
Teraju
Menculik Si Bung
Mengapa Rengasdengklok dipilih menjadi tempat penculikan bagi Bung Karno dan Bung Hatta?
Oleh SELAMAT GINTING
Dengan raut wajah tegang, Chaerul Saleh menyampaikan tekanan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Aktivis pemuda itu bersuara lantang. “Sekarang Bung, sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi!” Pasukan bersenjata, lanjut Chaerul, sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. “Kita harus segera merebut kekuasaan!” ujar Sukarni berapi-api.
“Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru para aktivis pemuda itu, bersahutan. Wikana malah berani mengancam Sukarno dengan pernyataan, “Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari.”
Itulah tekanan para aktivis pemuda yang sedang berkunjung ke kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, pada 15 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00. Perdebatan serius itu dituliskan Lasmidjah Hardi dan Ahmad Soebardjo dalam bukunya masing-masing. Mendengar ancaman seperti itu, Sukarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata, “Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!”

Hatta kemudian memperingatkan Wikana. “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Sukarno untuk melakukan hal itu?”
Namun, para pemuda terus mendesak. “Apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘perang sucinya’?” “Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa?”
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Sukarno berkata, “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak?”
Sukarno melanjutkan, “Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri.” Para pemuda tetap menuntut agar Sukarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun tetap pada pendiriannya semula.
Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga!PRESIDEN SOEKARNO.
Setelah berulang kali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilakan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu, antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta.
Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda tampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang. Menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang. Pukul 04.00 dini hari, 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi penculikan itu sangat mengecewakan Bung Karno sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi.
Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati, istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.

Rengasdengklok, kota kecil dekat Karawang, dipilih oleh para pemuda untuk ‘mengamankan’ Sukarno-Hatta dengan perhitungan militer, antara lain, anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama.
Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Disadur dari Harian Republika Edisi Kamis, 31 Juli 2014.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.