Opini--Ekonomi Pancasila (Ekonomi Syariah) | Republika/Daan Yahya

Opini

Ekonomi Pancasila (Ekonomi Syariah?)

Tidak ada alasan lagi, jika kita masih mempertentangkan ekonomi syariah dengan Pancasila.

MUKHAER PAKKANNA, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta

Di Tanah Air, setiap memasuki bulan Juni dikenal sebagai bulan Pancasila. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Pancasila telah dijadikan dasar dan falsafah hidup. Pancasila lahir 1 Juni 1945 dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama UUD 1945.

Sebagai common sense, apapun yang hendak dikembangkan di Tanah Air, sejatinya merujuk pada falsafah Pancasila.

Di sudut lain, ajaran Islam, yang memiliki sistem dan tatanan hidup dengan prinsip universalisme dan kosmopolitanisme, senantiasa memandang, apapun falsafah hidup yang bergerak di tengah masyarakat, asalkan berada pada prinsip universalisme dan kosmopolitanisme Islam, tentu akan kompatibel (Madjid, 1992).

Sangat tepat jika disebutkan, ekonomi Pancasila memiliki nilai-nilai universal dan berlandaskan maqasid syariah, yakni memberikan hak dan kewajiban sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama dan suku.

 
Sangat tepat jika disebutkan, ekonomi Pancasila memiliki nilai-nilai universal dan berlandaskan maqasid syariah, yakni memberikan hak dan kewajiban sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama dan suku.
 
 

Dalam menegaskan hal itu, rumusan universalitas dasar ekonomi syariah, yakni, pertama, bertujuan mencapai masyarakat sejahtera. Kedua, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama serta yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja.

Ketiga, dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar. Keempat, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin. Kelima, pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat. Keenam, perniagaan diperkenankan tetapi riba dilarang.

Ketujuh, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal (Karim, 2003, Chapra, 2001).

Beranjak pada falsafah ekonomi syariah dan Pancasila itu, kompatibilitas dalam gerakan dan perjuangan untuk mewujudkan ekonomi masyarakat yang berkeadilan di Tanah Air, sudah tidak bisa lagi dipertentangkan.

Pelbagai kebijakan dan perilaku ekonomi yang mencampakkan rasa keadilan sosial, harus dilawan. Penindasan, eksploitasi, diskriminasi, favoritisme, dan eksklusivisme dalam hidup berekonomi, menjadi musuh bersama.

Ekonomi Pancasila

Mengingat kompatibilitas itu, dalam merumuskan dasar ekonomi negara, Bung Hatta (1975) menggagas, “...Ketuhanan yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Bung Karno, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya.”

Selanjutnya Hatta (1980) mengatakan, “...dasar yang memimpin bagaimana hendaknya hidup kita dalam masyarakat. Kemanusiaan yang adil dan beradab ialah kelanjutan daripada sila kesatu tadi, yang mengakui dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Persatuan Indonesia hendaklah kita pelihara baik-baik. Sila keempat ialah supaya kita
menjalankan demokrasi kerakyatan yang didasarkan kepada hikmah kebijaksanaan dan musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat.

Musyawarah itu penting karena demokrasi ada hubungannya dengan musyawarah. Demokrasi harus berdasarkan musyawarah, musyawarah dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang membawa kepercayaan rakyat ke sana. Kemudian sila kelima ialah sila keadilan sosial. Kalau kita menerima sila keadilan sosial ini sebagai bagian dari Pancasila, maka hendaklah dipraktikkan.”

Dengan proposisi itu, kepatuhan dan komitmen pada falsafah Pancasila, merupakan suatu necessary condition karena posisi Pancasila “mengikat seluruh lapisan masyarakat, terutama mengikat pemerintah dan instrumen-instrumen negara yang bertugas sebagai eksekutor”.

Dalam konteks itu, sungguh tepat, jika ingin terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral dan akidah, serta ketertindasan, teologi surah al-Ma’un ayat 1-7 menjadi pijak yang kompatibel dengan spirit ekonomi Pancasila.

Pasal 33 UUD 1945, menyebutkan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Paralel hal itu, Rasulullah SAW menukil, “Almuslimuna syuraka’u fi tsalatsatin, fil ma’i, wal kalai wan nari” (Orang-orang Islam bersyarikat dalam tiga hal: air, rumput (pangan), dan api) (HR Abu Daud).

Hadis ini mendeskrpsikan, komoditas publik (air, pangan, dan energi) adalah hak milik bersama dan menjadi kewajiban negara “menguasai”, melindungi, mengawasi dan mengoptimalisasikannya untuk kesejahteraan rakyat.

 
Hadis ini mendeskrpsikan, komoditas publik (air, pangan, dan energi) adalah hak milik bersama dan menjadi kewajiban negara “menguasai”, melindungi, mengawasi dan mengoptimalisasikannya untuk kesejahteraan rakyat.
 
 

Menyusun kebijakan

Sejatinya kebijakan ekonomi harus “disusun” sesuai makna demokrasi ekonomi. Secara imperatif, Negara harus menyusun dan mendesain sistem kelembagaan.

Kata Swasono (2010), wujud “ketersusunan”, yaitu sebagai usaha bersama berdasar kebersamaan dan kekeluargaan. Karena itu, sangat tepat jika “ketersusunan” ekonomi tidak diserahkan pada liberalisme pasar yang rakus, yang melahirkan penindasan, eksploitasi, dan penghancuran alam, tapi harus sengaja di desain.

Dalam QS al-Hasyir ayat 7, Allah memberi ruang kepada manusia untuk menyusun dan mendesain model terciptanya pemerataan distribusi pendapatan.

Demikian juga, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama (at-ta’wun) beradasarkan atas asas kekeluargaan dan kerjasama (syirkah).

Tentu, instrumen operasionalnya, adalah koperasi. Koperasi, menurut Bung Hatta, memberikan tempat yang sama antara kaya dan miskin untuk saling kerja sama. Hatta menginginkan agar dalam koperasi, mereka yang miskin harus dibela dan diberi kesempatan.

Tentu, hal ini sejurus QS al-Ma’un: 1-3. “Pendusta agama adalah orang yang menyia-nyiakan anak yatim dan tidak mau membela dan memberi makan orang miskin.”

Dengan konstatasi itu, tidak ada alasan lagi, jika kita masih mempertentangkan ekonomi syariah dengan Pancasila. Bahkan, jika ekonomi syariah hendak digerakkan secara masif, tidak perlu ragu menggunakan “jubah” ekonomi Pancasila.

Azan Terakhir

Bilal bin Rabah mengumandangkan azan shalat Subuh dari atas rumah Sahl, wanita bani Najjar.

SELENGKAPNYA

Paylater, Bolehkah?

Dari aspek syariah, ketentuan paylater bisa dibedakan sebagai berikut.

SELENGKAPNYA

Mengapa Poligami

Pengertian adil dalam berpoligami harus dibuktikan secara komprehensif.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya