Hikmah hari ini. | Republika

Hikmah

Lima Sumber Penderitaan

Perlu upaya maksimal agar bebas dari ikatan .penderitaan

Oleh HASAN BASRI TANJUNG

Sejatinya, setiap insan mendambakan kebahagiaan (happiness) dalam menjalani kehidupan ini. Namun, tidak semua orang mengerti hakikat dan tujuan hidup serta jalan yang mesti ditempuh untuk meraihnya.

Bahkan, tidak sedikit manusia yang salah mengambil jalan atau gagal paham tentang arti kebahagiaan yang sejati. Memang, kriteria dan cara mewujudkannya tentu berbeda sesuai keyakinan, pengetahuan, dan tujuan hidupnya. Oleh karena itu, agama diturunkan sebagai pedoman universal yang sesuai kodrat insani sepanjang masa.

Inspirator Sukses Mulia, Jamil Azzaini, menyebutkan bahwa kebahagiaan bisa muncul dari dua aspek. Pertama, alami, yakni sesuatu yang diharapakan seperti mendapat jodoh dan keturunan yang baik, pekerjaan sesuai passion (potensi dan bakat), anak lulus sekolah dan meraih prestasi, dan lainnya.

Kedua, diciptakan, yakni bersikap positif dan konstruktif terhadap setiap masalah atau kesusahan. Misalnya, menyikapi kegagalan dengan pikiran positif (husnuz zhan) karena Allah SWT hendak menguatkan dirinya menjadi pribadi yang tangguh.

Begitu pula sikap ketika menghadapi musibah agar tidak terjebak dalam kecintaan dunia yang berlebihan. Tersenyum dalam kesusahan akan mendatangkan kekuataan dan ketenangan.

 
Ketika menghadapi musibah agar tidak terjebak dalam kecintaan dunia yang berlebihan. Tersenyum dalam kesusahan akan mendatangkan kekuataan dan ketenangan.
 
 

Kebahagiaan alami bersifat temporer (sementara), yakni akan hilang secara perlahan seiring berganti waktu atau zaman. Sedangkan, bahagia yang diciptakan akan lebih permanen (meskipun bukan abadi), karena ia menjadi sikap batin yang menyatu dalam diri manusia.

Artinya, ketika seorang bisa menciptakan kondisi yang sulit (buruk) jadi sumber bahagia didasari oleh kesabaran dan kesyukuran, maka kondisi batinnya akan lebih tenang. Pegangan hidup yang didasari iman akan menjadi sumber kebahagiaan yang melahirkan kebaikan, walaupun dihadapkan sesuatu yang tidak disukai.

Manusia tidak akan merasakan bahagia jika tidak mampu melepaskan diri dari balutan penderitaan. Pepatah Arab mengatakan, ”Wa maa ladzdzatu illa ba’da ta`bii” (Tidaklah seorang akan merasakan kelezatan sebelum melalui penderitaan).

Bukankah nikmat sehat akan terasa setelah sakit? Begitu juga nikmatnya kenyang setelah merasakan lapar. Pun, bahagia berjumpa dengan kekasih setelah menanggung pedihnya rindu.

Penelitian yang dilakukan oleh psikiater Amerika, Scott Peck, berhasil menghimpun banyak penyebab penderitaan yang diperas menjadi lima. Pertama, menyesali masa lalu yang akan menimbulkan kesedihan. Kedua, mengkhawatirkan masa depan yang melahirkan ketakutan.

Ketiga, tidak menerima kenyataan yang menyebabkan kegundahan. Keempat, menggantungkan kebahagiaan pada ucapan orang lain yang membuat kebimbangan. Kelima, tidak mau memaafkan kesalahan orang yang akan menyimpan kedendaman.

Lalu, dari kelima hal tersebut dipilih satu sikap yang paling dominan membuat orang menderita, yaitu tidak menerima kenyataan yang tak sesuai harapan. Semakin besar penolakan akan makin berat derita yang dipikul dalam kehidupan.

 
Orang-orang beriman hendaknya tidak bersedih akan masa lalu dan khawatir akan masa depan yang belum menentu
 
 

Sebenarnya, kelima sikap itu digambarkan dengan jelas dalam Alquran dan hadis Nabi SAW sebagai sikap dan perilaku Mukmin. Misalnya, orang-orang beriman hendaknya tidak bersedih akan masa lalu dan khawatir akan masa depan yang belum menentu (QS al-Baqarah [2]: 277).

Demikian pula anjuran menerima kenyataan dengan kesabaran dan mengembalikan segala urusan kepada Allah SWT (QS at-Taghabun [64]: 11). Juga, menyikapi perilaku orang lain seperti orang bodoh yang mengolok-olok agar disikapi dengan elegan (QS al-Furqan [25]: 63).

Untuk itu, perlu upaya maksimal agar bebas dari ikatan penderitaan dengan melakukan tiga hal. Pertama, ridha atas takdir Allah SWT. Keimanan kepada qadha dan qadar (baik dan buruk) menjadi penting untuk meraih kebahagiaan. Tentu, tak semua yang diinginkan dapat diwujudkan, tapi kita harus menerima (mensyukuri) apa yang didapatkan (QS an-Nisa`[4]: 114).

Kedua, mengambil hikmah (pelajaran) dari setiap kejadian, sehingga dapat menaikkan kualitas hidup di masa depan. Tidak ada suatu peristiwa yang menimpa kecuali ada pelajaran di dalamnya. Sebab, semua ada hikmahnya. Artinya, setiap sesuatu yang tidak disenangi selalu terselip kebaikan di dalamnya (QS al-Baqarah [2]: 216).

Ketiga, belajar memaafkan kesalahan orang. Kita tidak bisa mengendalikan (memaksa) orang sesuai keinginan kita. Walau sangat berat, memaafkan dan berbuat baik menjadi jalan ketakwaan (QS Ali Imran [3]: 134).

Dalam buku Kimia Kebahagiaan yang ditulis Imam Abu Hamid Al-Gazali, menyatakan bahwa kebahagiaan (assa’adah) akan terwujud jika terhimpun empat unsur ma’rifah (pengenalan hakiki) tentang diri, Allah SWT, dunia dan akhirat.

Setidaknya, mengenal diri mencakup aspek jasmani dan rohani. Mengenal Allah SWT melalui nama dan sifatnya serta mencintai-Nya di atas segalanya. Mengenal dunia yang sementara dan fatamorgana serta merawat jiwa dan jasad agar tidak terjerembab ke dalamnya.

Mengenal akhirat dengan meyakini adanya nikmat surga dan azab neraka serta manusia berasal dari surga yang turun ke dunia. Kebahagian tertinggi orang awam adalah surga, sementara bagi orang khusus adalah mengenal dan mencintai Allah SWT.

Akhirnya, kenikmatan dan kebahagiaan hidup dapat diraih secara bertahap, mulai dari hal yang bersifat material (harta), sosial (keluarga), intelektual (ilmu) sampai spiritual (iman). Semakin tinggi kualitas hidup seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya, yakni dekat kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah), selalu bersama Allah SWT dan rindu berjumpa dengan-Nya kelak di surga (QS al-Kahfi [18]: 110).

Itulah dambaan setiap Mukmin, yakni mampu melepas diri dari penderitaan dan meraih hidup bahagia di dunia hingga akhirat kelak (QS al-Baqarah [2]: 201).

Allahu a’lam bish-shawab.

Tahapan Akad Transfer dengan Mata Uang Berbeda

Bagaimana ketentuan fikih dalam transfer mata uang yang berbeda.

SELENGKAPNYA

Kisah Attar 'Meramal' Jalaluddin Rumi

Penyair Persia ini memprediksi, Rumi akan tumbuh menjadi tokoh penting dalam dunia sastra dan sufi.

SELENGKAPNYA

Mengenal Fariduddin Attar, Sang Penyair Agung

Dalam bahasa Persia, namanya berarti peracik parfum. Ia dikenang sebagai penggubah Manthiq al-Thair.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya