IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Israel Alat Barat Buat Menguasai Timur Tengah

Begitulah cara AS dan Barat melindungi Israel dengan mengorbankan nasib bangsa Palestina.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Israel itu sebenarnya tak kuat-kuat amat. Ia menjadi kuat lantaran didukung penuh Barat, terutama Amerika Serikat (AS) dan Inggris.

Dukungan kepada Israel sudah jadi semacam ‘akidah politik’ luar negeri buat kedua negara tersebut. Karena itu, siapa pun yang jadi Presiden AS dan Perdana Menteri (PM) Inggris, kebijakan kepada negara Yahudi itu tidak pernah berubah.

Entah yang jadi Presiden AS itu dari Republik seperti Donald Trump atau dari Demokrat seperti Joe Biden atau bahkan Barack Obama yang berkulit hitam. Juga siapa pun yang jadi PM Inggris, termasuk Rishi Sunak yang keturunan India.

Oleh sebab itu, tak mengherankan bila Presiden AS dan PM Inggris merupakan pemimpin negara asing pertama yang berkunjung ke Israel, setelah Operasi Badai al-Aqsa yang dilancarkan Hamas, 7 Oktober lalu. Menurut Biden dan Sunak, kunjungan mereka ke Tel Aviv sebagai bentuk solidaritas pada bangsa Israel.

 
Tak mengherankan bila Presiden AS dan PM Inggris merupakan pemimpin negara asing pertama yang berkunjung ke Israel, setelah Operasi Badai al-Aqsa yang dilancarkan Hamas, 7 Oktober lalu. Menurut Biden dan Sunak, kunjungan mereka ke Tel Aviv sebagai bentuk solidaritas pada bangsa Israel.
 
 

"Israel harus kembali menjadi tempat yang aman bagi orang-orang Yahudi," ujar Presiden Biden ketika berada di Tel Aviv. Ia menegaskan, seandainya Israel tidak ada pun, "Kami akan berupaya untuk mewujudkannya!"

Biden menyebutkan, operasi gerakan perlawanan Palestina (Hamas) telah meninggalkan luka mendalam bagi Israel. Ia mengibaratkan Operasi Badai al-Aqsa lebih besar 15 kali dibandingkan peristiwa serangan 11 September 2001. Yang terakhir ini adalah serangan teroris terhadap Menara Kembar World Trade Center di New York City dan tempat lainnya di AS, yang telah menewaskan sekitar 3.000 warga.

Presiden AS itu juga memperingatkan negara-negara lain agar tidak ikut menyerang Israel. Ia seolah ingin mengatakan, siapa pun yang menyerang negara Yahudi itu akan berhadapan dengan AS.

Kunjungan Biden terjadi setelah militer Israel meluluhlantakkan Rumah Sakit Baptist di Gaza yang menewaskan lebih dari 400 orang. Ironisnya, ia mengadopsi narasi Israel yang menganggap kelompok perlawanan Palestina bertanggung jawab atas pengeboman rumah sakit tersebut, dengan mengutip data yang diberikan oleh Departemen Pertahanan AS. Padahal, lembaga-lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyatakan pengeboman itu jelas dilancarkan militer Israel.

Presiden Biden menganggap kehadiran Israel di Timur Tengah untuk melindungi kepentingan AS di kawasan. Ia pun menegaskan dukungan penuh dan tanpa syarat AS terhadap negara Zionis Yahudi itu.

Kalau kini peran AS lebih menonjol dalam membela Israel, sebenarnya mereka hanya berbagi peran dengan negara Barat lainnya, terutama Inggris. Negara PM Sunak itu boleh dikata berperan besar mewujudkan negara Yahudi itu di jantung Arab.

Sebelum pertengahan abad ke-20, yang namanya negara Israel tidak ada dalam peta Timur Tengah. Ia sengaja dibentuk, seperti tertera dalam Deklarasi Balfour, dan kemudian ‘ditanam’ di wilayah Palestina. Tujuannya, agar Barat tetap bisa ‘menguasai’ negara-negara di kawasan Timur Tengah, yang pada sekitaran pertengahan abad ke-20 mulai memerdekakan diri dari kekuasaan kaum kolonial.

Deklarasi Balfour adalah pernyataan terbuka Pemerintah Inggris pada 1917, semasa Perang Dunia I, berisi dukungan bagi pembentukan 'sebuah kediaman nasional bagi bangsa Yahudi' alias negara Israel. Deklarasi Balfour tercantum dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Menlu Inggris Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Inggris, untuk diberitahukan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia.

Pada waktu itu, wilayah Palestina bukan pilihan pertama bagi pembentukan negara Israel. Sejarawan Walter Russell Mead kepada The Atlantic menyatakan, orang-orang Yahudi itu tetap ingin tinggal di negara yang mereka sebut favorit, seperti AS, Inggris, Brasil, Uganda, dan negara Eropa lain.

 
Pada waktu itu, wilayah Palestina bukan pilihan pertama bagi pembentukan negara Israel. Sejarawan Walter Russell Mead kepada The Atlantic menyatakan, orang-orang Yahudi itu tetap ingin tinggal di negara yang mereka sebut favorit, seperti AS, Inggris, Brasil, Uganda, dan negara Eropa lain.
 
 

Namun, seluruh negara itu menutup pintu masuknya para imigran Yahudi. Akhirnya dipilihkan tepi Laut Mediterania, kini wilayah Palestina. Wilayah ini disetujui tokoh-tokoh Yahudi dan juga Inggris.

Sejak itu, gelombang imigran Yahudi dari berbagai negara pun membanjiri Palestina. Gelombang imigran itu semakin meningkat selama Perang Dunia II. Apalagi setelah terjadi peristiwa Holokaus, yakni pembunuhan sistematis warga Yahudi oleh Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Pembunuhan ini berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai Nazi. Dari sekitar 9 juta warga Yahudi yang tinggal di Eropa sebelum Holokaus, sekitar dua pertiganya tewas.

Ironisnya, pelaku pembunuhan adalah Nazi Jerman. Lokasinya pun di Eropa. Namun, yang harus menanggung derita justru bangsa Palestina, ketika jutaan warga Yahudi yang selamat itu justru berimigrasi ke wilayah mereka (Palestina).

Gelombang imigrasi orang-orang Yahudi ke Palestina tentu membuat marah warga Arab. Apalagi Inggris juga memberi angin terhadap keberadaan orang-orang Yahudi ketika menjadi Protektorat Palestina.

Konflik pun tak bisa dielakkan. Pada 1945, PBB yang didominasi Barat memberikan solusi pendirian dua negara, Palestina dan Yahudi. Solusi itu pun ditolak kedua belah pihak. Puncaknya, orang-orang Yahudi malah mendeklarasikan Negara Israel di atas wilayah Palestina pada 1948.

Inilah yang kemudian dikenal sebagai Hari Nakba, hari malapetaka atau bencana bagi bangsa Palestina. Sejumlah lebih dari 700 ribu warga Palestina diusir dari kampung halaman. Banyak dari mereka lalu mengungsi di berbagai negara dan tidak memiliki kewarganegaraan hingga kini. Nakba itu ternyata terus berlanjut hingga kini.

 
Sejumlah lebih dari 700 ribu warga Palestina diusir dari kampung halaman. Banyak dari mereka lalu mengungsi di berbagai negara dan tidak memiliki kewarganegaraan hingga kini. Nakba itu ternyata terus berlanjut hingga kini.
 
 

Kondisi bangsa Palestina kian runyam ketika AS sebagai negara adidaya mendukung penuh keberadaan Israel. Dukungan AS mulai berlangsung saat Perang Dingin dengan Uni Soviet (1947-1991).

Bagi Barat, terutama AS dan Inggris, Timur Tengah adalah wilayah potensial lantaran kaya minyak bumi dan gas. Dengan adanya Israel di jantung Arab, maka Barat akan dengan gampang untuk terus menguasai kawasan Timur Tengah.

Pun dengan adanya Israel di jantung Arab, akan dengan sendirinya menciptakan perlombaan senjata di antara negara-negara di kawasan, buat menyaingi kekuatan militer negara Zionis Yahudi itu. Senjata itu dipasok atau dibeli dari AS.

Dalam rangka meminimalisasi ancaman terhadap negara Yahudi, konflik yang tadinya Arab-Israel pun dibonsai menjadi konflik Palestina-Israel pasca-perang 1973.

Pada perang Arab-Israel waktu itu, militer Mesir bisa saja menang, kalau tidak ada dukungan AS pada tentara Israel. Negara Yahudi itu kemudian setuju berdamai dengan Mesir, hanya untuk menyingkirkan negara itu dari arena konflik. Perang Arab-Israel pun berhasil dikerdilkan menjadi konflik Palestina-Israel.

Konflik ini pun berhasil dikecilkan lagi menjadi antara Israel dengan Hamas, ketika bangsa Palestina terpecah menjadi dua faksi besar, Fatah dan Hamas. Perpecahan itu dipicu oleh perbedaan sikap antara dua faksi.

 
Konflik ini pun berhasil dikecilkan lagi menjadi antara Israel dengan Hamas, ketika bangsa Palestina terpecah menjadi dua faksi besar, Fatah dan Hamas. Perpecahan itu dipicu oleh perbedaan sikap antara dua faksi.
 
 

Fatah yang memerintah di Tepi Barat cenderung menempuh penyelesaian diplomasi. Sedangkan Hamas, yang berkuasa di Gaza, lebih memilih perlawanan militer setelah berbagai penyelesaian diplomasi dengan Israel tidak membuahkan hasil.

Lantaran perlawananannya terhadap Israel inilah, Hamas lalu dicap oleh AS, Israel, dan sejumlah negara Barat lainnya sebagai kelompok teroris. Presiden Biden pun menyebut Operasi Badai al-Aqsa yang dilancarkan Hamas dengan istilah-istilah 'kebrutalan, kekejaman, kejahatan, kebencian, dan hari berdarah bagi bangsa Yahudi sejak Holokaus', dan ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan Hamas adalah teroris.

Penyebutan istilah-istilah itu jelas dimaksudkan untuk mengutuk segala simpati yang ditunjukkan masyarakat dunia pada perjuangan bangsa Palestina. Juga sekaligus untuk mengabaikan Operasi Badai al-Aqsa adalah gerakan perlawanan bersenjata melawan rezim pendudukan dan apartheid. Mereka juga sengaja melepaskan konteks dan sejarah, mengapa operasi itu dilancarkan Hamas.

 
Penyebutan istilah-istilah itu jelas dimaksudkan untuk mengutuk segala simpati yang ditunjukkan masyarakat dunia pada perjuangan bangsa Palestina. Juga sekaligus untuk mengabaikan Operasi Badai al-Aqsa adalah gerakan perlawanan bersenjata melawan rezim pendudukan dan apartheid.
 
 

Penyebutan Hamas sebagai teroris secara tidak langsung juga menyamakannya dengan ISIS. Dua kelompok ini jelas berbeda. Hamas adalah gerakan perlawanan nasional yang mematuhi batas-batas Negara Palestina, menghadapi pendudukan, dan menganut etika perang. Sementara itu, ISIS adalah gerakan protes terhadap tatanan internasional, berupaya mendirikan kekhalifahan lintas batas, menghalalkan segala cara, dan tidak mematuhi etika perang apa pun karena kebiadaban mereka.

Karena Hamas dianggap teroris, maka Israel boleh berbuat apa saja, termasuk meluluhlantakkan Gaza dan membunuh rakyat Palestina. Juga untuk melucuti Hamas atas hak politik dan militernya sebagai gerakan pembebasan terhadap pendudukan Israel.

Yang menjadi ironis, kendati Presiden Biden menegaskan agar PM Israel Benjamin Netanyahu menghormati hukum internasional, tapi ia tetap bungkam mengenai pengeboman tanpa pandang bulu yang dilakukan Israel di Gaza dan memaksa perpindahan penduduk secara sistematis.

Serangan Israel ke Gaza sejauh ini telah membunuh lebih 3.000 warga Palestina, 11 ribu terluka, dan sejuta lebih kehilangan tempat tinggal.

Jadi perkataan Biden agar Israel menghormati hukum internasional hanyalah basa-basi politik. Dan, begitulah cara AS dan Barat melindungi Israel dengan mengorbankan nasib bangsa Palestina.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Israel Tolak Tawaran Hamas Bebaskan Sandera

Jumlah warga Palestina yang dipenjarakan Israel melonjak.

SELENGKAPNYA

Bantuan Masuk Gaza, Israel Gencarkan Serangan

Jumlah bantuan masih jauh dari kebutuhan di Gaza.

SELENGKAPNYA

Israel Kalah di Hati Warga Dunia

Ratusan ribu warga dunia terus berunjuk rasa membela Palestina

SELENGKAPNYA

Di Bawah Kubah Shakhrah

Cerpen Fadlan S

SELENGKAPNYA