Sejumlah anak dengan kostum putri duyung membentangkan poster saat aksi di Sungai Kalimas, Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/2/2020). Mereka mengimbau masyarakat Surabaya agar tidak membuang sampah plastik di sungai. | Zabur Karuru/Antara

Opini

Spiritualisme Lingkungan Hidup

 

Syahrul Kirom, Pengajar di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon

 

Pada 2020, bencana banjir, tanah longsor, dan angin kencang masih mengancam beberapa daerah di Indonesia. Fenomena ini terjadi karena manusia telah gagal mengemban misinya sebagai pemimpin atau khalifah di muka bumi untuk memelihara lingkungan hidup.

Salah satu faktor penyebabnya, umat manusia kurang peduli dalam menjaga lingkungan. Manusia dengan kadar keimanan dan ketakwaan semakin tipis dan acuh terhadap proses perusakan lingkungan alam yang makin cepat dan meluas.

Bumi pertiwi Indonesia seakan-akan mengalami kesakitan luar biasa akibat kenyataan ini. Rusaknya alam membuat keseimbangan lingkungan hidup terganggu. Kota membutuhkan banyak pohon dan penghijauan sehingga banjir bisa dicegah. 

Alam semesta dalam pikiran Yunani kuno merupakan suatu harmoni dan teratur. Namun, sekarang ini mulai terlihat tak teratur dan menimbulkan persoalan kompleks. Ini karena perilaku manusia terhadap alam dan lingkungannya. 

Komunitas alam ini yang terdiri atas tumbuhan-tumbuhan, hewan, air, tanah, dan udara telah dirusak manusia. Salah satu penyebabnya adalah paradigma antroposentrisme yang selalu mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan manusia.

Pandangan ini jelas akan melahirkan sikap tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian. Antroposentrisme, disadari atau tidak, telah menimbulkan kejahatan terhadap lingkungan. 

Peristiwa paling banyak disoroti setiap hari dalam kaitannya dengan keberlanjutan bumi adalah kejahatan lingkungan. Terjadinya polusi udara, air, tanah, illegal logging, dan yang lainnya merupakan bagian dari kejahatan lingkungan. 

Karena itu, kita sebagai khalifah di bumi ini adalah untuk memenuhi amanah Tuhan yang mencakup kewajiban dan tanggung jawab moral, sosial manusia terhadap Tuhan terhadap diri manusia sendiri, sesama manusia, serta lingkungan hidup.

Dengan demikian, relasi manusia dengan lingkungan dan kehidupan ini berarti menjadi pengelola, penguasa, pemakmur, dan penyelenggara atas kehidupan yang berlangsung ini. 

Manusia dianggap Tuhan yang memiliki otoritas penuh terhadap alam, sebagai wakilnya harus mampu melestarikan lingkungan alam dengan baik. Lingkungan hidup merupakan salah satu bagian dari konsep religius. 

Karena itu, dalam perspektif Islam bencana alam sebenarnya memberikan otokritik bagi kita sebagai manusia beragama, sejauh mana nilai-nilai spiritualitas mewarnai kebijakan kita tentang lingkungan.

Selama ini, kita terjebak dengan kecenderungan-kecenderungan vested interest sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak ramah lingkungan. Selanjutnya, ini melahirkan eksploitasi alam secara tak proporsional dan merusak keseimbangan ekosistem. 

Dalam hal ini, wajar kalau Al-Gore, mantan wakil presiden Amerika, dalam karyanya Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit menyatakan, “Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita.”

Pada tahap inilah pernyataan Al-Gore di atas sangat menggugat dimensi terdalam dari sisi kemanusiaan kita. Fenomena bencana alam sebenarnya manifestasi nyata dari krisis spiritual, demikian mengikuti bahasanya. 

Kalau begitu, berarti nilai-nilai keberagamaan kita selama ini apatis begitu saja. 

Maka itu, kita tidak mempertimbangkan nilai-nilai spiritualitas dalam  setiap mengambil kebijakan mengenai lingkungan, yang sesungguhnya itu adalah langkah mendasar yang perlu dilakukan pada masa mendatang. 

Kesadaran ini tidak hanya dilakukan pada tingkat kolektif-formal oleh para aparatur negara, tetapi juga mesti dimulai dari tingkat individual sebagai kesadaran pribadi.

EF Schumacher dalam karyanya A Guide for The Perplexed (1981) mengatakan, krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, moralitas sosial, serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. 

Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap lingkungan alam.

Karena itu, kehadiran the celestine vision sangat dibutuhkan dalam konteks saat ini, yang bermaksud mengingatkan kembali kepada manusia, khususnya manusia modern yang rakus materi dengan mengeksploitasi alam, agar mulai menyadari hidup itu sebatas pengejaran materi bukanlah “segalanya” dalam kehidupan manusia. Ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar materi, yaitu spiritualitas. 

Pergesaran ke orientasi spiritual ini merupakan protes keras gerakan new agers terhadap dosa-dosa sains, kapitalisme, imperialisme, materialisme, dan segala sesuatu yang sifatnya eksploitatif terhadap lingkungan.

Dimensi moral dan spiritual sepenuhnya dilahirkan kembali sebagai sebuah harapan yang paling mungkin, setelah berbagai usaha-usaha praktis sains dan teknologi tidak membawa pemecahannya. 

Inilah apa yang sering disebut orang sebagai mengembalikan pandangan dunia dan etika. Thomas Bery mencatat, kita perlu mengembalikan spiritualitas terhadap lingkungan hidup dan alam sekitarnya.

Lingkungan alam yang dinamis merupakan “ladang spiritual” yang seharusnya, dijadikan langkah dan tindakan untuk selalu meningkatkan amal ibadah, bukan sebaliknya malah mengeksploitasi alam sebanyak-banyaknya hingga menyebabkan bencana alam. 

Karena itu, alam harus dijadikan bagian untuk tercapainya alam transendental sebagai komunitas spiritualitas dengan sandaran Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Darinya, seluruh komunitas alam dan manusia akan kembali kepada Tuhan. n

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat