ILUSTRASI Perangko bergambar Ibnu Khaldun. | DOK WORDPRESS

Mujadid

Membedah Gagasan Inti Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun adalah seorang sarjana Muslim yang dipandang sebagai

Ibnu Khaldun (lahir 1332 M/732 H) merupakan seorang ilmuwan Muslim pada masa keemasan. Seperti diterangkannya sendiri dalam autobiografi, At-Ta’rif bi Ibn al-Khaldun, sosok yang diakui luas sebagai "Bapak sosiologi modern" itu adalah keturunan seorang sahabat Nabi, Hujr bin 'Adi.

Sebelum Ibnu Khaldun lahir, kakek dan bapaknya menduduki jabatan penting di republik (taifa) Seville, Andalusia. Pada 1248 M, kerajaan-kerajaan Kristen Spanyol di bawah bendera “penaklukan kembali” (Reconquista) menyerbu taifa tersebut. Menghindari mala itu, keluarganya pun hijrah dari Iberia menuju Tunisia.

Ibnu Khaldun menghasilkan banyak karya di sepanjang hayatnya. Yang paling monumental adalah "Muqaddimah", yakni pengantar untuk kitabnya, Al-Ibar. Di dalamnya, ada banyak pemikiran tokoh tersebut yang bahkan masih relevan hingga masa modern kini.

 
Salah satu gagasannya yang banyak dibicarakan adalah ashabiyah. Konsep tersebut diperkenalkan Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah".
 
 

Salah satu gagasannya yang banyak dibicarakan adalah ashabiyah. Konsep tersebut diperkenalkan Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah".

Secara kebahasaan, istilah itu berarti ‘semangat'. Dalam teori sang penulis, gagasan itu berarti keterikatan seseorang yang sangat kuat terhadap kelompok tertentu sehingga ia akan mempertahankan prinsip-prinsip kelompoknya itu di hadapan kelompok lain.

Para ilmuwan era modern kerap menyandingkannya dengan konsep fanatisme kesukuan atau kebangsaan serta solidaritas sosial.

Menurut Ibnu Khaldun, ashabiyah timbul secara alamiah dalam kehidupan suatu masyarakat. Sebab, di antara seluruh anggota masyarakat terdapat pertalian darah atau perkauman. Rasa keterikatan itu menimbulkan kesetiaan dan dorongan kerja sama dalam menghadapi pelbagai tantangan, semisal musibah atau serangan musuh.

Selain itu, muncul pula komitmen bersama untuk mencapai tujuan. Dalam sosiologi politik, terminologi ashabiyah berkembang sehingga menunjuk pada suatu entitas kekuasaan yang melindungi rakyat atau mencapai tujuan negara. Tidak jarang, kekerasan atau pemaksaan terhadap kelompok lain yang lemah dijadikan jalan untuk mencapai tujuan.

 
Konsep ashabiyah juga dipakai Ibnu Khaldun untuk menjelaskan siklus peradaban.
 
 

Konsep ashabiyah juga dipakai Ibnu Khaldun untuk menjelaskan siklus peradaban. Pada mulanya, masyarakat terbentuk oleh kelompok yang dipersatukan oleh pertalian darah atau nasab yang sama. Mereka juga terikat oleh perasaan saling ketergantungan atau kepercayaan yang sama. Lantas, muncul seorang tokoh dengan jumlah dan kualitas pengikut yang banyak dan kuat. Sosok ini kemudian menurunkan dinasti sehingga timbul pemerintahan yang stabil.

Stabilitas politik melahirkan pembangunan (fisik) yang pesat. Kota-kota tumbuh. Di dalamnya, masyarakat kian terspesialisasi berdasarkan level pengetahuan, profesi, atau keterampilan masing-masing. Kemakmuran lantas menimbulkan budaya tinggi dan gaya hidup mewah. Pada momen itulah, tanda-tanda kemunduran mulai tampak. Sebab, kalangan elite mulai kehilangan moralitas. Hukum hanya tajam bagi kawula biasa.

Dalam keadaan demikian, masyarakat itu menjadi rentang ancaman atau serangan dari luar. Pemerintahnya akhirnya tumbang sendiri atau digantikan dinasti lain yang memiliki latar siklus yang serupa.

photo
Kalimat Hikamiyat Ibnu Khaldun - (Republika)

Sarjana Jerman, Heinrich Simon, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang mencoba merumuskan hukum-hukum sosial. Ashabiyah--yang dipandang ilmuwan modern itu sepadan dengan "solidaritas sosial"--menjadi inti pemikiran sang sarjana Muslim. Itu terutama bila dikaitkan dengan konsep lainnya, badawah (nomadisme-ruralisme), hadharah (peradaban), serta tegak dan runtuhnya negara.

Mendirikan negara adalah tujuan ashabiyah, khususnya yang nomadis. Kemewahan dan kesenangan kehidupan urban cenderung melemahkan ashabiyah ini. Demikian tafsiran Simon atas poin di "Muqaddimah" itu.

Uraian "Muqaddimah" ditulis dengan model wacana yang tepat untuk digunakan kalangan akademisi. Bahasa maupun gaya penulisannya mencerminkan cara diskursus di dalam diskusi akademis. Karena itu, tulisan klasik ini sangat cocok bagi para pembaca modern yang senang menyelami pemikiran manusia-manusia terdahulu.

Lawan Propaganda LGBT Lewat Konten Tiktok

Shumirun Nessa mendapatkan serangan karena kritis terhadap LGBT.

SELENGKAPNYA

Gunting Syafruddin: Ketika Uang ‘Dibelah Dua’

Kebijakan ini diambil ketika Syafruddin Prawiranegara menjadi menkeu di era Kabinet Hatta II.

SELENGKAPNYA

Harga Diri Seni pada Era AI

Teknologi AI telah menghadirkan kerisauan tersendiri di lanagan para seniman.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya