Pulang dalam Pengasingan Nurani | Daan Yahya/Republika

Sastra

Pulang dalam Pengasingan Nurani

Cerpen Nabila Viosta Ekaningtyas

Oleh NABILA VIOSTA EKANINGTYAS

Aku mulai terbiasa dengan tempat ini, setidaknya ketika penghuni yang lebih lama dariku seperti tikus, kecoa, jangkrik, dan sesekali kunang-kunang datang untuk mengobrol denganku. Mulanya duduk di sini bersama onggokan barang bekas bukan hal yang biasa bagiku. Namun, karena istri Tuan tidak mau terus bersedih, aku dipindahkan ke sini. 

Aku mengalah, aku tidak bisa memberontak karena tanpa manusia aku tidak bisa bergerak. Maka, aku akan bercerita kepadamu tentang sesuatu hal yang barangkali dapat mengetuk sisi kemanusiaan yang bisa jadi masih kau punya, begitu setidaknya pesan Nurani yang kutemui di suatu tempat tempo hari. Dan sekali lagi, jika kau berkenan, aku akan membawamu melintasi kilas balik waktu sebelum saat ini.

Aku selalu menyayangkan mereka-mereka yang masih terlelap di saat-saat seperti ini. Ketika bulan yang cantik masih terapung-apung di seluas langit sana dan bintang juga. Ketika kabut dengan kaki-kakinya yang halus mulai menuruni tenang punggung-punggung bukit dan ketika angin menyapaku dengan jubahnya yang luar biasa megah berisi aroma orek tempe, sayur lodeh, sambal bawang, serta wedang jahe.  

Aku selalu menyayangkan mereka-mereka yang masih terlelap di saat-saat seperti ini. 
 

Sebetulnya yang kulihat di sini akan jauh berkali lipat lebih indah kenyataannya dari yang kugambarkan, tapi tidak apa-apa, semoga kau turut penasaran dan segerakan bangun lebih awal. Aku lalu ingat pesan matahari yang saat itu tengah bersolek, aku selalu senang ketika disapa duluan, katanya suatu kali. Bagi benda sepertiku, kekagumanku hanya mampu sebatas kata-kata (yang tidak bisa didengar oleh manusia hero manapun), aku tidak bisa memotret, melukis, atau menuangkannya dalam tulisan yang sering kudengar namanya puisi. 

Tapi ia, Tuanku yang baru saja membuka pintu dan kini sedang mengelus puncak kepalaku dengan tangannya yang segera termakan keriput, menyajikannya dengan nyanyian. Singkatnya, kami berdua tidak hanya berhubungan secara bisnis saja, tetapi juga kesukaan. Aku tidak tahu tepatnya kapan karena aku tidak terlalu pandai menghitung, tapi Tuanku berkata aku sudah menemaninya selama delapan belas tahun. Dan, selama itu pula diam-diam aku menyimpan semua ceritanya. 

Fajar yang dingin lekas berganti dengan hangat dan tentu namanya bukan lagi fajar, sebab matahari yang katanya lebih suka disapa duluan sudah mulai naik panggung. Aku mulai turun bersama Tuanku yang duduk di belakang, memedalku. Dan biar kuberi tahu, sebentar lagi rutinitasku akan segera dimulai.  

Singkatnya, kami berdua tidak hanya berhubungan secara bisnis saja, tetapi juga kesukaan. 
 

Aku senang saat-saat di mana aku bisa mengobrol dengan temanku di pangkalan kami dekat Pasar Tobang, bertukar cerita tentang penumpang kemarin atau barangkali kejadian seperti ban kami bocor dan lalu dibawa ke dokter (tentu dokter kami berbeda dengan apa yang dimaksud manusia ataupun hewan). Bagi benda seperti kami, tidak ada hal yang paling menyenangkan selain kepuasan penumpang dan Tuan kami, kata Ju suatu kali dan kami semua menyetujuinya. 

Tetapi, biar sedikit kutambahkan bahwa aku juga gemar mengagumi saat-saat menjelang matahari naik ke panggung, sama seperti Tuanku. Sebetulnya dibanding menghabiskan hari di rumah, aku lebih sering berada di jalanan. Menjumpai tiap-tiap sudut kota kecil ini, menyapa kendaraan lain ketika kami berpapasan, dan tentu saja mengantar penumpang. 

Aku dan Tuan selalu suka ketika anak kecil ikut kami. Anak kecil banyak bercerita walau kadang kujumpai mereka diminta diam karena terlalu berisik, tapi toh tak apa, sebab ‘semesta’ mereka sebetulnya masih lebih luas dari orang dewasa, begitu kata Tuan tempo hari. Sebagai yang sering disebut becak oleh orang-orang, aku hanya bisa mendengar dan memperhatikan saja beragam cerita dari manusia. 

Meski banyak sekali hal yang rasanya ingin kuobrolkan selain kepada kawanku seperbecakan, misalnya, kepada Tuanku yang baik hati. Tapi, sekali lagi tak apa sebab Tuanku akan selalu bercerita dengan sendirinya, menganggapku seolah-olah bisa mendengar (meski memang iya aku bisa) atau sebagai patner bercerita.  

Kami menemui beragam penumpang dengan pembawaan yang berbeda-beda. 
 

Kami menemui beragam penumpang dengan pembawaan yang berbeda-beda. Ada yang diam saja, ada yang asik membuka topik-topik baru, ada yang datang kemari dengan raut muka tak mengenakkan, ada yang super ceria seperti anak kecil contohnya, ada yang mengucapkan tiga kata maaf, tolong, terima kasih, serta ada juga yang langsung melengos pergi ketika sudah sampai di tujuannya. Ah, tiga kata itu sebetulnya sering disinggung oleh orang-orang, katanya tiga kata keramat. 

Meski aku tak begitu paham di mana letak keramatnya, barangkali manusia yang paham. Aku menyadari bahwa manusia memang sangat beragam dan berbeda satu sama lain, tentulah tidak hanya sebatas pada warna dan bentuknya saja seperti kami, tetapi lebih dari itu. Kadang aku berpikir betapa bersyukurnya menjadi manusia. Jika dibanding onderdil yang kupunya, sesuatu yang bisa jadi menggerakkan mereka dalam menjalani kehidupan terasa lebih ajaib. 

Aku terpikirkan hal itu sebab suatu kali aku pernah bertemu dengannya, ia tak memperkenalkan diri dan tak juga menampakkan diri. Aku seperti tidak berbicara pada siapa-siapa, tetapi ia menegaskan bahwa sedang berbicara padaku. Ia bercerita tentang kawan-kawannya yang telah menjadi mayat sejak lama dalam tubuh manusia. 

Sebetulnya aku tidak paham mayat apa yang ia maksud karena dari awal aku saja tidak tahu dia itu siapa dan apa. Bisa jadi aku banyak penasarannya atau dia yang irit kata, ia hanya memintaku untuk mengibaratkan bahwa kawan-kawannya seperti bunga yang tidak dirawat yang akhirnya mati sia-sia. Sudah kubilang di awal bahwa banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Tuan, salah satunya tentang mayat kawan si Dia ini, barangkali Tuanku yang baik hati dan lebih tahu tentang manusia daripada aku dapat menjawabnya. Tentu saja waktu tidak semurah hati itu menungguku menemukan jawabannya, maka biarlah ini kusimpan sampai bisa jadi esok hari atau seminggu lagi aku bertemu dengan si Dia.  

Hari itu aku dan Tuan tidak begitu banyak penumpang. 
 

Hari itu aku dan Tuan tidak begitu banyak penumpang. Aku sedikit senang karena Tuan tidak akan terlalu kelelahan. Namun, aku juga kasihan tentang Tuan yang kebingungan harus membawa pulang dan memberikan apa ke istrinya jika penghasilan yang didapat tidak terlalu banyak. Karena itu, ketika waktu mempersilakan senja menggelar selendangnya yang kebiruan, keunguan, kejinggaan, dan kemerahan di langit, Tuan tidak segera memutuskan pulang seperti biasa. 

Kami menunggu di pelataran kios-kios daerah Tunah yang sebagian sudah tutup. Bahkan ketika malam semakin merayapi langit, orang-orang hanya lewat, barangkali sudah dijemput atau ingin menunggangi bus atau bisa jadi hanya ingin jalan-jalan saja. Kudengar Tuan menghela napasnya, ia berkata sudah lewat waktunya dan saat ini istrinya pasti tengah bertanya-tanya mengapa ia belum segera pulang. 

Bisa jadi hari ini memang penghasilannya tidak sebanyak sebelumnya, berapapun kecilnya ini tetaplah uang. Kata tuan, manusia harus pandai bersyukur karena itu adalah salah satu kunci menjalani hidup. Entah mengapa ketika Tuan mengatakan ‘hidup’ aku selalu senang mendengarnya, aku tidak tahu kenapa, aku hanya suka saja barangkali Tuan juga senang mengatakan kata ‘hidup’. Di tengah perjalanan kami yang baru saja berbelok ke arah jalan menuju rumah, seseorang memanggil Tuan. Tuan berhenti sejenak, melihat laki-laki dengan tas bawaan yang banyak terlihat kesusahan untuk mendekati.

“Pak! Sudah mau pulang?”

Tuan lekas mengerti bahwa barangkali laki-laki itu adalah calon penumpangnya maka dengan semangat, tuan berbelok dan menghampiri.

“Mau ke mana?”

“Ke Tenggah. Jauh tidak, Pak?”

“Lumayan.” 

Laki-laki itu hanya diam, rautnya gusar. Mungkin karena takut Tuan menolaknya sehingga ia tidak bisa pulang. 
 

Laki-laki itu hanya diam, rautnya gusar. Mungkin karena takut Tuan menolaknya sehingga ia tidak bisa pulang. Tapi, Tuanku tidak setega itu meninggalkan seseorang yang sedang kesusahan. Tuan bersedia dan laki-laki itu kembali sumringah. Dan, aku tidak keberatan sama sekali jika Tuan berkehendak seperti itu. Aku bersedia menemani sejauh manapun Tuan mengantar penumpang. Dalam perjalanan ke Tenggah, Tuan mengisi dengan obrolan ringan. Syukurlah tanggapan yang diberikan juga seimbang dengan Tuan. Begitu kiranya sampai aku menyadari bahwa aku akan lebih bersyukur menjadi becak jika bisa memiliki firasat di awal. 

Suatu hal yang sulit kupahami awalnya sebab semua ini begitu mendadak. Aku terjerembab hampir jatuh ke danau jika akar-akar pohon tidak menahanku. Aku tidak bisa melihat dengan baik dan hanya bisa mendengar dua orang berbicara dengan nada yang tak mengenakkan bahkan kata-katanya sukar kumengerti. 

Aku tidak melihat Tuan maupun laki-laki penumpang. Di mana mereka? Samar sekali akhirnya kukenali bahwa suara dua orang tadi adalah milik Tuan dan laki-laki penumpang. Kenapa mereka cekcok? Apakah tuan tidak apa-apa? Aku meronta-ronta. Namun, seperti yang kau tahu bahwa sekeras apapun aku berusaha bergerak, sejatinya aku hanyalah benda mati. Meski dengan Tuan, aku merasa hidup dan ingin banyak bercerita. 

Malam ini angin tidak terasa menenangkan padahal bulan yang cantik dan gemintang di luas langit sana sedang bertengger. Kemudian bunyi debum air dan lolongan menyusul. Aku mendengarnya! Itu tuan! Aku tidak bisa apa-apa, aku ingin bergerak. Aku ingin punya tangan untuk menggapainya! Siapapun, tolong selamatkan Tuan! 

Malam ini angin tidak terasa menenangkan padahal bulan yang cantik dan gemintang di luas langit sana sedang bertengger. 
 

***

Kali ini angin tidak sekadar menyapaku, ia membawa pesan dari danau bahwa ia telah menyelamatkan Tuan. Syukurlah, aku senang karena sebentar lagi Tuan akan pulang. Aku akan kembali mendengar ceritanya dan lebih lagi kami akan mengantar penumpang ke tujuannya atau sekadar keliling jalanan. Aku bertanya sekali lagi perihal kapan. 

Namun, angin diam. Ia berlalu tanpa kata. Tidak apa, aku akan menunggu sampai kapanpun waktu Tuan pulang bahkan sampai aku dipindahkan ke belakang rumah karena istri Tuan tidak mau terus bersedih melihatku. Aku akan selalu begitu, ya, meski kini telah kutahu penyelamatan danau bukan berarti mengantarkan Tuan pulang kepada istrinya, bukan pula kepadaku, tetapi kepada Zat yang lebih bisa menjaganya. Tuan meninggalkan aku dan istrinya, ia dibunuh karena berusaha mempertahankan uangnya yang tak berapa dari laki-laki penumpang, begitulah kata si Dia yang akhirnya memperkenalkan diri sebagai Nurani.

Nabila Viosta Ekaningtyas lahir di Sleman 03 Juli 2003. Aktif di UKM Al-Huda dan saat ini sedang menempuh studi Sastra Indonesia UNY.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat