B J Habibie saat menerbangkan pesawat terbuat dari kertas | Republika | Edwin Dwi Putranto

X-Kisah

Jasa BJ Habibie Membuka Keran Kebebasan Pers

 

 

‘Kebebasan pers’ baru benar-benar terimplementasi di lapangan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Saat itu, Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie menandatangani UU tersebut di tengah masa peralihan dari Orde Baru yang serba mengekang kebebasan, menuju era reformasi.

Dalam Forum Diplomatik bertema ‘Kebebasan Pers, Penghargaan untuk BJ Habibie’, di Auditorium Jusuf Ronodipuro, Gedung RRI Jakarta, Direktur Voice of Indonesia Agung Susatyo mengatakan, Habibie telah mengambil langkah penting dalam proses mendorong proses demokratisasi di Indonesia. 

“Mustahil kita bisa berbicara tentang demokrasi jika pers masih terkekang,” kata dia, Rabu (26/2).

Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998. Dalam amendemen UUD 1945 Pasal 28 F disebutkan, "Setiap orang yang membantah dan mencari informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia". Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi melalui UU 40/1999 yang diteken BJ Habibie.

Peran pers sebagai pilar demokrasi terus mendapat tantangan. Peningkatan Indeks Kebebasan Pers, tekanan terhadap media hingga fenomena //hoaks// kerap muncul dipermukaan. Agung mengatakan, tantangan ini harus dijawab bersama oleh semua pihak, baik media, pemerintah, maupun masyarakat.

“Warisan dari Pak Habibie dalam bentuk kebebasan pers ini harus kita rawat dan kita pelihara. Tantangan itu akan terus ada, tapi kita harus mampu menjawabnya,” ujar dia.

 
BJ Habibie wafat pada 11 September 2019. Habibie meninggalkan warisan besar untuk kemajuan demokrasi Indonesia dalam bentuk kebebasan pers. Jasa ini akan senantiasa menjadi kenangan manis bagi bangsa Indonesia. Karena jasanya, pada 16 September 2019, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menganugerahi Bapak Kebebasan Pers Indonesia.
   

Dalam kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi mengatakan, saat ini media mainstream atau arus utama memiliki lawan yang tangguh dengan algoritma media sosial. Media sosial, kata dia, bisa menyajikan atau tidak menyajikan suatu konten informasi tertentu bagi masyarakat. 

Sementara itu, masyarakat pengguna percaya sepenuhnya kepada kejujuran platform media sosial. “Di sinilah pentingnya menelaah algoritma media sosial. Pemerintah perlu hadir untuk melindungi masyarakat,” ujar dia.

Irfan berharap, semua pihak dapat mengampanyekan etika jurnalistik. Dengan adanya algoritma media sosial, sulit bagi masyarakat untuk melihat benar dan salah dalam suatu berita. 

Berbagai platform media sosial umumnya mengandalkan pendapatannya dari iklan. Algoritmanya dirancang agar pengguna mendapat informasi yang relevan dengan profil pengguna. Konten di medsos yang banyak pengunjungnya bisa menjadi sumber pendapatan bagi pengunggahnya.

Popularitas yang mendatangkan iklan ini bisa menjadi modus konten yang berkaitan dengan berita bohong atau hoaks.

Sekali seseorang mengunjungi suatu konten, dia akan diberi saran tautan konten lain yang sejenis dan relevan oleh algoritma medsos tersebut. Masalahnya, kata Irfan, jika seorang pengguna mengunjungi konten yang dianggap negatif, dia akan diberi saran tautan yang relevan dengan konten negatif tersebut. Dia akan terjebak dalam pusaran konten dan informasi sejenis.

“Perlunya pemerintah dan semua pihak terkait untuk mengedukasi masyarakat agar dapat mengonsumsi informasi benar yang ada media sosial,” ujar dia.

Irfan menambahkan, Republika sebagai media nasional juga terus melakukan klarifikasi ulang terhadap setiap berita yang masuk sebelum menyajikannya kepada masyarakat. Reporter selalu diarahkan untuk berpikir logis ketika mendapatkan suatu berita sehingga dapat terhindar dari berita palsu atau berita bohong.

Sekjen Kemenkominfo Niken Widiastuti dalam kesempatan yang sama juga menanggapi hal ini. Dia mengatakan, Kemenkominfo memiliki program literasi medsos. Perlu adanya proses literasi medsos ke seluruh lapisan masyarakat, baik itu pelajar dan mahasiswa maupun masyarakat umum. Sehingga, medsos yang dipakai jauh lebih sehat dengan konten-konten positif yang membawa manfaat.

“Sejauh ini pemerintah dalam hal ini Kominfo sudah bekerja sama dengan lebih dari 100 perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk melakukan literasi media sosial di kalangan pelajar dan mahasiswa,” ujar dia. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat