
Konsultasi Syariah
Uang Suami Itu Uang Istri, Uang Istri Itu Uang Istri?
Bagaimana status kepemilikan uang suami dan uang istri?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu'alaikum wr. wb.
Saya ingin memperjelas tentang kepemilikan uang suami dan uang istri. Apakah benar bahwa saat suami bekerja dan istri di rumah, maka uang/penghasilan suami itu juga milik istri? Sebaliknya, jika istri bekerja, apakah itu menjadi miliknya sendiri atau menjadi milik bersama? Jika ia mendapatkan warisan atau hadiah, bagaimana statusnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Yayat, Ciamis
Wa'alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, saat suami bekerja dan berpenghasilan, sedangkan istri fokus di rumah, maka penghasilan suami itu milik suami, tetapi ia diharuskan untuk menyalurkan penghasilannya sebagai nafkah atau kepentingan keluarga karena ia bekerja atas amanah dari keluarga sebagai seorang kepala keluarga (qawwam). Jika kebutuhan nafkah sudah terpenuhi maksimal, maka jika ada surplus untuk dirinya.
Kedua, pada saat istri ikut bekerja dan berpenghasilan, maka penghasilan istri itu milik istri. Tetapi selanjutnya ia menyalurkan untuk kepentingan keluarga ketika itu menjadi kesepakatan keluarga sebelum bekerja atau sebagai budi baik (ihsan) jika tanpa kesepakatan atau untuk dirinya jika ada kesepahaman antara suami atau istri.
Jadi, penghasilan suami itu bukan milik mutlak suami, juga bukan milik mutlak istri, tetapi seharusnya disalurkan sebagai nafkah atau untuk kepentingan keluarga.
Penghasilan suami itu bukan milik mutlak suami, juga bukan milik mutlak istri, tetapi seharusnya disalurkan sebagai nafkah atau untuk kepentingan keluarga.
Ketiga, saat suami atau istri mendapatkan aset di luar penghasilan rutin, seperti warisan atau pemberian, maka aset tersebut milik suami atau istri yang menerimanya. Misalkan, setelah berstatus sebagai istri, ia mendapatkan warisan dari orang tuanya berupa sebuah rumah, maka rumah tersebut miliknya secara sempurna.
Keempat, sesungguhnya tidak ada penegasan dalam nash ataupun konsensus para ulama terkait apakah penghasilan tersebut untuk nafkah jangka pendek, dana darurat, ataupun investasi, semuanya menjadi domain suami atau istri atau kesepakatan keduanya.
Kelima, karena banyak hal teknis terkait dengan siapa yang mencatat dan menyalurkan, peruntukannya untuk apa; jangka pendek atau menengah, atau kebutuhan umum keluarga itu tidak dijelaskan dalam nash secara spesifik, tetapi menjadi ranah kesepahaman suami atau istri, maka seharusnya keputusan itu mempertimbangkan maslahat keluarga, kelaziman, dan musyawarah.
Keenam, di antara tuntunan tambahan yang menjadi referensi kesimpulan di atas adalah: (a) Salah satu tanggung jawab suami adalah menyediakan nafkah --salah satunya-- dengan ia bekerja setiap hari mencari nafkah sebagaimana firman Allah SWT, “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya...” (QS an-Nisa: 34).
Tidak seperti seorang remaja yang belum menikah, saat bekerja dan menerima penghasilan, ia tidak terikat seperti halnya untuk menyalurkannya sebagai nafkah kepada istri karena belum berkeluarga.
(b) Walaupun saat istri bekerja di luar rumah itu bagian dari budi baiknya (ihsan) menurut syariah, tetapi saat ada kesepakatan bersama di rumah untuk berbagi tugas tidak hanya tugas keluarga, tetapi juga masalah keuangan, maka itu menjadi komitmen sepihak yang harus ditunaikan sebagaimana penegasan ulama mazhab Malikiyah (ad-Dusuqi):
“Siapa yang berkomitmen melaksanakan suatu kebaikan, maka ia wajib menunaikannya.” (Hasyiyah ad-Dusuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, ad-Dusuqi, 4/26).
Mulailah dengan dirimu jika engkau bersedekah, saat ada surplus maka berikan untuk keluargamu, saat ada surplus maka berikan untuk kerabatmu, saat ada surplus maka seperti ini...
(c) Hadis Rasulullah SAW saat menikahkan putrinya Fatimah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA: “Engkau (wahai Ali) punya tanggung jawab bekerja dan ia (Fathimah) punya tanggung jawab rumah.”
(d) Hadis riwayat Jabir bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki: “Mulailah dengan dirimu jika engkau bersedekah, saat ada surplus maka berikan untuk keluargamu, saat ada surplus maka berikan untuk kerabatmu, saat ada surplus maka seperti ini...” (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
(e) Begitu pula saat suami bekerja dan berpenghasilan, sementara istri fokus di rumah, merawat dan mendidik anak-anak hingga anak-anaknya menjadi anak-anak yang terdidik dengan baik, maka istri juga tidak dapat mengeklaim bahwa anak-anak itu miliknya, tetapi itu hasil usaha bersama suami dan istri.
Wallahu a'lam.
Cara Menggapai Keikhlasan
Tanpa keikhlasan, amal sebesar apapun tidak ada pahalanya di akhirat.
SELENGKAPNYASejarah Benteng Keraton Yogya
Benteng Keraton Yogyakarta saat ini menjadi salah satu ikon budaya yang penting.
SELENGKAPNYAHakikat Merdeka
Kemerdekaan sejati ketika seseorang mampu menjalankan peran sebagai hamba Allah.
SELENGKAPNYA