
Refleksi
Tidak Ada Sistem Politik yang Sempurna
Dalam sistem dinasti, seorang penguasa yang adil atau zalim sukar sekali untuk diganti
Oleh SYAFII MAARIF
Jika Plato memimpikan seorang penguasa dalam sosok 'Philosopher-King' (Filsuf-Raja), apapun sistem politik yang dianut, maka di bawah kekuasaannya diharapkan keadilan yang merata akan menjadi kenyataan. Dengan dibekali ajaran filsafat seorang penguasa akan mampu mengawalnya untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kearifan dengan ilmu-pengetahuan yang melimpah. Kita tidak tahu, apakah ada di muka bumi sepanjang sejarah umat manusia menemukan Filsuf-Raja seperti yang dibayangkan Plato ini.
Alquran memang pernah menyebut Nabi Daud dan anaknya Nabi Sulaiman yang merangkap sebagai raja dengan kekuasaan besar. Dan tentunya, adil karena keduanya dibimbing oleh wahyu yang bersumber dari Zat Yang Mahaadil. Nabi Sulaiman mewarisi dari ayahnya kemampuan untuk memahami bahasa semut dan bahasa binatang lainnya. Bukan hanya sampai di situ. Sulaiman juga mampu mengendalikan angin, mempekerjakan jin dan manusia (lih. Alquran surah al-Naml: 15-16, al- Anbiyâ: 81, Saba': 12. Sosok Daud dan Sulaiman bukan Filsuf-Raja, tetapi Nabi- Raja. Sedangkan Muhammad oleh Alquran tidak pernah disebut sebagai raja atau penguasa, tetapi hanya gelar nabi dan rasul, sekalipun pernah berkuasa dengan tingkat keadilan yang sangat tinggi.
Kira-kira di mana posisi Alquran bila dikaitkan dengan sistem politik? Tidak mudah menjawab nya, karena dalam praktik kenegaraan umat Muslim selama berabad-abad pasca-al-khulafâ al-râsyidûn (632-661) telah mempraktikkan berbagai bentuk sistem politik: khilafah, kerajaan, kesultanan, keamiran, dan belakangan demokrasi. Dalam bacaan saya, sistem politik yang mendekati era al-khulafâ alrâsyidûn adalah sistem demokrasi dengan argumen karena sistem ini menempatkan manusia dalam posisi sejajar secara hukum, sejarah, dan rasa keadilan. Sistem yang lain bersifat diskriminatif terhadap manusia. Tetapi bahwa demokrasi dalam praktik banyak pula cacatnya, saya setuju.
Kecuali Indonesia, Malaysia, dan sampai batas tertentu Turki, Tunisia, dan Pakistan, bangsa-bangsa Muslim yang lain masih alergi terhadap sistem demokrasi dengan berbagai dalih. Pengusung gagasan khilafah kontemporer telah menjadikan demokrasi sebagai musuh yang harus ditumpas karena berasal dari Barat yang kafir. Bagi kelompok ini, satu-satunya sistem politik yang sah menurut syariah, pada pandangan mereka, adalah khilafah. Mereka ini menangisi kejatuhan Imperium Turki Usmani pasca-PD (Perang Dunia) I. Dengan konseptor utama mereka Taqiyuddin al-Nabhani, atau nama lengkapnya Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf al- Nabhani (1909-1977), seorang Palestina, dibentuklah HT (Hizbu al-Tahrir) di Yerusalem tahun 1953.
Al-Nabhani menolak pendapat Muhammad 'Abduh tentang reformasi Islam yang dinilainya dipengaruhi Barat, termasuk sistem demokrasi. Kesulitan saya dengan pandangan HT ini adalah teori politik yang dibangunnya dari sikap anti yang ekstrem dan hanya menawarkan sistem politik tunggal: khilafah. Di luar sistem khilafah, semua nya haram, semuanya kafir, padahal dalam praktik khilafah itu sendiri ditegakkan atas tengkorak teman seagamanya, baik pada era Umayyah, 'Abbasiyah, maupun era Imperium Turki Utsmani yang diidolakan al- Nabhani. Sistem ini ditolak oleh semua negara Arab dengan alasan nya masing-masing, ada yang karena alasan prinsip, ada pula karena khawatir akan menumbangkan kekuasaan yang sedang mereka nikmati.
Judul tulisan ini: "Tidak Ada Sistem Politik Yang Sempurna," sekalipun terasa ada pembelaan terhadap demokrasi. Secara teori, demokrasi itu memberikan posisi yang sejajar untuk semua warga negara dengan tidak latar belakang apa pun.
Berbeda dengan sistem kerajaan, khilafah, dan yang sejenis itu, yang dibangun oleh dinasti tertentu. Posisi penguasa diwariskan kepada sesama keturunan darah biru. Sistem semacam ini bagi saya adalah penghinaan dan pengkhianatan kepada martabat manusia yang dilahirkan sama. Dalam demokrasi, seorang rakyat jelata, 'wong cilik', bisa jadi presiden jika dia dipilih berdasarkan kualifikasi tertentu, sesuatu yang absen dalam sistem dinasti.
Namun, kelemahan dan cacat demokrasi bukan terletak pada teori yang dibangun, melainkan terletak pada kualitas pendukungnya, yaitu di pundak para politikus dari berbagai partai politik. Jika politisi ini lemah dalam karakter dan integritas pribadinya, demokrasi bisa meluncur ke dalam praktik politik yang mungkin lebih buruk dari kerajaan yang adil.
Tetapi tetap terbuka peluang untuk mengganti politisi busuk itu melalui pemilihan umum. Dalam sistem dinasti, seorang penguasa yang adil atau zalim sukar sekali untuk diganti kecuali oleh 'revolusi di lingkungan darah biru'. Di luar lingkungan itu adalah wilayah rakyat yang kewajibannya semata-mata: taat!
Akhirnya, sistem demokrasi dengan segala kelemahannya jauh lebih menghormati martabat manusia dan menempatkan mereka pada posisi yang sama dan setara.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 5 Maret 2019. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Bisakah Islam Dipisahkan dari Politik?
Politik dan kekuasaan merupakan sarana untuk menegakkan perintah Allah SWT dalam amar makruf nahi munkar.
SELENGKAPNYAMenag Larang Penceramah Agama Kampanye Politik Praktis
Surat Edaran tersebut bertujuan menghindari konten yang dapat memicu intoleransi, diskriminasi, anarki, atau kampanye politik praktis
SELENGKAPNYABung Hatta, Politik, dan Intelegensia
Hatta masuk secara langsung ke dalam kedua kategori ini: sarjana yang intelektual.
SELENGKAPNYA