Opini
Jejak Diplomasi Indonesia Menghapus Penjajahan di Palestina
Indonesia lahir tidak lepas dari semangat antikolonialisme yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa.
Oleh PIZARO GOZALI IDRUS; Senior Fellow Asia Middle East Centre for Research and Dialogue Kuala Lumpur, Kandidat PhD pada Bidang Policy Research and International Studies Universiti Sains Malaysia
Kebijakan luar negeri Indonesia lahir tidak lepas dari semangat antikolonialisme yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa. Sejak sebelum kemerdekaan, bangsa Indonesia dan para pendiri bangsa telah menyuarakan perlawanan atas penjajahan.
Tokoh kemerdekaan Indonesia Agus Salim dalam tulisannya “Soal Yahudi dan Palestina” pada 1939 telah menyoroti upaya mobilisasi bangsa Yahudi untuk mencaplok tanah Palestina.
Agus Salim, yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri pada periode 1947-1949, menegaskan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, menjadi otak di balik gerakan tersebut. Hal ini terjadi sangat intens pasca Deklarasi Balfour yang memberi kesempatan warga Yahudi mencuri tanah Palestina.
Agus Salim lalu mengungkapkan bagaimana taktik gerakan Yahudi internasional untuk memuluskan rencana tersebut. Awalnya, kata Agus Salim, warga Yahudi berkebangsaan Amerika menyuntikkan modal 50 juta dolar AS untuk membangun segala proyek di tanah jajahan agar pemukim ilegal Yahudi bisa berkembang.
Saat itu, kata Agus Salim, bagsa Arab umumnya masih hidup dengan cara Badui yang berpindah-pindah tempat dari musim ke musim, mengikutI hajat hewan ternak mencari makan.
“Untuk perusahaan kemodalan baru itu, perusahaan tanah dan kerajinan, beratus ribu
didatangkan Yahudi dari berbagai negeri. Di masa permulaan itu terutama dari Rusia, yang memang banyak pelarian politiknya disebabkan oleh berdirinya kerajaan Bolsyewik.
Demikianlah berjuta-juta uang luar negeri terutama modal Yahudi masuk dan beratus
ribu orang Yahudi, diatur oleh organisasi internasional daripada bangsa itu,” tulis Agus Salim. (Lihat Agus Salim, Soal Yahudi dan Palestina, Pandji Islam, 9 Januari 1939).
Imbasnya, kata Agus Salim, bangsa Arab, yang sudah berada 14 abad bermukim di Palestina terdesak dan terhina oleh bangsa Yahudi, yang datang dengan perilaku dan gaya sebagai tuan tanah, hendak menguasai negeri.
“Tidak suka mereka dipersamakan dengan bangsa Arab, rakyat yang asli, mengadakan bersama pemerintah atas asas demokrasi. Melainkan mereka menghendaki tujuan pergerakan Zion, kerajaan Yahudi belaka dan merdeka, yang menurut keyakinan agama mereka itulah yang telah menjadi perjanjian Tuhan kepada Bani Israel. Berlawanan dengan keyakinan agama Islam dan agama Nasrani pun juga, bahwa Tuhan dengan kekuasaannya telah mengeluarkan bangsa Yahudi dari tanah suci itu bertebar di seluruh muka bumi. Demikianlah Perjanjian Balfour itu seolah-olah hendak menyalahkan firman Allah yang menjadi keyakinan umat Islam,” tulis Agus Salim.
Sebelumnya, pada tahun 1938, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, di bawah kepemimpinan KH Mahfudz Shiddiq, mengedarkan seruan kepada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al Washiliyah, Al-Irsyad, Rabithah al-Alawiyah, Dewan Pimpinan Majelis Islam a'la Indonesia, dan partai-partai untuk mengambil sikap tegas atas apa yang dilakukan bangsa Yahudi terhadap Palestina, dan berdiri bahu membahu bersama rakyat Palestina memperjuangkan agama dan kemerdekaan tanah air Palestina dari cengkeraman kaum penjajah dan komplotan Zionisme. (Lihat, KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren. LKiS: Yogyakarta, 2013)
Menolak pembagian Palestina, menolak kehadiran Israel di KAA
Setelah Indonesia merdeka, upaya perjuangan untuk membantu Palestina tidak berhenti begitu saja. Partai Masyumi bersama anggota-anggota istimewanya yang terdiri dari NU, Muhammadiyah, dan lain-lainnya, pada 18 Desember 1947 melangsungkan sidangnya di Yogyakarta untuk membahas masalah Palestina secara khusus.
Hal ini merespons pembagian tanah Palestina dengan Israel yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Adapun keputusan yang diteken pada saat itu, antara lain.
Pertama, menganjurkan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk membantu perjuangan Palestina.
Kedua, menganjurkan kepada pemerintah RI agar menetapkan sikapnya membantu perjuangan bangsa Arab di Palestina.
Ketiga, mengharap agar Dewan Keamanan PBB meninjau kembali keputusan pleno PBB tentang pembagian Palestina yang menjadi sebab terganggunya ketenteraman dunia.
Saat menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 di Bandung, Indonesia termasuk yang keras menolak keikutsertaan Israel, meski sejumlah negara saat itu mendesak kehadiran negara kolonial itu ikut hadir di KAA.
Saat menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 di Bandung, Indonesia termasuk yang keras menolak keikutsertaan Israel, meski sejumlah negara saat itu mendesak kehadiran negara kolonial itu ikut hadir di KAA.
Namun, Indonesia tetap dalam pendiriannya menolak partisipasi penjajah bangsa Palestina dalam konferensi yang bersemangatkan spirit antikoloanisme tersebut.
Tak pelak, isu rencana kehadiran Israel menjadi topik panas antara Indonesia dan negara-negara lainnya. Lobi dan negosiasi pun terjadi.
Pada saat itu, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru sebenarnya enggan menggolongkan Zionisme sebagai imperialisme. Meski mengakui bahwa Zionisme merupakan langkah yang agresif.
Berkat serangkaian persuasi, Indonesia dan Pakistan bahkan mampu meyakinkan pemerintah Myanmar, India, dan Sri Lanka untuk menerima ketidakhadiran Israel dari yang awalnya mendukung keikutsertaan negara itu. (Lihat: Wildan Sena Utama, Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan global Antiimperialisme, Marjin Kiri: 2017)
Menurut Roeslan Abdulgani, Burma dan Sri Lanka tidak keberatan mengundang Israel. Sedangkan, Indonesia dan Pakistan keberatan.
India sendiri, sekalipun tidak anti, tapi undangan kepada Israel mengandung risiko bahwa negara-negara Arab tidak akan ada yang mau datang. Akhirnya forum memutuskan untuk tidak mengundang Israel. (Lihat: Roeslan Abdulgani, Bandung Connection: Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, Gunung Agung: 1980)
Menurut Ide Anak Agung Gde Agung, pemerintahan sosialis Burma memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pemerintahan sosialis Israel. Antara Perdana Menteri U Nu dan Presiden Israel Ben Gurion terdapat hubungan persahabatan pribadi.
Namun kehadiran Israel akan memunculkan penolakan semua negara Arab untuk berpartisipasi dalam konferensi dan ini berarti Afrika hampir tidak memiliki perwakilan.
U Nu telah mengancam bahwa dia tidak akan menghadiri konferensi yang tidak dihadiri oleh Israel. Namun setelah banyak bujukan, yang menunjukkan kemungkinan konsekuensi dari tindakan tersebut, U Nu akhirnya menarik usulannya.
U Nu telah mengancam bahwa dia tidak akan menghadiri konferensi yang tidak dihadiri oleh Israel. Namun setelah banyak bujukan, yang menunjukkan kemungkinan konsekuensi dari tindakan tersebut, U Nu akhirnya menarik usulannya.
Sebagaimana diputuskan dalam Konferensi Bogor, tidak ada kelompok politik yang diundang sebagai pengamat. Meski demikian, banyak tamu yang menghadirkan berbagai gerakan dan kelompok politik, termasuk Mufti Agung Yerusalem Syekh Amin Al Husaini. (Lihat: Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty years Indonesian foreign policy 1945-1965, Mouton & Co, 1973).
Isu kolonialisme Israel di Palestina akhirnya menjadi sorotan dalam KAA di samping penjajahan yang dialami bangsa-bangsa lainnya. Dalam komunike final KAA, bangsa Asia Afrika menyepakati dukungan bagi kemerdekaan bangsa Palestina.
“Mengingat adanya ketegangan di Timur Tengah yang disebabkan karena keadaan di Palestina dan adanya bahaya bagi perdamaian dunia yang dilupakan dalam ketegangan ini, Konferensi Asia Afrika menyatakan sokongannya kepada hak-hak bangsa Arab dan Palestina dan dicapainya suatu penyelesaian dengan jalan damai dari masalah Palestina,” tulis Komunike Akhir Konferensi Asia-Afrika Bandung tertanggal 24 April 1955.
Regulasi Antikolonialisme
Sikap antipenjahan itulah yang melatarbelakangi dituangkannya garis-garis besar politik luar negeri Indonesia berdasarkan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/ Kpts/Sd/1/61 pada tanggal 19 Januari 1961.
Ada tiga garis besar dalam politik luar negeri Indonesia. Pertama, mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia. Kedua, mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia. Ketiga, mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia. (Lihat: Jajasan Kesedjahteraan Karyawan Deplu, Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, Jakarta: 1971).
Dalam keputusan Dewan Pertimbangan Agung tersebut juga menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia, antara lain, mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa-bangsa di dunia.
Dengan itu, Indonesia merasa telah ikut serta dan akan terus ambil bagian dalam memperkuat dan mengembangkan perjuangan nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Selain itu, politik luar negeri Indonesia bertujuan mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia dan untuk mencapai perdamaian itu, sebab atau akar masalah dari sebuah peperangan harus dilenyapkan. Ini artinya bahwa sebab peperangan yang terjadi di Palestina tidak lain adalah penjajahan yang dilakukan oleh Zionisme internasional.
Dalam tulisannya yang berjudul Konferensi Asia-Afrika dan Masalah Timur Tengah (1978), Sunario Sastrowardoyo menegaskan pada era 1950-an dunia masih terus menyaksikan merajalelanya kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah yang menimbulkan rasa keprihatinan bangsa Indonesia dan dunia.
Menurut Menteri Luar Negeri tahun 1953-1955 itu, hal ini terjadi karena kaum Zionis Yahudi mendeklarasikan “negara Israel” pada tahun 1948 di Palestina.
Sunario, yang juga pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), lalu mengkritik kelompok Yahudi yang saat itu dibinasakan oleh Hitler sehingga harus melarikan diri dari Eropa.
Tapi di sisi lain, terang Sunario, kelompok Zionis Yahudi ini “tanpa sedikit pun mempunyai perasaan perikemanusiaan” justru mengusir bangsa Palestina yang telah bermukim berabad-abad di kampung halamannya sehingga menimbulkan gelombang pengungsi hingga dua juta orang.
Bahkan, lanjut Sunario, Israel melakukan ekspansi wilayah yang lebih Iuas lagi, yakni ke Tepi Barat, Gaza, Sinai, hingga Dataran Tinggi Golan. “Karena fakta-fakta itu, maka Indonesia dari semula belum pernah bersedia untuk mengakui Israel sebagai negara. Masalah Yerusalem yang diduduki Israel itu, adalah penting pula bagi umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia,” tegas Sunario.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ada Doktrin Dahiya Israel di Balik Pengeboman Rumah Sakit Gaza
Doktrin tersebut pada dasarnya mengubah sasaran sipil menjadi sasaran militer.
SELENGKAPNYAPresiden Brasil: Israel Setara Teroris
Lula membuat pernyataan tersebut saat tank-tank Israel mengepung RS Al-Shifa di Gaza
SELENGKAPNYADiserang Serentak Pejuang Palestina: Prajurit IDF Tewas
Sembilan tentara pasukan IDF tewas dalam serangan jarak dekat.
SELENGKAPNYAMakin Banyak Tank Israel yang Dihancurkan Roket Yassin 105
Dua tank penjajah Israel di utara Beit Hanoun menjadi target roket Yassin 105.
SELENGKAPNYA