KH Hasyim Muzadi | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Bijak dalam Memilih Cermin

Kita tidak dipersiapkan hidup di dunia abu-abu.

Oleh KH HASYIM MUZADI

“Rubbama kunta musi`an fa arakal ihsana minka, shuhbatuka man huwa asawa`u halan minka. (Boleh jadi engkau berbuat buruk, tapi tampak baik olehmu lantaran engkau berkawan dengan orang yang tingkah lakunya lebih buruk darimu).” (Ibnu ‘Athoillah).

Sejatinya, Allah telah menyediakan fasilitas lengkap bagi manusia agar dapat selalu berada di jalan yang benar dan diridhai Allah. Cara itu akan mempermudah manusia agar dapat mencapai derajat yang mulia, di dunia dan akhirat.

Meski diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, manusia membawa serta dua kekuatan yang tarik-menarik dalam dirinya. Yang satu mendekat ke jalan Allah sedangkan kekuatan lainnya cenderung menjauhi-Nya. Yang pertama, merepresentasi al-haq dan yang kedua, bala tentara kebatilan.

Untuk itu, dibutuhkan cara yang tepat agar manusia selalu berada dalam kafilah pertama dan selalu punya tekad untuk memerangi kekuatan jahat yang menarik ke jalan yang sesat.

Semuanya sudah jelas dan ada aturannya. Yang mana halal dan yang mana haram, sudah jelas. Yang mana mungkar dan yang mana makruf, juga sudah jelas. Semua kita mengetahuinya, tetapi sering kita terjebak dilema dalam pertempuran antardua kutub ini. Kita tidak dipersiapkan hidup di dunia abu-abu, dunia syubhat.

 
Kita tidak dipersiapkan hidup di dunia abu-abu, dunia syubhat.
   

Oleh sebab itu, Allah menurunkan Islam sebagai penyelamat bagi kita yang sering karena angkara nafsu, cenderung menjauhi ajaran Allah. Karena secara zat, Khaliq dan makhluk berbeda, Tuhan memiliki cara tersendiri agar bisa “hadir” jika manusia menginginkan “pertemuan” dengan-Nya.

Dialog dan pertemuan selalu dibutuhkan agar setiap kali melenceng, Allah menunjukkan kembali kepada kita jalan yang diridhai-Nya. Jalan Allah cuma satu, tetapi jalan kesesatan tak terhitung jumlahnya.

Satu di antara kemudahan yang dianugerahkan Allah kepada kita adalah keberadaan saudara-saudara kita, kaum beriman. Mereka adalah tempat kita becermin, tempat belajar mengenai kebajikan, melatih diri membedakan baik dan buruk, serta sebagai alat ukur bagi kita dalam bertutur, bertindak, dan bersikap.

Tanpa kehadiran mereka, sangat tidak mungkin bagi kita memastikan sebuah tindakan layak atau tidak kita lakukan. Ketika mereka berbicara, kita becermin kepada mereka mengenai tata bicara yang benar dan baik.

 
Ketika mereka berbicara, kita becermin kepada mereka mengenai tata bicara yang benar dan baik.
   

Ketika mereka menafkahkan harta demi terjaminnya harmoni sosial, kita belajar cara membersihkan diri dari sifat bakhil, iri, dan dengki yang bertengger dalam diri kita. Ketika mereka bergegas menuju masjid setiap azan berkumandang, kita belajar dari mereka cara terbaik memenuhi panggilan Allah.

Ketika mereka menyisihkan harta dan menabungnya agar dapat menunaikan ibadah haji, kita belajar dari mereka kerelaan serta ketulusan dalam menghormati seruan menjadi tamu Allah. Kita sangat membutuhkan mereka.

Karena fungsinya untuk mengetahui “sempurna” atau tidaknya diri, kita harus jujur di depan cermin. Biasanya, lebih sering karena malu atau enggan mengetahui kekurangan diri, kita justru tidak jujur dalam becermin.

Malah, kadang cermin dipecah saat mengetahui begitu banyak kesalahan, dosa, dan noda menempel di diri kita. Untuk kepentingan pencitraan diri, kita lebih senang mematutkan diri di depan cermin, bukan menghilangkan noda berkarat agar kita kembali menjadi manusia fitrah.

Tak jarang kita menganggap apa yang kita lakukan sudah sesuai syariat, padahal itu tak lebih dari sebuah rekayasa. Direkayasa agar seolah-olah sesuai dengan ajaran agama demi sebuah keuntungan yang menipu.

 
Sering pula kita merasa apa yang kita lakukan sudah benar dan baik, padahal itu tak lebih dari karena cermin yang kita gunakan sudah buram.
   

Sering pula kita merasa apa yang kita lakukan sudah benar dan baik, padahal itu tak lebih dari karena cermin yang kita gunakan sudah buram. Cermin menjadi buram karena tertimbun karat menahun sehingga sulit memantulkan gambar sesuai aslinya. Untuk perbaikan diri, sebaiknya kita mencari cermin yang masih kinclong.

Akibat terlalu sering kita bergaul dengan orang-orang yang menghalalkan segala cara, gemar menistakan ajaran agama, suka menjual harkat kamanusiaan untuk kesenangan diri, akan sering pula kita salah mengukur derajat diri. Semakin rendah kualitas lingkungan pergaulan kita, akan semakin rendah pula standar hidup yang kita peroleh.

Seperti kata Ibnu ‘Athoillah, sering kita menganggap perbuatan kita sudah baik, padahal itu tak lebih dari karena kita mengukurnya dengan standar amal saudara kita yang tidak berkualitas.

Begitu kita memasuki komunitas dengan kualitas keimanan dan peribadahan yang jauh berada di atas kita, standar kita juga akan berubah. Lalu, kita merasa bukan siapa-siapa dan ibadah kita bukan apa-apa dibanding yang mereka mujahadahkan.

Bergabunglah dengan kafilah para sufi, dengan mudah kita akan tahu begitu jauhnya jarak terbentang antara kita dan mereka. Bergabunglah dengan para mujahidin di Palestina, dengan mudah kita akan tahu betapa kecilnya medan jihad kita selama ini.

Nafsu dan bangga hati telah membuat kita tidak jujur dalam becermin. Merogoh receh di kantong sudah merasa menjadi dermawan. Hafal satu potong hadis, akhbar, atsar, sudah merasa paling pantas menjadi penerang agama. Baru mengenal satu ayat Alquran melalui terjemahan, sudah merasa menjadi orang paling layak memurnikan ajaran Islam.

Dengan sombongnya, ia lalu mempersalahkan para ulama, kiai, dan pembabat alas pesantren. Menjatah satu blok di surga untuk golongannya dan mengaveling neraka bagi lainnya. Agar selamat dunia akhirat, penting bagi kita bersikap bijak dalam mencari cermin untuk mengetahui kualitas diri. Wallahu a’lam bis shawab. 

Disadur dari Harian Republika edisi 17 Maret 2013. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat