
Arsitektur
Pesona dan Sejarah Ribat Soussa
Ribat mulanya difungsikan sebagai benteng militer, tetapi kemudian menjadi titik persinggahan musafir.
Lanskap kota dalam peradaban Islam memiliki ciri-ciri yang khas. Misalnya, keberadaan masjid raya, alun-alun, tempat tinggal gubernur (atau raja), dan pasar cenderung selalu berdekatan. Bahkan, tidak sedikit kota di Indonesia menerapkan tatanan demikian.
Pada masa lalu, ada satu lagi fasilitas yang kerap dijumpai pada kota-kota Islam, yakni ribat (ribath). Mulanya, para penguasa Muslim mendirikan ribat sebagai pos penjagaan atau benteng pertahanan kota. Di dalamnya, terdapat menara-menara pengawas yang terhubung satu sama lain dengan jalan berbatu. Kadang kala, ada pula di sana lapangan luas yang biasa menjadi tempat latihan para prajurit.
Ribat dibangun di dekat area perbatasan. Namun, apabila suatu kota mengalami masa damai yang panjang, ancaman akan datangnya musuh dari luar kian tak terasa atau bahkan hilang sama sekali. Maka, ribat pun beralih fungsi. Ia tidak lagi diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan militer, tetapi sipil.
Di kawasan Afrika Utara, para sultan kerap memanfaatkan ribat yang dahulunya merupakan benteng militer sebagai tempat persinggahan bagi para musafir. Siapapun boleh mampir di sana. Bahkan, mereka boleh menggunakan apa-apa yang tersedia secara gratis, semisal air minum, makanan, dan selimut hangat. Semua itu mencerminkan kebajikan dan keramahtamahan (hospitality), sesuai anjuran Islam untuk menolong mereka yang dalam perjalanan.
Kini, ribat-ribat yang masih berfungsi bisa dikatakan tidak ada lagi. Kebanyakan telah menjadi situs bersejarah atau bangunan cagar budaya.

Salah satu kompleks bekas ribat yang termasyhur di Afrika Utara ialah Ribat Soussa. Berdiri sejak abad kedelapan, ia dibangun oleh sang pendiri Dinasti Aghlabiyah, Sultan Ibrahim. Penguasa berdarah Persia itu pada masa jayanya berhasil menguasai sebagian Afrika Utara. Bahkan, wilayah kekuasaannya merentang hingga ke seberang Mediterania, yakni sebagian Italia selatan.
Lokasi bekas ribat ini berada di Soussa—disebut pula Sousse. Inilah salah satu kota di Tunisia yang menghadap pantai Laut Tengah. Pada zaman Romawi, daerah tersebut dinamakan Justianapolis, sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Justinian.
Pada mulanya, Ibrahim mendirikan Ribat Soussa seiring dengan rencananya menaklukkan Sisilia. Jarak bangunan itu dengan garis pesisir hanya sekitar 500 meter. Beberapa tahun kemudian, ambisi dinastinya untuk merebut pulau di lepas pantai Italia itu sukses besar. Pasukan pun kembali ke Tunisia. Alhasil, beberapa fasilitas militer ditinggalkan, termasuk Ribat Soussa.
Yulianto Sumalyo dalam buku Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim menjelaskan, corak arsitektur Ribat Soussa memadukan antara elemen Barat dan Timur. Dilihat sekilas saja, penampilan eksterior ribat itu mirip tangsi tentara Romawi. Beberapa bagian di sana juga memakai tipe hypostyle, layaknya bangunan Yunani Kuno. Adapun elemen Timur, yakni Persia dan Arab, cenderung mencuat pada tampilan denahnya.
Pada keempat sudut bangunan ini terdapat semacam menara pengawas. Sesudah ditinggalkan pasukan militer, menara-menara itu lebih difungsikan sebagai tempat azan berkumandang. Bentuk menara ini banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur khas Abasiyah. Rata-rata tingginya ialah lima meter. Pada sisinya, terdapat balkon yang menjadi titik muazin berada.
Gerbang masuk ribat berketinggian enam meter dengan lebar dua meter. Pintunya diapit oleh pilar marmer antik dan kolom granit. Bagian terasnya memiliki lorong persegi kecil dan berkubah. Sementara, lantai dasar bangunan ini terbagi ke dalam 33 sel berukuran kecil. Tiap sel biasa menjadi tempat tidur para musafir.
Pada permulaan abad kesembilan, Ribat Soussa direnovasi. Itu berdasarkan petunjuk dari prasasti yang terpampang pada bagian atas gerbang. Dalam ukirannya, tertulis bahwa kompleks ini diperbaiki pada 821 M atas prakarsa Sultan Zidayatullah I.
Seolah tak lekang oleh waktu, Ribat Soussa tegar berdiri dari masa ke masa. Saat Perang Dunia II meletus, Tunisia ikut terdampak, begitu pula Kota Soussa. Ribat ini pun mengalami kerusakan yang cukup parah.
Sewaktu Tunisa masih menjadi protektorat Prancis, Ribat Soussa dipugar. Prosesnya memakan waktu sekira tiga tahun. Pada 1953, otoritas setempat kembali membuka kawasan bersejarah ini.
Tentu saja, Ribat Soussa kini bukan lagi tempat para musafir singgah atau menginap.
Ia berfungsi selayaknya destinasi wisata, khususnya bagi para penggemar histori. Melihat bangunan ini, siapa pun setuju bahwa ribat merupakan karya agung umat Islam, terutama pada masa awal penyebaran syiar agama ini di Afrika Utara.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kesan Futuristik di Museum Sejarah Nabi
Museum ini terletak tidak jauh dari Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah.
SELENGKAPNYAHarta Karun Migas di Papua Segera Dilelang, Sudah Diincar Asing
Area Blok Warim bersinggungan langsung dengan kawasan hutan lindung.
SELENGKAPNYAIslam dan Strukturalisme Transendental (Bagian V/Habis)
Makin modern sebuah masyarakat, makin abstrak masyarakat itu.
SELENGKAPNYA