Jamaah haji sedang tawaf di dekat Ka'bah. | Republika/Fuji Eka Permana

Teraju

Bisakah Haji Lepas dari Politik?

Haji dan politik adalah dua muka uang yang hampir identik.

Oleh MUHAMMAD SUBARKAH

"Jangan kaitkan haji dengan politik...!" Pernyataan ini sekilas gagah dan mentereng.

Selain itu, seolah mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada urusan yang menyangkut orang banyak benar-benar bisa terlepas dapat dari kepentingan kekuasaan atau politik. Dan pada sisi lain, jargon ini seakan ingin menegaskan bahwa politik adalah sesuatu yang banal, tak berharga, hingga najis atau kotor.

Memang bisa saja soal haji dianggap perkara recehan. Namun, fakta yang ada di depan mata memastikan soal haji bukan perkara remeh-temeh. Bahkan, nilai 'ekonominya' pun tak lagi berupa porsi 'uang kecil' karena telah menyerap sumber daya ekonomi yang bernilai puluhan triliun per tahun. Untuk itu, haji mau tidak mau, sekarang sudah menjadi soal rumit.

Bukan hanya itu, para orientalisme barat pun sudah lama menganggap pentingnya haji bagi sebuah eksistensi masyarakat Muslim. Mereka menyatakan 'haji itu adalah perwujudan nasionalisme Islam'. Dan dengan bersinggungan dengan kata 'nasionalisme', haji secara otomatis akan selalu berusuhan dengan hiruk pikuk serta geliat tarik ulur kekuasaan.

photo
Suasana kapal laut pengangkut jamaah haji pada abad ke-20. - (Deck of a pilgrim steamer at Jedda, F.G. Clem)

Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay pun mengakui bila pelaksanaan haji pada akhirnya akan terkait dengan soal politik. Ini, misalnya, ditunjukkan dengan adanya produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah dengan menyusun dan mengesahkan undang-undang pelaksanaan haji.

"Jadi, setiap apa pun yang ada undang-undangnya pasti itu merupakan produk politik. Dari dulu pun (pelaksanaan) haji, suka tidak suka, memang akhirnya terkait dengan soal politik," ujar Saleh menegaskan.

*****

Dan, bila dirunut lebih jauh lagi, tampak sangat jelas betapa hal 'tetek bengek' yang menyangkut soal haji selalu bersinggungan dengan tatanan kekuasaan. Uniknya lagi, bukan hanya mereka yang berkuasa atau pejabat saja yang peduli, semua orang termasuk para khalayak biasa yang tinggal di pelosok wilayah Indonesia, juga menaruh perhatian yang tinggi terkait soal ini.

Kepedulian masyarakat terhadap seluk-beluk persoalan haji pun terbukti ketika serombongan keluarga mendatangi penginapan Ketua Komisi VIII DPR di kala melakukan reses di pedalaman Sumatra Utara. Mereka yang terdiri beberapa orang yang terdiri ayah, ibu, anak, menantu, dan cucunya itu mendatangi Saleh untuk melobi agar neneknya bisa berangkat haji tahun ini.

photo
ILUSTRASI Penyelenggaraan haji pada masa Perang Dunia I. - (DOK WIKIPEDIA)

"Tolonglah Lae, nenek kami sudah sangat tua. Masih lima tahun lagi bisa pergi haji. Tolongah agar bisa berangkat tahun ini," pinta salah satu orang di antara mereka.

Mendengar itu Saleh terkejut dan sekilas wajah dia ikut sedih. Ia tahu persis betapa nenek yang masih saudara orang tuanya itu sudah sangat ingin berhaji. Menurut dia, pergi haji bagi masyarakat di Tapanuli Selatan, khususnya warga kampung Sibuhuan, merupakan cita-cita terakhir sebelum meninggal. Pergi haji jelas sebagai sebuah perjalanan ibadah yang sakral.

"Ya, tapi gimana. Nenek berapa usianya sekarang," tanya Saleh.

Dia kemudian mendapat jawaban sudah 73 tahun. Mendengar jawaban itu. Saleh kini menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah yang lesu. Dia tahu harus menjawabnya dengan pilihan kalimat yang pas agar sang nenek itu tak terluka hatinya.

"Begini Nek. Sesuai kepetusan menteri, orang yang sudah minimal setahun mendaftar haji dan kemudian pada tahun haji itu berusia 75 tahun, memang bisa langsung berangkat haji tanpa antrean. Tapi, ini nenek baru 73 tahun. Ya, terpaksalah tunggu dua tahun lagi. Maaf sekali tak bisa bantu karena kalau saya bantu, nanti bisa dipanggil KPK karena menyalahgunakan kuota," jawab Saleh dengan nada merendah.

Mendengar itu, wajah sang nenek tampak langsung tak berseri. Namun, mereka tak bisa menyalahkan Saleh.

photo
Jamaah haji tersasar di halaman Masjid Nabawi, Madinah - (Rep-Agung Sasongko)

Pada masa silam, pergi haji adalah kesempatan yang sangat langka. Hanya beberapa orang yang terpilih oleh raja yang bisa ke Makkah. Selain berhaji, mereka diminta tinggal beberapa tahun lamanya untuk menuntut ilmu di berbagai ulama yang ada di Masjidil Haram.

Diperkirakan orang asli nusantara mulai pergi berhaji ke Makkah sekitar abad ke XIV Masehi. Sedangkan, angka yang lebih pasti mengenai kepergian orang nusantara berhaji baru terdata pada 1860. Saat itu, pun jumlah orang yang berhaji hanya puluhan.

Menariknya lagi, dari catatan sejarawan Prancis Henri Chambert-Loir (Naik Haji Di Masa Silam, Kepustakaan Gramedia, November 2013) menyebutkan selain sebagai bentuk ekspresi ibadah keagamaan yang bersifat pribadi, pergi ke Makkah juga dijadikan sarana bagi para penguasa di nusantara untuk mendapatkan legitimasi 'keilahian' atas kekuasaannya.

Kisah Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) yang pada 1620-an mengirimkan utusan ke Makkah untuk berhaji bisa menjadi contohnya. Kepergian rombongan utusan raja Mataram tersebut sekaligus juga bertujuan untuk meminta 'restu' dukungan legitimasi politik dari 'syarif' Makkah (Kekhalifahan Usmaniyah Turki).

 
Pergi ke Makkah juga dijadikan sarana bagi para penguasa di nusantara untuk mendapatkan legitimasi 'keilahian' atas kekuasaannya.
 
 

Sepulang rombongan dari Makkah itu, maka ketika naik takhta, Raden Mas Rangsang kemudian menyandangkan gelar sultan di depan namanya. Hal yang sama kemudian ditiru oleh Raja Kesultanan Banten, Pontianak, Maluku, Bugis, dan lainnya. Bahkan, diduga kepergian ke Makkah untuk meminta legitimasi politik sudah dilakukan Sunan Gunung Jati pada dekade awal tahun 1500-an, atau pada masa menjelang munculnya Kerajaan Demak.

Kebiasaan ini terus berlangsung melintasi zaman. Pada zaman kolonial, haji dan Kota Makkah dijadikan ajang pemersatu untuk melawan penjajahan. Mereka yang datang berhaji dan sekaligus untuk menuntut ilmu, sepulang haji menjadi pelopor perlawanan rakyat.

Ulama terkemuka Aceh, Teungku Chik Pante Kulu, menyusun Hikayat Prang Sabi ketika dalam perjalanan pulang dari Makkah. Karya sastranya itu kemudian menjadi peniup jihad melawan Belanda.

Pada zaman kemerdekaan pun begitu. Para haji dan ulama menjadi pelopor pergerakan dan perjuangan kemerdekaan. Sukarno ketika menjadi presiden dan naik haji, di depan namanya sempat ditambahkan gelar haji dan nama Ahmad. Penguasa Orde Baru, Soeharto, pun begitu. Sepulang naik haji pada awal 1990-an, di depan namanya ditambahkan gelar haji dan nama Muhammad.

Hingga masa kini, situasinya pun belum berubah. Entah mengapa para calon penguasa daerah hingga nasional tiba-tiba sibuk menambahkan gelar haji di depan namanya. Bahkan dalam Pilpres 2014, kandidat presiden Joko Widodo menjelang pencoblosan menyempatkan diri melakukan ibadah umrah ke Makkah dan Madinah. Dan, para analis politik saat itu pun menyatakan kepergian Jokowi ke Makkah ditujukan untuk menepis isu ketidakdekatannya dengan ajaran Islam.

 
Para haji dan ulama menjadi pelopor pergerakan dan perjuangan kemerdekaan.
 
 

"Lihat saja apa yang terjadi setiap kali ada rombongan haji yang akan berangkat ke Tanah Suci. Pada saat itu, para bupati kepala daerah, wali kota, dan gubernur selalu hadir pasti akan melepaskannya. Apalagi nanti bila sudah dekat dengan ajang pilkada, semuanya akan tebar pesona di depan jamaah. Bahkan, ada yang sampai memberikan sangu dengan alasan sekadar membekali jamaah agar tidak kelaparan dan kehausan di perjalanan," kata Saleh kembali.

*****

Bila dilihat dari data, jumlah pendaftar calon haji kini sudah mencapai lebih dua juta orang. Akibat adanya pemotongan kuota haji hingga 20 persen, jumlah jamaah haji Indonesia yang bisa ke Tanah Suci pada periode terakhir ini hanya berkisar 160 ribu orang per tahun. Imbas lainnya, kini antren orang naik haji sudah mencapai lebih dari 12 tahun. Di beberapa daerah bahkan banyak antrean yang sudah mencapai 20 tahun.

"Antrean naik haji memang harus dipotong. Kami memang terus memikirkannya bersama Kementerian Agama. Sebuah kebijakan politik harus dibuat agar semua orang bisa terlayani ketika melakukan ibadah haji. Beberapa di antaranya adalah dengan mencoba membuat aturan bahwa haji hanya sekali untuk seumur hidup. Selain itu, meninjau kembali penerapan kaidah istito'ah (mampu) dalam berhaji," kata anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu.

Umam pun mengakui adanya kebijakan politik yang baik dengan tujuan melindungi kemaslahatan umat Islam memang diperlukan. Dan, kebijakan dan aturan ini perlu diperbarui secara terus-menerus agar sesuai dengan kehendak zaman.

Alhasil, politik tetap saja bersentuhan dengan haji. Apakah ini bisa ada yang berani menolaknya? Wallahu a'lam.

Disadur dari Harian Republika Edisi Senin, 25 Mei 2015.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mengais Dana untuk Proyek Transisi Energi

Regulasi yang semrawut mengganjal pendanaan transisi energi.

SELENGKAPNYA

Memaknai Lafaz Allah di Atas Zamzam Tower

Posisi Allah harus selalu ada di atas kepentingan duniawi atau di atas segalanya.

SELENGKAPNYA

Ribuan Jamaah Ikut Tarwiyah demi Sunah

Jamaah mendapatkan biaya tambahan senilai 220 Riyal jika ingin melaksanakan tarwiyah

SELENGKAPNYA