
Sastra
Tentang Pembunuhan Anjing
Cerpen Jagad Wijaksono
Oleh JAGAD WIJAKSONO
Desa itu dihantui oleh sosok Siluman Anjing. Laki-laki berwajah anjing yang menjadi momok bagi seluruh warga desa. Sas-sus yang menjalari telinga warga desa adalah bahwa Siluman Anjing itu sedang mencari-cari anak laki-laki yang kelak akan membunuhnya.
Menjelang Maghrib, pintu-pintu rumah di seluruh desa itu tertutup rapat, lampu-lampu sengaja dimatikan dan hanya menyisakan cahaya petromaks atau lilin. Siluman Anjing yang konon agak rabun pasti sulit melihat di antara keremangan malam. Anak-anak tidak diizinkan bermain di luar rumah atau menari-nari di bawah rembulan–terutama anak laki-laki. Mereka akan mengaji di langgar selepas Ashar dan pulang menjelang Maghrib. Setelah itu mereka terkurung semalaman di atas meja makan dengan orang tuanya sebelum dipaksa untuk tidur.
Namun, apa boleh dikata, di sebuah desa selalu ada anak yang bandel tak mau mendengar perkataan ibu mereka. Setiap anak di desa itu memang penasaran dengan sosok Siluman Anjing yang telah melegenda walaupun tentu saja mereka merasa ngeri terhadap sosok Siluman Anjing itu. Namun, mereka selalu penasaran. Di antara rasa penasaran tersebut selalu ada cerita-cerita palsu dari anak-anak itu. Mereka mengaku-ngaku pernah melihat sosok Siluman Anjing, bercerita pada sebayanya dan dianggap ksatria karena keberanian mereka. Teman-teman lainnya akan merasa ngeri sekaligus terkesima. Dan cerita itu kerap muncul dari mulut Aceng.
Aceng adalah bocah laki-laki bertubuh bongsor. Ia terkenal pemberani karena mulut besarnya yang selalu berapi-api. “Urang kemarin liat Siluman Anjing di deket langgar.” Begitu kalimat Aceng di pagi hari sebelum bel sekolah berbunyi memerintahkan masuk dan wajah teman-teman yang mendengarnya berubah tak karuan, kagum, dan ngeri sekaligus.
Menurut cerita yang dibuat-buat Aceng, ia melihat sosok Siluman Anjing dari balik pohon campoleh yang tumbuh tidak jauh dari langgar yang memang terkenal angker. Sore itu selepas mengaji ia tak langsung menuju rumah karena penasaran dengan cerita para orang tua. Ia memberanikan diri untuk membuktikan keberadaan sosok Siluman Anjing. Begitu serunya terhadap kawan sebayanya di waktu istirahat sekolah.
“Ih, maneh beranian Ceng.” Seru Asep yang duduk di antara anak-anak lainnya yang melingkari Aceng.
“Kata Pak Ustaz ge, jangan takut ke jurig mah.” Begitu kelakar Aceng. Tentu saja Aceng berbohong. Ia tak pernah benar-benar melihat sosok Siluman Anjing.
Desa itu dihantui oleh sosok Siluman Anjing. Laki-laki berwajah anjing yang menjadi momok bagi seluruh warga desa.
Sore itu ia melangkahkan kakinya terburu-buru mendahuli teman-temannya sepulang mengaji. Menuju rumah karena perutnya sakit. Sosoknya hilang dari pandang teman-temannya. Tentu saja teman-temannya percaya karena sore itu sosok Aceng tak terlihat. Lagi pula tak ada anak yang berani mengambil arah pulang melewati sebatang pohon campoleh. Daerah di sekitar pohon campoleh itu terkenal angker.
***
Di antara semua teman sebayanya, hanya Jajang yang meragukan cerita Aceng. Ia tak percaya Aceng telah melihat sosok Siluman Anjing, terlebih lagi ia tak percaya sosok Siluman Anjing itu benar-benar ada.
Sore itu Jajang sengaja pulang belakangan setelah mengaji. Tidak bersama-sama dengan teman-temannya. Tidak juga meminta ditemani Aceng yang telah bertemu Siluman Anjing. Jajang tahu Aceng berbohong. Setidaknya itu yang ia yakini.
“Jang hayu pulang.” Ajak Aci tetangganya yang telah dulu melangkahkan kaki bersama anak-anak lainnya.
“Sok duluan aja.” Seru Jajang masih duduk di pintu langgar. Ucapan Jajang membuat kepala teman-temannya tertoleh menatap dirinya.
Aci hanya menggelengkan kepala sambil kembali mengajak Jajang untuk lekas pulang.
“Hayu Jajang ih!””
Namun, Jajang hanya menggelengkan kepala dan memberi isyarat pada Aci untuk lekas pergi pulang. Aci pun tak lagi mengajak Jajang pulang. Aci takut dan ia memilih hilang bersama teman-teman lainnya dari pandang Jajang.
***
Tak beberapa lama setelah teman-temannya tak terlihat lagi, Jajang berjalan ke arah pohon campoleh yang konon dekat dengan tempat kemunculan Siluman Anjing selepas Maghrib. Pohon yang menjadi tempat persembunyian Aceng, kabarnya, ketika Aceng melihat sosok Siluman Anjing.
Pohon yang menjadi tempat persembunyian Aceng, kabarnya, ketika Aceng melihat sosok Siluman Anjing.
Jajang bersembunyi di balik pohon campoleh itu. Ia menunggu kemunculan sosok yang menjadi momok bagi warga desa. Bukan keberanian semata yang membuat Jajang berdiri di balik pohon itu, lebih pada rasa penasaran. Ia harus lihat seperti apa sosok manusia berwajah anjing itu. Jangan takut sama setan. Jangan takut sama setan. Gumam Jajang mengulang kalimat Pak Ustaz yang mengajarkan ia perihal agama di langgar. Dan Jajang menggumamkan semua doa yang ia hafal.
Setelah cukup lama menunggu, Jajang samar-samar melihat seorang laki-laki dewasa yang tubuhnya tinggi dan besar. Laki-laki itu berjalan ringkih. Jajang menengokkan kepalanya dari balik batang campoleh demi memastikan sosok samar yang ia lihat. Sosok itu memunggungi Jajang, Jajang sedikit berjongkok meraba-raba mencari sebongkah batu sambil terus lekat matanya melihat punggung tinggi besar itu. Ia ingat cerita Pak Ustaz, bahwa di Makkah orang-orang melakukan lempar jumrah.
Mereka yang berangkat haji melempari setan dengan batu kerikil di sana, demi menjaga keselamatannya jajang mengumpulkan batu-batu itu, berjaga kalau-kalau sosok yang ada di hadapannya benar-benar sosok Siluman Anjing, pasti Siluman Anjing pun akan takluk dengan lemparan batu, pikir Jajang. Gerakan Jajang menimbulkan suara gemerisik. Membuat sosok samar laki-laki itu menoleh kearahnya. Jajang tersentak melihat wajah laki-laki itu benar-benar menyerupai wajah anjing. Tubuh Jajang bergidik, ingin sekali rasanya ia lari. Bagaimanapun Jajang sama seperti anak-anak lainnya, menyimpan rasa takut pada sosok Siluman Anjing. Tubuh Jajang kaku seketika itu juga.
Tak disangka-sangka oleh Jajang. Sosok yang bersitatap dengannya melangkahkan kaki lebih dulu. Bukan, bukan mendekati Jajang, sosok Siluman Anjing malah menjauh lari dari Jajang, ia kabur. Melihat sosok Siluman Anjing lari kabur, Jajang menjadi yakin bahwa sosok manusia berwajah anjing itu takut pada dirinya. Ia takut karena Jajang menggenggam batu kerikil yang dapat melukainya. Sontak melihat Siluman Anjing kabur, tubuh Jajang kembali pada kendalinya. Alih-alih ikut kabur berlari ke arah yang bersebrangan dengan Siluman Anjing, Jajang malah mengejar sosok Siluman Anjing itu. Jajang berlari sambil terus melempari Siluman Anjing dengan batu yang dipulunginya dari tanah.
Akhirnya tubuh manusia berwajah Anjing itu tersungkur setelah salah satu batu sebesar genggaman tangan orang dewasa yang dilemparkan Jajang menghantam kepalanya.
Akhirnya tubuh manusia berwajah Anjing itu tersungkur setelah salah satu batu sebesar genggaman tangan orang dewasa yang dilemparkan Jajang menghantam kepalanya. Melihat sosok Siluman Anjing itu tersungkur tak bergerak, Jajang mendekati sosok itu. Ia melihat dengan jelas kengerian wajah Siluman Anjing itu. Dan lekas lari terbirit menuju rumah. Wajah mengerikan itu membuat tubuh Jajang gemetar, namun dalam larinya ia merasakan kepuasan. Ia menjadi pahlawan desa karena telah melukai Siluman Anjing. Dan orang-orang desa tak perlu takut lagi. Siluman Anjing dapat dikalahkan dengan batu kerikil sama seperti setan lainnya.
***
Di teras rumah itu, Marni terus mondar-mandir. Ia khawatir, anak laki-laki semata wayangnya belum juga pulang. Ditambah-tambah kabar yang disampaikan Aci anak tetanggnya, bahwa Jajang pergi ke pohon campoleh itu.
Kabar tentang Jajang segera menggemparkan seluruh desa. Laki-laki dewasa berkumpul mencari Jajang. Dan Marni masih mondar-mandir terus di teras rumahnya ditemani ibu-ibu lain yang duduk mendekap anak mereka masing-masing. Para tetangga berkumpul di rumah Marni senja itu.
Orang-orang tak dapat menemukan Jajang. Telah dicari ke segala penjuru yang memungkinkan, tapi tetap saja sosok Jajang tak tampak. Senja itu desa dipenuhi nyala obor, suara kentongan dan teriakan yang memanggil-manggil Jajang. Namun, tetap tak ada tanda-tanda keberadaan Jajang.
***
Jajang tersengal-sengal, napasnya saling buru. Tanpa ia sadari, ia telah cukup jauh dari pohon campoleh itu. Ia mengejar Siluman Anjing jauh ke arah perbatasan desa. Jajang kembali berlari. Malam sudah semakin malam.
Ia mengejar Siluman Anjing jauh ke arah perbatasan desa.
Napasnya semakin memburu. Keringatnya semakin bercucuran. Ia semakin kehausan.
Setelah cukup lama berlari, akhirnya Jajang dapat melihat rumahnya. Rumah yang telah ramai dipenuhi warga desa yang berkumpul. Rumah yang terang sendiri oleh puluhan cahaya obor.
Ia berlari semakin mendekat, disambut oleh isakan dan lari Marni Ibunya. Di belakang mereka warga desa berkerumun penasaran dari mana saja bocah bernama Jajang ini dan apa yang terjadi.
Marni mendekap Jajang. “Dari mana saja kamu? Mama khawatir Jajang.” Kalimat Marni dibumbui isakan.
Malam itu Marni tidur mendekap anaknya yang semata wayang begitu erat.
***
Keesokan paginya warga desa digegerkan oleh kabar penemuan sosok yang diduga Siluman Anjing. Pagi itu seorang laki-laki paruh baya yang hendak berjualan di kota dikejutkan oleh apa yang dilihatnya. Ia dikejutkan oleh sesosok manusia bertubuh tinggi besar berwajah anjing tergeletak dengan luka di kepala dan darah yang menggenang di sekitarnya.
Warga desa berbondong-bondong ke perbatasan desa demi melihat sosok Siluman Anjing yang selama ini menjadi momok menakutkan. Marni yang tak percaya ikut bersama warga yang berbondong itu.
Sesampainya di tempat kejadian, Marni begitu terkejut. Ia terkejut melihat sosok yang tergeletak di atas tanah itu. Sosok yang begitu ia kenal. Sosok yang selama belasan tahun ini selalu hadir di tengah malam tanpa pernah alpa. Sosok yang selalu mengetuk pintunya ketika Jajang anaknya telah tertidur begitu lelap. Sosok yang selalu datang menengok Jajang di malam-malam tak berpurnama.
Marni langsung menyerbu sosok berwajah anjing itu. Air matanya tumpah begitu rupa. Ia menangis sejadi-jadinya. Warga heran menatapnya.
Jakarta, 8 Agustus 2023