
Analisis
BUMN Energi di Era Transisi Energi
Transisi energi memang akan mengubah peta bisnis di sektor energi.
Oleh SUNARSIP
Transisi energi menuju net zero emission (NZE) tentunya akan turut mengubah peta bisnis korporasi yang bergerak di sektor energi. Berkurangnya pangsa penggunaan energi fosil, terutama minyak bumi dan batu bara di masa mendatang, tentunya akan mempengaruhi rencana bisnis yang dikembangkan korporasi di sektor tersebut.
Korporasi yang bergerak di bisnis minyak bumi dan batu bara diperkirakan menjajaki bisnis baru, mengurangi atau bahkan menjauhi bisnis energi fosil.
Sebagai contoh, pada 2020 lalu, BP yang merupakan grup korporasi energi asal Inggris, mengumumkan akan mendekarbonisasi portofolio bisnisnya, memotong produksi minyak dan gas hingga 40 persen dari level 2019 pada 2030 dan menyalurkan miliaran dolar ke proyek angin (wind) dan surya (solar).
Meskipun pada akhirnya, BP “mundur” dari komitmen tersebut, hal ini setidaknya memperlihatkan bahwa mereka sadar tidak akan sepenuhnya mengandalkan bisnis energi fosil sebagai tulang punggung pendapatannya. Mereka harus melakukan transformasi bisnis.
Hal yang sama juga akan dialami oleh korporasi energi di Indonesia, termasuk BUMN energi. Pertamina merupakan BUMN energi yang dapat dikatakan backbone pendapatan utamanya saat ini berasal dari energi fosil, migas.
Sedangkan PLN, meskipun produk yang dijual adalah listrik (tidak menghasilkan emisi), tapi pembangkit listriknya adalah salah satu penghasil emisi terbesar karena menggunakan batu bara. Nah, dengan posisi yang sama sebagai pengemisi, maka kedua BUMN energi tentu akan mendesain ulang bisnisnya.
Sejauh ini, platform bisnis energi rendah emisi adalah listrik berbasis energi terbarukan (renewable energy atau RE). Dapat diperkirakan bahwa sebagian besar korporasi energi akan mengarah pada bisnis energi listrik RE.
Dapat diperkirakan bahwa sebagian besar korporasi energi akan mengarah pada bisnis energi listrik renewable energy.
Nah, di sinilah persoalan akan muncul. Kalau BUMN energi masuk ke segmen bisnis yang sama, tentu akan berpotensi memunculkan persaingan di antara BUMN energi.
Persaingan tentu baik bagi perekonomian dan konsumen. Persaingan akan menciptakan efisiensi, pelayanan, dan harga yang lebih baik. Namun, dalam konteks BUMN energi, pada umumnya persaingan tidak dilakukan melalui penciptaan persaingan secara terbuka dengan membebaskan masuk pada segmen bisnis yang sama.
Praktik yang sering terjadi, terutama di negara-negara berkembang, adalah pemerintahnya menciptakan persaingan di antara BUMN energi untuk meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya agar mampu mengembangkan diri menjadi korporasi global, bukan menjadi kompetitor, apalagi menjadi predator bisnis bagi sesama BUMN energi.
Sebagai contoh, Pemerintah Cina, misalnya, memecah BUMN kelistrikannya. Tujuannya, mendorong BUMN kelistrikan agar mampu meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya secara global dan sekaligus menciptakan layanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Pada 2022, Pemerintah Cina memecah BUMN kelistrikannya, yaitu State Power Corporation of China (SPC) menjadi tujuh korporasi, terdiri dari dua korporasi yang bergerak di bisnis segmen grid (transmisi, jaringan, dan distribusi) dan lima korporasi bergerak di segmen bisnis pembangkitan (power plant).
Pada saat didirikan pada 1996, SPC ini mirip PLN, yaitu BUMN kelistrikan yang mengelola bisnis kelistrikan, mulai dari pembangkitan, transmisi, jaringan, hingga distribusi.
Hal yang sama juga terjadi di BUMN migas. Untuk menciptakan “persaingan”, pemerintah Cina membentuk tiga BUMN migas dengan dengan segmen bisnis yang relatif sama, yaitu (i) China National Petroleum Company (CNPC), (ii) China Petroleum & Chemical Corporation (Sinopec), dan (iii) China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Namun, “persaingan” yang dibentuk untuk memotivasi menjadi korporasi global dalam rangka meningkatkan kapasitas korporasi sekaligus kapasitas nasional bagi penguatan ketahanan energi nasional.
Kata kuncinya adalah Pemerintah Cina tidak menghendaki masing-masing BUMN energi menjadi pesaing, apalagi predator bagi bisnis BUMN lainnya. Pemerintah Cina tidak menghendaki BUMN kelistrikan, misalnya, masuk ke segmen bisnis hulu energi, seperti produksi dan distribusi migas dan bisnis hulu RE.
Begitu juga sebaliknya. BUMN migas tidak masuk ke bisnis kelistrikan (pembangkitan dan distribusi). Persaingan yang dikehendaki adalah setiap BUMN energi sesuai dengan kapabilitas intinya, mengembangkan core business-nya menjadi semakin besar dan mampu mengembangkan sayap bisnis di tingkat global.
Dan faktanya, Cina berhasil mendorong BUMN energinya menjadi korporasi global. Banyak BUMN energi Cina masuk dalam daftar "Fortune 500" sebagai korporasi terbesar di dunia. Tidak hanya itu, BUMN energi Cina, baik yang bergerak di sektor migas dan kelistrikan, mampu mengembangkan sayap bisnisnya di berbagai negara.
Di dalam negeri, mereka mampu menjadi pilar utama bagi ketahanan energi nasional dan mampu memberikan layanan lebih baik kepada masyarakat. Selain karena dukungan pemerintah, keberhasilan BUMN energi Cina juga berkat konsistensi dalam membangun kapabilitas dan kapasitas sesuai dengan core business-nya.
Persaingan yang didorong di antara BUMN energi, bukanlah persaingan yang berebut di segmen bisnis yang sama, melainkan persaingan untuk mendorong peningkatan kapabilitas dan kapasitas sesuai core business-nya.
Penulis berpendapat bahwa kebijakan dan strategi yang sama juga perlu diciptakan pada BUMN energi kita. Persaingan yang didorong di antara BUMN energi, bukanlah persaingan yang berebut di segmen bisnis yang sama, melainkan persaingan untuk mendorong peningkatan kapabilitas dan kapasitas sesuai core business-nya.
PLN memiliki kapabilitas inti di bidang pembangkitan, operasional pembangkitan, transmisi, jaringan, dan distribusi. Karenanya, kapabilitas inti ini perlu diperkuat sebagai modal mengembangkan diri sebagai korporasi kelistrikan global.
PLN tidak memiliki kapabilitas di bidang bisnis hulu energi. Potensi risikonya cukup tinggi bila PLN masuk ke segmen bisnis tersebut.
Pertamina adalah korporasi energi yang memiliki kapabilitas inti di bidang eksplorasi dan produksi energi primer (hulu energi), pengolahan hasil produksi hulu energi (kilang pengolahan), dan distribusi hasil produksi hulu energi. Kapabilitas inti ini perlu diperkuat agar Pertamina mampu menjadi korporasi hulu energi (baik fosil dan RE) global, sehingga semakin berperan dalam memperkuat ketahanan energi nasional.
Dengan kata lain, meskipun terdapat tuntutan diversifikasi bisnis dalam rangka NZE, sebaiknya Pertamina tidak masuk ke bisnis produksi listrik.
Dalam konteks pengembangan RE, penulis mengusulkan sinergi dalam rangka penciptaan nilai tambah bagi BUMN energi. Dalam konsep sinergi ini, penentuan pemeran utama dan pemeriman manfaat terbesar didasarkan kepada kapabilitas intinya.
Sebagai contoh, dalam pengembangan bisnis kelistrikan panas bumi (geothermal). Pertamina memiliki kapabilitas inti di bisnis hulu energi di bidang eksplorasi. Karenanya, pemeran utama dan penerima manfaat terbesar di bisnis ini semestinya adalah Pertamina.
Dalam hal ini, PLN sebaiknya tidak masuk dalam bisnis tersebut sebagai pemeran utama. Konsep sinergi seperti ini, tidak hanya berlaku pada bisnis yang melibatkan kegiatan eksplorasi bumi, tapi juga berlaku pada bisnis hulu energi RE lainnya.
Panas bumi yang dihasilkan digunakan untuk menggerakan pembangkit listrik. PLN memiliki kapabilitas inti di bisnis pembangkitan. Karenanya, pemeran utama dan penerima manfaat terbesar di bisnis ini adalah PLN.
Dalam hal ini, Pertamina sebaiknya tidak masuk dalam bisnis pembangkitan sebagai pemeran utama. Kalau pun perlu masuk dalam bisnis yang bukan kapabilitas intinya, sebaiknya hanya sebagai investor minoritas yang tidak turut mengendalikan operasional.
Penjabaran bentuk sinergi seperti ini, siapa sebagai pemeran utama dan yang memperoleh manfaat terbesar, di tingkat korporasi dapat direfleksikan melalui besarnya kepemilikan saham (lihat gambar).

Transisi energi memang akan mengubah peta bisnis di sektor energi. Namun, hal tersebut dapat direspons dengan tetap fokus pada pengembangan bisnis sesuai kapabilitas intinya. Bahkan, kapabilitas inti yang dimilikinya dapat dioptimalkan melalui sinergi dalam pengembangan bisnis RE.
Memang memerlukan pengaturan lanjut. Pengaturan tidak hanya di tingkat sektoral, tetapi juga di tingkat mikro korporasi.
Di tingkat sektoral, bisnis RE tentunya membutuhkan formulasi yang berbeda mengenai batasan hulu dan hilirnya. Sedangkan di tingkat korporasi, Kementerian BUMN selaku proxy pemilik negara, pengaturan dalam dilakukan melalui pengendalian rencana bisnis setiap BUMN energi.
Sehingga, yang terjadi adalah persaingan berorientasi pada tujuan menjadikan BUMN energi sebagai perusahaan global, bukan persaingan di tingkat domestik pada segmen bisnis yang sama.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Tragedi Masjidil Haram 1979
Sekelompok bersenjata menguasai Makkah kala jamaah haji belum seluruhnya pulang pada 1979.
SELENGKAPNYAPeci Lambang Pergerakan
Ali dan tokoh pergerakan lainnya justru mengikuti kebiasaan Soekarno.
SELENGKAPNYAJuru Ikhlas
Amal sedikit dan rutin, mungkin jalan yang bisa dipilih sebagai ikhtiar menjadi ikhlas.
SELENGKAPNYA