Hadiah (Ilustrasi) | Ari Bowo Sucipto/ANTARA FOTO

Fikih Muslimah

Berbagi Hadiah untuk Non-Muslim

Rasulullah SAW pernah menerima pemberian seorang Chosroes Persia dan Kaisar Romawi.

Dalam kehidupan sehari-hari, Muslimah kerap bersinggungan secara langsung dengan berbagai individu dengan ragam latar belakang sosial, pendidik, dan terkecuali agama.

Perbedaan itu, misalnya ia temui di lingkungan kerja, kompleks perumahan, bahkan selama di bangku sekolah hingga saling menjadi sahabat karib sejak belia. Kedekatan itu memunculkan rasa ingin berbagi hadiah antarsatu sama lain.

Lantas, bolehkah praktik saling memberi hadiah itu terjadi antara seorang Muslimah dan non-Muslimah?

photo
Hadiah (Ilustrasi)- (ARNAS PADDA/ANTARA FOTO)

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam bukunya berjudul Fiqih Wanita menjelaskan hal ihwal terkait hukum berbagi hadiah kepada non-Muslim. Hal mendasar yang ia tekankan ialah landasan filosofi dan faedah di balik kebajikan berbagi hadiah.

Menurut dia, mengutip kitab Al Hujjah al Balighah, tradisi dan anjuran saling memberi hadiah bertujuan untuk mewujudkan kasih sayang di antara sesama manusia. Dan, maksud tersebut sulit terwujud tanpa ada timbal balik dari kedua belah pihak. Bagi penerima hadiah, pemberian tersebut bisa memunculkan rasa cinta dan keakraban dengan si pemberi.

Di saat bersamaan, memberi hadiah sejalan dengan hadis Rasulullah yang menegaskan bahwa mereka yang lebih sering memberi lebih baik dibandingkan orang yang selalu meminta-minta. Tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah.

 
Tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah.
 
 

Syekh Kamil menyertakan legalitas anjuran saling berbagi hadiah. Hadiah telah disyariatkan penerimaannya dan telah ditetapkan pahala bagi para pemberinya.

Konon, Rasulullah SAW kerap memberikan hadiah kepada para sahabat ataupun koleganya. Di lain kesempatan, Rasul juga menerima pemberiaan seseorang.

Dalam riwayat Abu Hurairah ditegaskan bahwa Rasulullah mencontohkan agar menerima hadiah dan tidak menolaknya. “Sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang (halal), pasti akan aku penuhi undangan tersebut. Begitu juga, jika sepotong lengan atau kaki dihadiahkan kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR Bukhari).

Penuturan Aisyah juga mengemukakan hal yang sama. Rasulullah suka menerima dan memberi hadiah.

 
Sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang (halal), pasti akan aku penuhi undangan tersebut.
HR BUKHARI
 

Lalu, bolehkah hadiah tersebut diberikan bagi mereka yang berlainan keyakinan atau agama? Demikian sebaliknya, apa hukumnya menerima hadiah dari non-Muslim?

Syekh Kamil berpendapat bahwa Muslimah boleh memberi hadiah kepada siapa pun yang berbeda akidah. Hukum yang sama juga diperuntukkan bagi penerimaan hadiah dari mereka yang kafir. Pendapat ini merujuk ke sejumlah praktik memberi dan menerima hadiah yang pernah dicontohkan Rasulullah.

photo
Pengunjung mengamati sejumlah karya komik dalam Pameran Komik Moderasi Beragama bertajuk ModeArt di Galeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah di Kawasan Pusaka Masjid Raya Baiturrahman, Simpang Lima Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/10/2022). Pameran komik yang menampilkan 60 karya dari komikus Jawa Tengah yaitu Abdullah Ibnu Thalhah, Djoko Susilo, Diyan Bijac, M Saifuddin Ifoed itu berlangsung 25-30 Oktober 2022, dengan mengangkat tema toleransi serta kerukunan antarumat beragama khususnya konsep moderasi Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia. - (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Dalam riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Bazzar, Rasulullah pernah menerima pemberian seorang Chosroes Persia dan Kaisar Romawi. Para penguasa non-Muslim sejumlah wilayah kala itu, konon sering pula menghadiahkan sesuatu kepada Rasulullah.

Ada yang berupa baju kulit dan sutera tidak murni. Selain dari kolega, hadiah juga diterima dari para sahabatnya. Seperti hadiah Fadak dari Bilal untuk Rasulullah.

Syekh Kamil juga mengingatkan Muslimah agar tidak meminta kembali pemberian apa pun yang telah diberikan. Tindakan semacam ini tidak diperbolehkan dan dihukumi haram.

Rasulullah bersabda, “Orang yang menarik kembali hibahnya adalah seperti anjing yang muntah lalu memakan lagi muntahannya itu.” (HR Bukhari).

Pendapat ini diamini oleh mayoritas ulama. Kecuali dalam kasus hibah orang tua kepada anaknya.

Muslimah Bekerja di Luar Rumah Menurut Ulama Klasik Hingga Kontemporer

Dalam bekerja, perempuan dinilai perlu menjaga norma-norma kesopanan dan kebajikan yang ditekankan dalam Islam.

SELENGKAPNYA

Cara Sujud Muslimah, Benarkah Berbeda dari Muslim Laki-Laki?

Perempuan diperintahkan untuk merapatkan tubuhnya pada saat rukuk dan sujud.

SELENGKAPNYA

Ummu Kultsum, Cucu Rasulullah Teladan Muslimah

Ummu Kultsum dikenal setia dan memberi dukungan atas semua keputusan dan kebijakan suami.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya