Sunarsip | Daan Yahya/Republika

Analisis

BUMN, Penugasan Pemerintah, dan Inovasi Keuangan

Banyak jenis inovasi keuangan BUMN dalam rangka menjalankan penugasan pemerintah.

Oleh SUNARSIP

Para pendiri bangsa kita telah merancang konstruksi ekonomi Indonesia dengan sangat baik. Konstruksi atau sistem ekonomi Indonesia, sebagaimana yang tersirat dalam konstitusi UUD 1945, dibangun melalui tiga pilar pelaku ekonomi, yaitu koperasi, badan usaha milik negara (BUMN), dan swasta.

Ketiga pilar ini memiliki karakteristik berbeda, tapi diharapkan menjadi pelaku ekonomi yang saling bersinergi dalam memperkuat perekonomian nasional. Sesuai namanya, BUMN adalah badan usaha.

Para pendiri bangsa sepertinya memandang perlu negara, di mana pemerintah sebagai wakilnya (proxy), memiliki badan usaha. Para pendiri bangsa tidak hanya melihat peran swasta belum berkembang pada saat negara ini didirikan. Namun, mereka telah memiliki perspektif jauh ke depan bahwa BUMN diperlukan sebagai alat negara untuk mengarahkan perekonomian.

Dengan kata lain, selama konstitusi kita masih seperti saat ini, keberadaan BUMN harus tetap ada. Para pendiri bangsa sepertinya memang memilih sistem perekonomian ini, yang berbeda dengan negara-negara lain seperti di Eropa.

 
Selama konstitusi kita masih seperti saat ini, keberadaan BUMN harus tetap ada. Para pendiri bangsa sepertinya memang memilih sistem perekonomian ini, yang berbeda dengan negara-negara lain seperti di Eropa.
 
 

 

Karena merupakan “badan usaha”, maka tolok ukur yang ingin diperoleh dari pembentukan BUMN juga sama dengan tolok ukur yang berlaku pada badan usaha umumnya, yaitu memupuk laba (profit). Tujuannya, bila laba semakin besar maka badan usaha (termasuk BUMN) akan semakin besar sehingga dapat meningkatkan kontribusinya bagi perekonomian nasional dan kemakmuran pemiliknya (berupa dividen bagi negara, bila BUMN).

Kontribusi bagi perekonomian nasional dimaksud, antara lain, berupa kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB), lapangan kerja, termasuk peningkatan penerimaan negara (perpajakan), dan kontribusi lainnya bagi masyarakat.

Itulah mengapa, Pasal 2 Undang-Undang (UU) BUMN menempatkan maksud dan tujuan pendirian BUMN berupa (i) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional, khususnya penerimaan negara, dan (ii) mengejar keuntungan, menempati urutan teratas.

Dengan kata lain, adalah keliru pandangan yang menghendaki BUMN tidak berorientasi pada pemupukan laba. Padahal, demikianlah tujuan pendirian BUMN yang digagas para pendiri bangsa yang kemudian diterjemahkan ke dalam UU. Konsensus bernegara memang menghendaki negara memiliki instrumen bernama badan usaha dengan karakteristik sebagaimana dimaksud dalam UU BUMN.

Dan apabila kapasitas sekaligus kapabilitas BUMN semakin besar, yang merupakan hasil dari memupuk laba, pemerintah pun memiliki ruang lebih besar untuk mengoptimalkan peran BUMN melalui berbagai penugasan. Penugasan pemerintah seyogianya memang dilakukan manakala secara kapasitas dan kapabilitas BUMN tersebut telah mampu dan kuat. Yaitu, mampu dan kuat mengerjakan penugasan pemerintah sekaligus mampu mengkalkulasi dan kuat menanggung potensi risikonya.

Pertanyaannya, apakah pemerintah harus menunggu BUMN kuat dan besar dulu baru dapat diberikan penugasan? Jawabannya: idealnya begitu. Ibaratnya, tidak mungkin anak yang baru siap berdiri bahkan baru belajar, diminta mengerjakan tugas yang kapasitasnya melebihi kapasitas dirinya.

Namun, tentu tidak selalu harus mengikuti urutan (sequence) tersebut. Pemerintah dapat memberikan penugasan kepada BUMN tanpa harus menunggu BUMN besar dan kuat dahulu. Karena pada dasarnya, penugasan juga dapat diartikan sebagai upaya pemerintah untuk mendorong kapasitas dan kapabilitas BUMN terkait. Tentu, dalam pelaksanaannya, penugasan perlu dibimbing dengan dukungan finansial, regulasi, dan upaya mitigasi risiko yang memadai.

Sebagai contoh, BUMN menerima penugasan berupa proyek yang memiliki kriteria layak secara ekonomi (economically feasible), tapi belum layak secara finansial (financially not feasible). Belum layak secara finansial, antara lain, disebabkan kapasitas pendanaan BUMN yang belum cukup. Dan biasanya, bila proyek secara finansial belum layak, lembaga keuangan juga tidak tertarik membiayainya karena kemampuan membayar yang rendah (not bankable).

Namun, karena proyek secara ekonomi layak, tidak ada jalan lain, BUMN harus mengerjakannya. Pertanyaannya: bagaimana caranya agar proyek dapat dikerjakan, tapi BUMN-nya tidak terdampak risiko-risiko potensial? Nah, di sinilah peran inovasi, khususnya inovasi keuangan diperlukan.

 
Salah satu bentuk inovasi keuangan adalah dengan meningkatkan kualitas kredit.
 
 

Salah satu bentuk inovasi keuangan adalah dengan meningkatkan kualitas kredit (credit enhancement). Tujuannya, agar suatu proyek yang tadinya tidak layak menjadi layak dibiayai (bankable).

Pada prinsipnya, credit enhancement digunakan untuk (i) menunjukan komitmen pemerintah terhadap proyek tersebut, dan (ii) sekaligus menurunkan biaya dana (cost of fund).

Salah satu jenis credit enhancement, antara lain, diberikan melalui penciptaan skim penjaminan (guarantee scheme). Dalam konteks ini, pemerintah telah menciptakan skim penjaminan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sejak akhir 2009.

Keberadaan penjaminan melalui PII adalah sebuah langkah maju. Keberadaan skim penjaminan ini dapat meningkatkan kepastian partisipasi dan pembiayaan dari lembaga keuangan terhadap proyek tersebut. Proyek menjadi bankable, eksposur risiko di mata investor dan kreditor berkurang, sehingga dapat berdampak pada penurunan biaya pembiayaan yang harus ditanggung untuk investasi proyek.

Saya berpendapat, inovasi melalui skim penjaminan masih perlu dilengkapi untuk meningkatkan kapabilitas BUMN penerima penugasan. Skim penjaminan pada umumnya bersifat residual, meski dalam beberapa hal dapat berupa penjaminan penuh (full guarantee).

 
BUMN juga membutuhkan ruang berinovasi untuk mengurangi risiko finansial akibat faktor-faktor yang berada di luar kendali.
 
 

Artinya, risiko yang dijamin oleh lembaga penjaminan adalah risiko sisa (residual risk) yang memang tidak dapat ditanggung oleh pemilik proyek, dalam hal ini BUMN. Dalam konteks ini, BUMN juga membutuhkan upaya lainnya untuk meningkatkan kapabilitas dalam rangka melindungi dirinya terhadap risiko-risiko yang mereka tanggung sendiri.

BUMN juga membutuhkan ruang berinovasi untuk mengurangi risiko finansial akibat faktor-faktor yang berada di luar kendali seperti: risiko nilai tukar dan suku bunga yang dapat berimbas pada peningkatan biaya proyek (project cost) melebihi perkiraan (cost overrun), yang tidak hanya mengganggu target outcome proyek (berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi) juga dapat memicu adanya tambahan penyertaan modal negara (PMN).

Inovasi keuangan yang dibutuhkan, antara lain, adanya ruang bagi BUMN untuk melakukan aksi lindung nilai (hedging) untuk mengantisipasi terjadinya risiko-risiko finansial.

Sejak 2013, pemerintah melalui Kementerian BUMN sebenarnya telah mengatur mekanisme hedging terhadap jenis-jenis transaksi keuangan yang dilakukan BUMN. Sayangnya, mekanisme hedging ini belum terimplementasikan secara masif di lingkungan BUMN, seiring belum menyatunya pandangan hukum terkait mekanisme hedging dari aparat penegak hukum maupun pemeriksa keuangan negara.

Inovasi keuangan juga dapat dilakukan melalui “perekayasaan keuangan” atau financial engineering. Perekayasaan keuangan di sini tentunya dalam definisi positif, bukan ilustrasi negatif yang sering diutarakan oleh kalangan yang tidak berlatarbelakang keuangan.

 
Inti dari perekayasaan keuangan adalah mengoptimalkan aset yang dimiliki perusahaan (BUMN) untuk menangkap potensi pembiayaan yang lebih besar dari pasar dalam rangka meningkatkan kapasitas pendanaan perusahaan.
 
 

Inti dari perekayasaan keuangan adalah mengoptimalkan aset yang dimiliki perusahaan (BUMN) untuk menangkap potensi pembiayaan yang lebih besar dari pasar (financial market) dalam rangka meningkatkan kapasitas pendanaan perusahaan. Salah satu bentuknya adalah apa yang pernah dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2015.

Pada 2015, PLN menerima penugasan untuk membangun sistem ketenagalistrikan sebesar 35 ribu megawatt berikut infrastruktur jaringan dan transmisinya. Bila berbekal kondisi keuangan sebagaimana tertera dalam neracanya saat itu, kapasitas PLN jelas tidak cukup untuk mengerjakan proyek tersebut.

Nilai investasi yang dibutuhkan tinggi sekali. Pada 2014, rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) PLN mencapai 188,25 persen, tinggi sekali. Itu artinya, PLN perlu menurunkan DER-nya untuk meningkatkan leveraging-nya atau kapasitas meminjamnya. Lantas, apa yang dilakukan PLN?

PLN melakukan revaluasi aset. Sebagian besar aset PLN tercatat berdasarkan harga perolehan (cost) sehingga tidak mencerminkan nilai wajarnya (fair value). Melalui revaluasi aset, nilai aset PLN meningkat dratis.

Aset PLN (secara akuntansi) meningkat lebih dari dua kali lipat. Kenaikan aset tersebut langsung menurunkan DER PLN menjadi 44,71 persen pada 2016. Turunnya DER PLN telah memberikan ruang lebih besar bagi PLN berutang, baik melalui pinjaman maupun penerbitan obligasi untuk mengerjakan penugasan pemerintah di sektor ketenagalistrikan.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, juga memberikan dukungan terhadap langkah PLN. Dukungan antara lain diwujudkan melalui pemberian PMN kepada PLN dengan mekanisme konversi pajak terutang menjadi modal (debt to equity swap).

PLN membayarkan pajak terutang akibat revaluasi aset ke kas negara. Selanjutnya, pemerintah memberikan PMN kepada PLN sebesar nilai pajak yang timbul akibat revaluasi aset.

 
Inovasi keuangan tersebut dijalankan secara legal, diakui sebagai common practices dan didukung regulasi yang berlaku. Dan tak kalah penting, dukungan dari pemerintah.
 
 

Dengan mekanisme ini, pemerintah dan PLN memiliki sisi positif. Pemerintah mencatatkan tambahan penerimaan pajak dari PLN. Sedangkan PLN, tidak mengalami pengurangan kas, karena pajak yang dibayarkan akibat revaluasi aset dikembalikan pemerintah dalam bentuk PMN.

Sebenarnya, banyak jenis inovasi keuangan yang dapat dikembangkan BUMN dalam rangka menjalankan penugasan pemerintah. Tentunya, inovasi keuangan tersebut dijalankan secara legal, diakui sebagai common practices dan didukung regulasi yang berlaku. Dan tak kalah penting, dukungan dari pemerintah.

Namun, harus diakui tidak mudah menjalankan inovasi keuangan di lingkungan BUMN. Selain karena keterbatasan kapabilitas, persepsi sebagian kalangan terhadap inovasi keuangan belum seluruhnya utuh.

Masih terdapat beberapa pihak yang menempatkan inovasi keuangan sebagai aksi “akal-akalan” dan bahkan menempatkannya dalam persepsi negatif. Padahal, aksi “akal-akalan” (termasuk di dalamnya praktik “window dressing”), jelas-jelas bukanlah inovasi keuangan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Terus Perjuangkan Hilirisasi

Pemerintah didorong untuk memperluas hilirisasi ke sektor lain.

SELENGKAPNYA

Haji dan Keberkahan Wakaf

Habib Bugak Asyi menjadi contoh, betapa wakaf mengalirkan keberkahan bagi jamaah haji.

SELENGKAPNYA

BUMN Perkuat Sinergi di Luar Negeri

Erick mendorong BUMN saling berkolaborasi menarik calon mitra strategis internasional untuk berinvestasi di Indonesia.

SELENGKAPNYA