Warga memasukan contoh surat suara ke dalam kotak suara usai dicoblos saat simulasi Pemilu serentak 2019 di Jakarta, Rabu (10/4/2019). | ANTARA FOTO

Iqtishodia

Mewaspadai Asimetri Informasi Jelang Pemilu 2024

Asimetri informasi menyebabkan penyebaran berita bohong berlangsung secara masif dan berpotensi diterima mentah-mentah oleh masyarakat,

Oleh Dr SAHARA, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi-FEM-IPB dan Adjunct Associate Professor-Adelaide University, Australia

Rakyat Indonesia pada 2024 akan menggelar pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah. Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia pada Pemilu 2024 akan memilih langsung calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif (tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota), dan kepala daerah (tingkat provinsi hingga kabupaten/kota) secara serentak.

Jelang Pemilu 2024, berbagai konten hoaks (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian) diperkirakan meningkat dan berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran informasi. Kesimpangsiuran informasi berpotensi menimbulkan berbagai ketidakpastian dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk bidang ekonomi. 

Pada era industri 4.0, penyebaran informasi melalui sosial media berlangsung secara masif, mudah, murah, dan cepat. Berdasarkan laporan DATAREPORTAL, pada Januari 2023 ada sebanyak 212,9 juta masyarakat Indonesia yang aktif menggunakan internet.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 167 juta (60.4 persen dari penduduk Indonesia) aktif menggunakan media sosial (https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia). Secara absolut, angka tersebut merupakan angka tertinggi dengan negara Asia Tenggara lainnya.

Jelang Pemilu 2024, berbagai konten hoaks, hate speech, diperkirakan meningkat dan berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran informasi.

 

Tulisan ini mencoba mengkaji pentingnya informasi dan bagaimana mencegah asimetri informasi, termasuk di kalangan masyarakat sehingga tidak membawa kerugian, terutama kerugian di bidang ekonomi jelang perhelatan akbar Pemilu 2024.

Asimetri Informasi: bounded rationality dan opportunistic behavior

Dalam teori ekonomi neoklasik, informasi diasumsikan bersifat sempurna. Artinya, setiap pelaku ekonomi, baik itu rumah tangga, perusahaan, maupun pemerintah memiliki akses yang sama terhadap informasi. Teori ini juga mengasumsikan bahwa tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mengakses informasi.

Berdasarkan asumsi pada teori neoklasik tersebut, kondisi ketidakpastian tidak akan pernah ada karena semua pihak memiliki pengetahuan yang sama terhadap informasi. Meski demikian, asumsi teori ekonomi neoklasik terkait informasi tersebut kemudian ditentang oleh Williamson dkk.

Melalui teori ekonomi kelembagaan (institutional economics), Williamson (1979) menyatakan bahwa informasi pada kenyataannya tidak sempurna di mana tidak semua pelaku ekonomi memiliki akses yang sama terhadap informasi. Williamson juga menyatakan bahwa diperlukan biaya untuk mengakses informasi.

Di pasar produk pertanian, misalnya, para pedagang (middlemen) lebih mengetahui informasi harga pasar dibandingkan dengan petani. Di pasar mobil bekas, penjual mobil bekas lebih memiliki informasi terhadap kondisi terakhir mobil tersebut dibandingkan dengan pihak pembeli.

Contoh lain terkait asimetri informasi adalah di pasar asuransi. Pada kasus asuransi kesehatan, pihak pembeli asuransi kesehatan lebih mengetahui kondisi kesehatannya dibandingkan dengan pihak penjual jasa asuransi tersebut.

photo
Ilustrasi berita hoaks - (Freepik)

Berbagai ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa asimetri atau ketimpangan informasi memang terjadi di dunia nyata. Asimetri informasi akan memengaruhi keputusan dan perilaku dari para pelaku ekonomi.

Ketika asimetri informasi terjadi, perilaku oportunistik dari pihak-pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak akan muncul. Mereka yang mempunyai informasi yang lebih banyak tersebut bisa saja memanipulasi pihak-pihak yang memiliki informasi yang lebih sedikit untuk mengambil keuntungan.

Pada contoh kasus yang sudah disebutkan di atas, misalnya, pedagang bisa saja mengambil keuntungan dengan cara menyimpan informasi naiknya harga pasar dan tidak menyampaikannya kepada para petani. Dengan demikian, para pedagang tersebut tetap bisa memberikan harga yang murah kepada petani.

Asimetri informasi akan memengaruhi keputusan dan perilaku dari para pelaku ekonomi. 

Pada kasus mobil bekas, penjual mobil bekas akan menutupi kekurangan (kerusakan) pada mobilnya agar bisa mendapatkan harga jual yang lebih tinggi dari pembeli. Kondisi di atas (asimetri informasi) diperparah dengan adanya bounded rationality, yaitu kondisi di mana pembuatan keputusan oleh seseorang dibatasi oleh informasi dan waktu yang dia miliki.

Sebagai akibatnya, individu yang memiliki informasi yang lebih sedikit akan cenderung menerima saja informasi dari pihak yang memiliki informasi lebih banyak. Dengan kata lain, keputusan yang dibuat oleh pihak yang memiliki informasi yang lebih sedikit akan dipengaruhi oleh pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak. Kondisi ini jika dibiarkan akan menyebabkan kegagalan pasar (market failure) dan akibat yang paling buruk adalah chaos (kekacauan) di tengah-tengah masyarakat.

Kita tentu saja tidak menginginkan terjadinya kekacauan tersebut. Oleh karena itu, literasi informasi, terutama untuk menangkal terjadinya asimetri informasi jelang Pemilu 2024, perlu dilakukan.

Literasi informasi

Kondisi jelang Pemilu 2024 dapat dianalisis melalui perspektif Williamson dkk. Asimetri informasi menyebabkan penyebaran berita hoaks berlangsung secara masif dan berpotensi diterima mentah-mentah oleh masyarakat, terutama pada golongan masyarakat yang tidak mempunyai waktu atau malas untuk melakukan pengecekan terhadap kebenaran informasi tersebut.

Mastel (2017) melaporkan bahwa 44.3 persen responden yang disurvei menyatakan menerima hoaks setiap hari dan 17.2 persen menerima hoaks lebih dari sekali dalam sehari. Kemudian, ebanyak 35 persen hoaks disebarkan melalui situs web dan sebanyak 63 persen disebarkan melalui aplikasi chatting, seperti Whatsapp, LINE, dan Telegram.

Adanya bounded rationality di mana masyarakat memiliki informasi yang memang terbatas terhadap kebenaran hoaks tersebut, menyebabkan mereka meneruskan berita hoaks tersebut tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Jika informasi hoaks tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, mereka akan terpolarisasi, yaitu membenci pihak yang menjadi target dari hoaks tersebut.

Jika informasi hoaks ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, mereka akan terpolarisasi.

Perilaku oportunistik dari pihak-pihak yang menyebarkan hoaks untuk mengambil keuntungan dari kondisi ketidakpastian akan memperparah situasi ketidakpastian di masyarakat.

Untuk menghindari perilaku oportunis dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari adanya asimetri informasi, Williamson menyarankan agar individu-individu melindungi diri mereka dalam suatu sistem kelembagaan yang baik.

Pada kasus asimetri informasi tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam sistem kelembagaan tersebut adalah pemerintah, masyarakat, industri media, dan perusahaan teknologi. Pemerintah diharapkan menjadi koordinator pada sistem kelembagaan tersebut.

photo
Warga berjemur dengan latar belakang mural (lukisan dinding) komik antihoaks di Kampung Hepi, Joho, Manahan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc. - (ANTARAFOTO)

Agar sistem kelembagaan tersebut efektif memerangi asimetri informasi, masing-masing pihak diharapkan dapat berkontribusi melalui sejumlah cara. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Kominfo dan lembaga pendidikan harus terus mempromosikan pentingnya literasi informasi dan kampanye anti-hoaks bagi masyarakat.

Pengecekan terhadap konten berita yang mengandung hoaks harus semakin ditingkatkan oleh Kemenkominfo dan pemblokiran terhadap situs-situs atau media-media yang menyebarkan hoaks harus segera dilakukan.

Kemudian, masyarakat harus selalu melakukan cek dan ricek sebelum membagikan suatu informasi. Luangkan beberapa menit untuk membaca informasi secara utuh. Pastikan judul berita akurat dan mencerminkan konten atau isi berita. Hoaks biasanya menggunakan judul dan gambar yang provokatif dan sensasional.

Langkah terakhir adalah periksa apakah situs yang menerbitkan informasi tersebut merupakan situs yang memiliki reputasi baik atau bukan. Industri media harus bisa menyediakan jurnalisme berkualitas tinggi untuk membangun kepercayaan publik dan ikut berpartisipasi meluruskan informasi palsu yang beredar di masyarakat.

Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang teknologi juga bisa berkontribusi dengan menciptakan teknologi yang dapat yang dapat mengidentifikasi berita palsu. Melalui upaya-upaya tersebut, asimetri informasi diharapkan dapat dikurangi.

Semua pihak diharapkan berhati-hati dalam menyebarkan informasi karena sifat informasi yang non-rivalrous dan non-exclusive yang mana jika informasi sudah tersebar, semua orang akan bisa mengaksesnya.

Jika informasi yang tersebar tersebut benar, tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi, apabila informasi itu salah, masyarakat akan menanggung dampak negatif dari penyebaran informasi tersebut. Insya Allah, dengan niat baik dari semua pihak, Pemilu 2024 akan berlangsung lancar dan sukses.

Menekan Tingkat Kemiskinan pada Tahun Politik

Masa-masa kampanye tidak boleh mengabaikan tugas akhir para elite di pusat dan daerah.

SELENGKAPNYA

Sang Penggerak Perguruan Tinggi Islam

Bersama sejumlah tokoh, Prof Anton Timur Djaelani mendirikan PII.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya