Ilustrasi pengelolaan keuangan. | Freepik

Iqtishodia

Filosofi Arthasastra dalam Manajemen Keuangan di Bali

Intisari filosofi Arthasastra dapat menjadi strategi bagi keluarga dalam menghadapi kondisi krisis.

OLEH I Dewa Gede Bagus Biantara (mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB)
Dwiki Cacala Gumelar Adhimandala (mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB)
Trian Maulana (mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB)
Dewi Sukmawati (mahasiswa Manajemen IPB)
Citra Shabira (mahasiswa Ekonomi Sumber Daya Lingkungan IPB)
Widyastutik (Dosen Pendamping Tim PKM-RSH Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)


Kecemasan manajemen keuangan menjadi masalah yang banyak dihadapi oleh keluarga, terutama dalam situasi krisis ekonomi. Seperti yang diketahui, Indonesia telah mengalami beberapa macam krisis, di antaranya krisis keuangan global 2008, krisis akibat pandemi Covid-19, dan yang terakhir krisis akibat perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga energi global sehingga memicu inflasi global dan memengaruhi harga pangan.

Berbagai krisis menurunkan aktivitas sektor ekonomi di Bali (Sutrisni, 2020). Dampaknya terlihat pada penurunan pertumbuhan PDRB Bali dari 5,02 persen pada 2019 menjadi 2,07 persen pada 2020 (BPS, 2023).

Kondisi tersebut dapat mengganggu stabilitas keuangan dan mengancam kesejahteraan keluarga, sehingga diperlukan pengelolaan manajemen keuangan keluarga yang resilien terhadap krisis. Salah satu caranya melalui pendekatan sosial-budaya dengan menerapkan filosofi Arthasastra yang merupakan filosofi pada ajaran agama Hindu terkait manajemen keuangan keluarga.

Arthasastra merupakan sebuah kitab kuno yang ditulis oleh Resi Chanakya (Kautilya), seorang cendekiawan dan ahli strategi politik. Arthasastra memiliki akar dalam politik dan pemerintahan, tetapi memiliki prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam konteks manajemen keuangan keluarga.

photo
Wisatawan mengunjungi objek wisata Tanah Lot pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 di Tabanan, Bali, Sabtu (9/10/2021). - (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Salah satu dosen dari Universitas Hindu Negeri Denpasar, Dr Nyoman Bontot, menyatakan bahwa pendekatan prinsip-prinsip itu mengacu kepada pengalokasian keuangan untuk mencapai tujuan objektif keluarga dan tercantum dalam ajaran “Catur Purusartha”, yaitu Artha (harta), Dharma (kebaikan), Kama (kepuasan), dan Moksha (pembebasan dan kebahagiaan lahir batin).

Prinsip-prinsip Arthasastra, menurut Saputra (2020), dibagi menjadi empat bagian, yaitu Nivi (pengelolaan saldo), Bhaga (pengelolaan modal), Nitya (pengeluaran kebutuhan), Labha (manajemen penerimaan sebelumnya). Keempat prinsip itu kemudian diturunkan menjadi tujuh indikator ekonomi yang relevan menurut Arthasastra berdasarkan Hartawan dan Putra (2018).

Selanjutnya, ketujuh indikator ini diujikan kepada lima pakar yang merupakan responden kunci untuk mengetahui indikator ekonomi apa saja yang memiliki relevansi terhadap Arthasastra. Keseluruhan indikator ekonomi yang disajikan menunjukkan tingkat relevansi yang tinggi terhadap konsep Arthasastra.

Terdapat dua indikator ekonomi dengan nilai tertinggi, yaitu menjalankan bisnis dengan konsep Dharma atau kebaikan yang merupakan bagian dari prinsip Bhaga (modal) dan agama menjadi sumber moral dan kebijakan bagi kegiatan dalam bidang ekonomi yang merupakan bagian dari prinsip Nitya (pengeluaran kebutuhan).

Penerapan di Bali

Dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), para mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB melakukan pengamatan perbedaan perilaku masyarakat mengenai implementasi prinsip Arthasastra di Desa Sidakarya dan salah satu desa adat, yaitu Desa Tenganan. Desa Adat Tenganan dipilih karena dikenal dengan budaya adat yang kental dan salah satu desa tertua di Bali. Sementara itu, Desa Sidakarya merupakan perwakilan dari salah satu desa dinas modern di Bali.

Hasil kajian dari tim PKM-RSH FEM IPB menemukan bahwa penerapan filosofi Arthasastra terkait prinsip Nitya (pengeluaran kebutuhan) dan Labha (manajemen penerimaan sebelumnya) memiliki perbedaan penerapan di kedua desa. Perbedaan kedua prinsip ini secara umum dapat dilihat dari pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga.

Menurut salah seorang warga di Desa Adat Tenganan, desa adat memiliki beragam upacara keagamaan yang terjadwal sehingga dalam pengelolaan dana untuk keagamaan dapat dipersiapkan dengan matang sebulan sebelumnya. Perencanaan yang lebih matang di desa adat memengaruhi perilaku pengelolaan penerimaan dan pengeluaran masyarakat yang hidup di desa Adat.

photo
Warga yang menjual produk kerajinan menunggu pembeli di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, Jumat (24/9/2021). Desa wisata unggulan di wilayah Bali Timur itu berhasil terpilih menjadi 50 desa wisata terbaik di Indonesia dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021. - ( ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.)

Sementara itu, untuk prinsip Nivi (saldo) dan Bhaga (modal) tidak menunjukkan adanya perbedaan penerapan di kedua desa. Tidak terdapatnya perbedaan penerapan dari Nivi dan Bhaga di kedua desa ini dapat diakibatkan relatif mudahnya akses pembiayaan yang menunjukkan relatif meningkatnya inklusi keuangan.

Inklusi keuangan ini tecermin dari hadirnya lembaga keuangan seperti LPD (Lembaga Perkreditan Desa) dan sistem “subak”. Namun, hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa nilai rata-rata penerapan Nivi (pengelolaan saldo) Desa Sidakarya memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Tenganan. Berdasarkan wawancara dengan pemuka adat Desa Tenganan, hal ini disebabkan karena tidak keseluruhan dari masyarakat Desa Tenganan yang terdata dalam sistem subak.

Penerapan Arthasastra sebenarnya bisa menjadi cara masyarakat bertahan dalam kondisi krisis. Namun, kurangnya pemahaman mendalam mengenai konsep ini membuat masyarakat lebih menggunakan pendekatan Nivi (pengelolaan dana/saldo saat krisis). Hal ini mengakibatkan masyarakat kurang resilien dalam menghadapi krisis yang telah terjadi beberapa waktu lalu. 

Penerapan Arthasastra bisa menjadi cara masyarakat bertahan dalam kondisi krisis

 

 

Sementara itu, desa adat yaitu Desa Tenganan relatif lebih resilien terhadap krisis karena menerapkan pengelolaan manajemen keuangan keluarga dengan menggunakan prinsip Nitya (pengeluaran kebutuhan) dan Labha (penerimaan sebelumnya).

Dari hasil survei terhadap 204 responden di kedua desa, dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan filosofi Arthasastra akan memberikan kapasitas manajemen pengelolaan keuangan yang lebih tertata dan resilien terhadap kondisi krisis. Hal ini menunjukkan bahwa intisari filosofi Arthasastra dapat menjadi strategi bagi keluarga dalam menghadapi kondisi krisis.

Tim PKM-RSH FEM IPB merumuskan tiga alternatif strategi yang dapat diambil dari penerapan filosofi Arthasastra. Pertama, melakukan pelaporan, monitoring, evaluasi, dan penegakan aturan (law enforcement) terkait arus pendapatan dan pengeluaran keluarga.

Kedua, melakukan banyak kegiatan produktif untuk meningkatkan pendapatan berdasarkan kualitas SDM yang dimiliki. Ketiga, memutarkan modal yang dimiliki keluarga untuk investasi dalam bentuk bisnis atau aset lainnya.

Ketiga alternatif strategi ini ditujukan untuk peningkatan daya lenting atau daya tahan, peningkatan pendapatan, dan peningkatan akumulasi aset saat krisis sehingga kesejahteraan keluarga dapat terjamin melalui pengelolaan manajemen keuangan keluarga yang resilien. Pendekatan implementasi dari strategi ini dapat diwujudkan melalui pendekatan keagamaan dan budaya desa adat mengingat desa adat merupakan kelembagaan yang mengatur masyarakat Bali. Strategi tersebut masih dalam pengujian oleh tim PKM-RSH FEM IPB.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat