
Nasional
3.000 Bahasa Ibu akan Punah Akhir Abad Ini
JAKARTA -- Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat sekitar 3.000 bahasa ibu akan punah pada akhir abad ini. Hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia saat ini yang masih akan eksis pada tahun 2100 nanti.
Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Arief Rachman mengatakan, pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah menjadi penting karena di berbagai negara mulai punah. Sebab, kata dia, pelestarian bahasa ibu berkaitan erat dengan kemajuan sebuah bangsa.
"Diperingati karena UNESCO melihat pelestarian bahasa akan memperkokoh mutu dari manusia itu sendiri," kata Arief dalam peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional di kantor Kemendikbud, Jumat (21/2).
Dia mengatakan, bahasa memegang kekuatan yang dapat memperkokoh manusia penggunanya. Pertama yakni kekuatan kekeluargaan, seperti yang terjadi di Indonesia. Dalam budaya pengasuhan di berbagai wilayah sering kali menggunakan bahasa daerah. Bahasa daerah dalam pengasuhan bisa berupa lagu-lagu anak yang dinyanyikan semasa kecil. Lagu-lagu tersebut pun mengandung nilai-nilai luhur masyarakat yang sudah diwariskan secara turun-temurun.
Arief menambahkan, bahasa daerah juga tidak boleh menjadi pemicu perpecahan. Di dalam ajaran agama Islam, kata dia, Allah SWT menyuruh manusia menjaga perbedaan agar mereka bisa saling mengenal. "Ini adalah sebuah keniscayaan yang telah ditetapkan," kata Arief.
UNESCO, lanjut dia, mendorong dan meminta semua anggotanya, termasuk Indonesia, untuk merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional. Tema yang diambil yakni melintasi batas daerah dan saling berbagi bahasa yang ada.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Dadang Sunendar mengatakan, Indonesia adalah negara trilingual tertinggi di dunia. Hampir setiap orang Indonesia ketika lahir akan belajar bahasa daerahnya masing-masing. Setelah itu, mereka juga akan belajar bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula orang Indonesia yang kemudian belajar bahasa asing.
"Jadi, kita multibahasa. Indonesia dengan keberagaman tidak boleh hilang karena inilah kebinekaan yang harus kita jaga," kata Dadang.
Bahasa daerah yang sudah dikaji saat ini dipetakan vitalitasnya. Adapun bahasa yang dianggap aman yakni sebanyak 26 bahasa, rentan 19 bahasa, mengalami kemunduran 3 bahasa, terancam punah 25 bahasa, kritis 6 bahasa, dan punah 11 bahasa.
Maksud dari bahasa yang rentan yakni semua anak-anak dan kaum tua masih menuturkan tetapi jumlahnya sedikit. Bahasa yang mengalami kemunduran adalah bahasa dengan sebagian penutur anak-anak dan kaum tua, sebagian anak-anak lain tidak menggunakannya lagi.
Sementara itu, bahasa yang terancam punah yaitu bahasa dengan semua penutur berusia 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. Bahasa yang masuk kategori kritis yaitu penuturnya 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Terakhir adalah bahasa daerah yang sudah punah, yaitu tidak lagi memiliki penutur.
Bahasa yang punah tersebut semuanya berasal dari Indonesia bagian timur. Misalnya, bahasa salah satu kelompok masyarakat di Papua Barat yang bernama bahasa Tandia, bahasa di Maluku yang disebut sebagai bahasa Piru, bahasa Palumata, bahasa Serua, dan bahasa Hoti.
Lebih lanjut, Dadang berharap, meskipun belajar bahasa asing, masyarakat Indonesia tetap menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia adalah ruh besar bangsa kita, menyatukan kita dari Sabang sampai Merauke," kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.