Resonansi | Republika

Resonansi

PRRI (II)

 

Karena pusat pemberontakan itu di Sumatra Barat, maka logis daerah yang paling merasakan dampak buruknya adalah Ranah Minang itu. Nagari Sumpur Kudus yang tersuruk itu juga dibom oleh AURI. Salah seorang sepupu saya, Azwar Ma'ruf kelas 3 SD, adalah korban yang meninggal terkena bom itu saat menyelamatkan diri dari sekolahnya. Untuk seluruh Sumatra Barat, korbannya menurut catatan Iman Brotoseno pada tahun 2014 di bawah judul "PRRI-Pemberontakan Separo Hati" (bisa diakses via Google) adalah tentara pusat tewas 983, terluka 1.695. Di pihak PRRI, tewas 6.373, luka atau tertawan 1.201. Di antara angka itu, saya tidak tahu berapa jumlah mahasiswa Universitas Andalas sebagai relawan yang turut PRRI yang tewas secara sia-sia, belum lagi rakyat jelata yang mati dalam sengketa politik yang sebenarnya tidak perlu itu. Mereka adalah korban sengkarut politik kaum elite.

 

Peristiwa PRRIPermesta terjadi pada era Perang Dingin antara Amerika Serikat yang mewakili kekuatan kapitalisme dan Uni Soviet di kubu komunisme. Amerika sangat cemas jika Indonesia jatuh ke tangan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang lagi berbulan madu dengan rezim Jakarta. Maka demi kepentingan politik globalnya, Amerika memberikan bantuan senjata dan logistik kepada PRRI. Tetapi setelah tampak PRRI akan kalah, Amerika berbalik dengan berpihak kepada Jakarta. Akibatnya, Indonesia terombang-ambing dipermainkan oleh pihak luar yang sering bertopeng itu.

 

Sebenarnya, beberapa tokoh nasional, seperi Bung Hatta, St Sjahrir, Mr Asaat, Prof Bahder Djohan, dan banyak yang lain, telah berupaya agar antara Jakarta dan PRRI mau berunding mencari solusi damai. Tetapi, kedua belah pihak samasama keras kepala pada pendirian masingmasing, seperti telah disinggung sebelumnya.

 

Maka itu, perang saudara tidak dapat dihindarkan lagi. Sudah sudah diperkirakan sejak awal bahwa PRRI pasti kalah, hanya dalam tempo beberapa bulan. Dalam bacaan saya, orang Minang itu tidak berbakat perang, kecuali pada masa revolusi. Ini berbeda dengan rakyat Aceh yang pernah melawan Belanda selama puluhan tahun.

 

Sesuatu yang masih perlu dikaji lebih jauh adalah keterlibatan beberapa tokoh partai Masyumi dan PSI dalam PRRI. Dari Masyumi, tercatat Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, Mr Burhanuddin Harahap, dan banyak tokoh Masyumi lokal. Dari PSI ada Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo, Mr St Mohammad Rasjid (semula dubes RI di Italia), mungkin juga Saladin Sarumpaet. Berbeda dengan tokoh Masyumi yang kemudian terlibat dalam perang gerilya, Sumitro dan Mohammad Rasjid lebih banyak bersembunyi di mancanegara. Tokohtokoh ini semua adalah para pejuang kemerdekaan yang kesetiaannya kepada bangsa dan negara tidak kalah dengan kesetiaan tokohtokoh Jakarta pimpinan Presiden Sukarno. Maka adalah sebuah malapetaka dan tragedi nasional kemudian mengapa kedua belah pihak tidak bisa menghentikan perang saudara yang membawa banyak korban itu.

 

Masyumi dan PSI secara partai tidak merupakan bagian dari PRRI, tetapi mengapa kemudian kedua partai itu dibubarkan dan beberapa pemimpinnya yang tidak bergabung dengan pemberontakan juga ditangkap dan dipenjarakan? Bahkan, St Sjahrir menderita sakit dan wafat masih dalam status tahanan. Di sini ketidakadilan sejarah sangat terasa, sekalipun belakangan semacam hukum karma juga berlaku atas pihak yang memenjarakan mereka itu. Maka sebagai orang tua, saya berpesan agar generasi yang datang kemudian mau belajar sejarah nasional. Jangan sampai membiarkan bangsa dan negara ini berkuah darah lagi dalam sengketa sesama saudara.

 

Setelah PRRI kalah total, kaum komunis semakin merajalela di Sumatra Barat, bahkan sampai kampungkampung. Di Kecamatan Sumpur Kudus saja ada dua orang Wali Nagari yang mengaku sebagai tokoh PKI lokal, yaitu di nagari Sumpur Kudus sendiri dan di nagari Kumanis, ibu kecamatan Sumpur Kudus. Keduanya kejam dan berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Bahkan, kapolsek dan koramil kecamatan itu (Harsono dan Nur Salim) di saat dominasi PKI itu bertingkah sebagai penguasa yang lagi menang perang. Rakyat dianggap tidak ada harganya.

 

Jika tidak salah ingatan, pada 1964 saya menulis surat kiriman yang dimuat dalam majalah Panji Masyarakat, Jakarta, memprotes kekejaman aparat itu di kecamatan itu. Terbetik kabar dari abang saya, alm Nursahih, jika saya akan dibunuh oleh Nur Salim saat pulang kampung tahun 1964 itu. Alhamdulillah, rencana makar itu tidak terjadi, sedangkan saat pulang kampung saya melewati depan kantor Nur Salim yang kabarnya berasal dari Cilacap, Jawa Tengah.

 

Itulah sekelumit gambaran tentang PRRI yang sebagian merupakan sejarah lokal yang belum banyak diungkap. Apa yang berlaku di Sumpur Kudus adalah bagian dari tragedi Sumatra Barat secara keseluruhan, yang tercabik oleh perang saudara yang mewariskan catatan hitam itu!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat