Hikmah
Kemunafikan Intelektual
Setiap orang berilmu selalu berpotensi melakukan kemunafikan.
Oleh HASAN BASRI TANJUNG
Sejatinya, sifat kenabian yang paling utama adalah kejujuran (siddiq) yang berpangkal dari hati, pikiran, ucapan, dan berujung pada perbuatan. Ketika terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lain, maka akan melahirkan kebohongan (kidzb).
Kejujuran adalah karakter orang beriman, kebohongan adalah tanda kemunafikan. Nabi SAW berpesan, "Sesungguhnya, kejujuran itu menenangkan dan kebohongan menimbulkan kerisauan." (HR Ahmad).
Salah satu bentuk kemunafikan yang paling berbahaya adalah kemunafikan intelektual, yakni kedustaan dalam segala aspek yang berkaitan dengan niat, proses, tujuan, dan penggunaan ilmu pengetahuan. Dunia pendidikan kita tengah dilanda kemunafikan yang meluas dan sistematis, sehingga keberadaan sains dan teknologi serta para ilmuwan serasa menjauh dari kemaslahatan. Keluhuran ilmu untuk menunjukkan kebenaran dan ilmuwan untuk menebar kemanfaatan tidak terikat lagi dengan kesejahteraan.
Dunia pendidikan kita tengah dilanda kemunafikan yang meluas dan sistematis, sehingga keberadaan sains dan teknologi serta para ilmuwan serasa menjauh dari kemaslahatan. Keluhuran ilmu untuk menunjukkan kebenaran dan ilmuwan untuk menebar kemanfaatan tidak terikat lagi dengan kesejahteraan.
Dalam sebuah riwayat, Said Bin Amer bercerita, "Aku pernah membaca dalam sebuah kitab yang berasal dari ucapan Nabi Isa AS. 'Kalian beramal untuk dunia padahal kalian diberi rezeki di sana tanpa amal, dan kalian tidak beramal untuk akhirat padahal kalian tidak diberi rezeki kecuali dengan beramal.
Celakalah ulama su' (ulama jahat), di mana mereka mengambil pahala, sedang amal disia-siakan. Waspadalah, boleh jadi pemilik amal (Allah) meminta amalnya, dan dikhawatirkan kalian keluar dari dunia yang luas menuju kegelapan kubur yang sempit. Allah melarang kalian berbuat kesalahan sebagaimana la memerintahkan kalian semua shalat dan puasa'."
Lalu, bagaimana mungkin seseorang yang berilmu khawatir terhadap rezeki dan merendahkan derajatnya, padahal ia tahu bahwa hal itu dari ilmu Allah SWT dan takdir-Nya?
Bagaimana mungkin seseorang dianggap berilmu, sedangkan dia menghujat Allah SWT terhadap apa yang telah ditentukan-Nya, dan dia tidak ridha atas sesuatu yang menimpanya?
Bagaimana bisa dianggap seorang berilmu, jika ia lebih mengutamakan dunia daripada akhiratnya? Bagaimana bisa dianggap seorang berilmu, jika ia berjalan menuju akhirat, tapi selalu mengejar dunia, dan apa-apa yang membahayakan lebih ia sukai dari yang membawa manfaat?
Bagaimana bisa dianggap orang berilmu, jika ia mencari al-kalam (ilmu) sekadar diinformasikan dan bukan untuk diamalkan?" (HR Darimi).
Setidaknya, riwayat tersebut mengandung lima indikator kemunafikan intelektual.
Pertama, orang berilmu tapi ragu akan rezeki dari Allah SWT, sehingga melakukan tindakan yang merendahkan dirinya. Tidak patut orang berilmu khawatir atau takut akan kecukupan rezeki, sementara ia dibekali pengetahuan dan keterampilan yang bisa membuka pintu rezeki.
Bagi orang beriman dan berilmu, selain mengejar rezeki tapi sebaliknya akan dikejar rezeki. Apa saja yang melata di muka bumi bahkan burung yang patah sayap pun ada rezekinya. (QS Hud [11]: 6).
Kedua, orang berilmu yang menentang Allah SWT dan ketentuan-Nya. Karunia ilmu pengetahuan justru tidak mampu menemukan kebenaran hakiki, tapi justru untuk membantah atau menggugat kebenaran agama, karena terpengaruh oleh pemikiran sekuler dan liberal.
Semestinya, ketika seorang berilmu luas dan dalam, maka yang muncul adalah kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT dan keterbatasan ilmunya (QS Ali Imran [3]: 190-191).
Ketiga, orang berilmu yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Tentulah, dengan ilmu, segala urusan yang dihadapi akan lebih mudah dan murah. Namun, pesan Nabi SAW mesti dipegang, “Barangsiapa mempelajari ilmu bukan dengan tujuan yang semestinya, yakni mencari keridhaan Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, tetapi justru untuk mendapat kekayaan duniawi, niscaya ia tidak akan mendapati harumnya aroma surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud).
Keempat, orang berilmu yang berjalan menuju akhirat, tapi hatinya tersangkut dengan dunia. Godaan berat bagi orang berilmu adalah kenikmatan dunia. Tidak sedikit ulama, kiai, dosen atau guru yang semula tulus dan benar dalam menuntut ilmu, tapi terpedaya dengan kedudukan, sanjungan, dan penghargaan yang diraih dengan tidak baik.
Padahal, siapa saja yang mengharap ganjaran dari Allah SWT, maka ia akan meraih keberuntungan dunia dan akhirat (QS an-Nisa' [4]: 134).
Kelima, orang berilmu yang tidak mengamalkannya. Setiap Muslim disuruh menuntut ilmu demi meraih kejayaan dunia dan akhirat. Namun, ilmu tidak akan mampu mengubah kehidupan manusia, jika tidak didasarkan pada iman dan diwujudkan dengan amal saleh.
Iman akan menjadi amal saleh jika ditransformasikan dengan ilmu, sehingga mendatangkan kehormatan (QS al-Mujadalah [58]: 11). Pepatah Arab mengatakan, "Ilmu yang tak diamalkan laksana pohon tak berbuah."
Syekh Al-Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim, mengatakan, "Siapa yang menuntut ilmu untuk hari akhir, maka sukseslah dia dengan karunia dan petunjuk. Betapa merugi orang yang menuntut ilmu demi mendapatkan kehormatan dari sesama hamba. Kecuali bila mencari pangkat atau derajat dengan tujuan agar dapat menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, memperjuangkan kebenaran, meninggikan agama, bukan untuk diri sendiri dan menuruti hawa nafsu. Maka, hal itu boleh sebatas ilmu yang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar."
Walhasil, setiap orang berilmu selalu berpotensi melakukan kemunafikan. Tandanya, manakala ada dusta (manipulatif) dalam mencari kebenaran atau meriah penghargaan, mengajar atau menuliskan, dan meraih kedudukan. Itulah kemunafikan intelektual yang tidak akan lepas dari tuntutan dan tanggung jawab di dunia dan akhirat.
Na'udzubillahi min dzalik. Allahu a’lam bish-shawab.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Negeri yang Berkah
Muncul keberkahan dari Allah di negeri kita tercinta dan terhindari dari segala bencana.
SELENGKAPNYAKisah Murid Nabi Isa Mengislamkan Kaumnya
Al-Ushfuri menuturkan kisah tentang tobatnya seorang raja Persia pada zaman Nabi Isa.
SELENGKAPNYASang Perintis Islamisasi Pakistan
Zia Ul Haq kala berkuasa memantapkan Islamisasi sistem negara Pakistan.
SELENGKAPNYA