Gedhe

Puncak Gunung Gedhe tak sekadar menjadi lokasi favorit untuk berkemah dan menikmati matahari yang merangkak dari ufuk (di puncak sisi timur). Tak juga sekadar untuk menikmati bentang alam yang memesona dari puncak sisi barat.

photo
Petani menggarap lahan di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Minggu (7/2/2021). - (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Pemandangan dari lokasi ini sangat lepas untuk menikmati keindahan sebagian wilayah Kabupaten Gunungkidul, Kota Yogyakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Klaten.

Khusus di puncak barat Gunung Gedhe, juga menjadi lokasi yang paling favorit bagi pengunjung untuk melakukan “ritual terbang”. Ritual yang dimaksud adalah berpose sambil melompat hingga seolah-olah tampak sedang terbang.

Kontur puncak yang cenderung membentuk setengah irisan bola sangat memungkinkan pengambilan gambar dengan think low angle. Sehingga, akan dihasilkan pose yang relatif dramatis, seperti sedang terbang di atas panorama alam.

“Sayang untuk melewatkan kesempatan langka ini, apalagi sudah capek-capek naik sampai di puncak. Rugi kalau tidak menyempatkan pose terbang,” ujar Dian, salah satu pengunjung.

Sebuah Dusun Unik …

Di kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, ada salah satu keunikan yang masih bertahan di Dusun Tlogo Mardidho. Lokasinya di wilayah timur laut situs Geopark ini.

photo
Pemanjat berlatih di tebing batuan Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta. - (Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO)

Dari jalur utama Desa Nglanggeran masih membutuhkan waktu dua jam perjalanan untuk menembus lokasi dusun kelompok kecil masyarakat tersebut tinggal. Sayangnya, cuaca tak mendukung untuk menyambangi dusun tersebut karena sulitnya medan saat hujan.

Menurut penuturan Ketua Karang Taruna Bukit Putra Mandiri Suranto, di dusun itu hanya ditinggali tujuh kepala keluarga (KK) saja. Warganya meyakini dan percaya bahwa jumlah KK yang menghuni di lokasi tersebut harus berjumlah tujuh KK, tidak boleh kurang dan lebih.

“Itu sudah turun-temurun beberapa generasi dari pepunden Dusun Tlogo, Eyang Iro Dikromo, yang dipercaya lokasi tersebut hanya boleh dihuni oleh Mpu Pitu (kelompok tujuh),” ujarnya.

Sampai saat ini, jumlah rumah yang ada di dusun Tlogo itu pun hanya tujuh rumah. Mereka tetap hidup dalam lingkungan pranata sosial, seperti halnya warga dusun lainnya di Desa Nglanggeran.

Heru menambahkan, dari tujuh KK ini, jumlah jiwanya mencapai sekitar 33 orang. “Sebagian besar memiliki aktivitas bercocok tanam di tengah-tengah gunung api purba,” katanya. 

Disadur dari Harian Republika edisi 16 Juni 2013 dengan reportase dan Bowo S Pribadi

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Senja di Pantai WTC

Penduduk Raja Ampat memang heterogen.

SELENGKAPNYA

Teluk Kabui yang Menakjubkan

Pulau-pulau karang besar dan kecil seolah begitu saja menyembul dari dalam laut.

SELENGKAPNYA

Sepercik Damai di Waiwo

Ikan-ikan mendekat, seakan tak takut ditangkap. Mereka tak takut akan kehadiran pengunjung.

SELENGKAPNYA