Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Petak Sinkian dan Kejayaan Sepak Bola

Pada masa kolonial klub yang pemainnya keturunan Tionghoa berkali-kali juara.

Oleh ALWI SHAHAB

Pada 1900 berdiri Tiong Hoa Hwee Kian (THHK) atau rumah perkumpulan Tionghoa oleh beberapa tokoh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Paguyuban ini bisa dibilang menandai kebangkitan warga Tionghoa pada masa kolonial.

Dalam waktu singkat, gerakan yang berawal di bidang pendidikan meluas ke aspek olahraga, termasuk sepak bola, atletik, bola sodok, dan tenis.

Organisasi ini kemudian membentuk klub sepak bolanya sendiri bernama Union Makes Strenght (UMS). Mereka berlatih di stadion sepak bola yang terletak di Manggabesar, Tamansari, Jakarta Barat. Sejak itu, dikenal sebagai Stadion Sepak Bola Petak Sinkian.

Nama klub sepak bola UMS kini kembali menjadi sorotan karena lapangan yang mereka miliki lebih dari 100 tahun lalu akan digusur dan dijadikan mal. Tapi, Pemda DKI menegaskan bahwa lapangan yang pernah menjadi legenda sepak bola Indonesia ini tidak boleh digusur dan fungsinya tidak akan berubah.

Pada masa kolonial klub yang kala itu sebagian pemainnya keturunan Tionghoa berkali-kali menjuarai liga Voetbal Bond Batavia Omstreken (VBO), yakni 1930, 1932, 1933, 1937, 1938, dan 1949. VBO kemudian berubah nama menjadi Persija pada 1950 dan pada saat yang hampir bersamaan UMS membuka pintu kepada warga pribumi.

 
Pada masa kolonial klub yang kala itu sebagian pemainnya keturunan Tionghoa berkali-kali menjuarai liga.
 
 

Mereka menerima Mohammad Djamiat Dalhar, putra Betawi yang kemudian menjadi bersama Ramang dan San Liong menjadi penyerang tengah yang tangguh di PSSI. Sepanjang musim kompetisi Persija 1952 sampai akhir 1950-an pemain-pemain UMS selalu terpilih untuk ikut mask dalam Persija dan kemudian PSSI.

Di klub Arema Malang terdapat Kim Kurniawan, pemain naturalisasi asal Jerman. Dia adalah cucu dari Kim Mo Hing. Kakeknya adalah pemain UMS yang beberapa kali memperkuat Persija dalam kompetisi antarkota di kejuaraan PSSI.

Bukan cuma Mo Hing, UMS juga menghasilkan pemain-pemain keturunan Tionghoa yang memperkuat Persija dan PSSI. Sebut saja, misalnya, Kiat Sek, Chris Ong, Him Tjiang, Tek Eng, Tan Liong Houw, dan Wim Pie, keduanya dari Chung Hua, klub yang juga didirikan oleh keturunan Cina di Jakarta.

Di Surabaya, berdiri klub sepak bola Tionghoa yang kemudian namanya menjadi Surya Naga. Pemainnya, antara lain, San Liong, Sian Liong (Januar Pribadi), dan Ing Hien. UMS dalam masa kejayaannya pada 1950-an memiliki Van der Vin, penjaga gawang terkenal yang pernah membuat Raymond Copa, pemain legendaris dari Prancis ketika kesebelasannya ke Indonesia dibuat frustasi karena sulit menembus gawang Van der Vin.

 
Di Surabaya, berdiri klub sepak bola Tionghoa yang kemudian namanya menjadi Surya Naga.
 
 

Petak Sinkian merupakan salah satu lapangan yang digunakan untuk kompetisi Persija sekitar 1950 dan 1960. Kala itu, stadion utama Glora Bung Karno belum dibangun dan baru digunakan pada Asian Games II tahun 1962. Lapangan sepak bola lainnya sebelum Senayan adalah Lapangan Vios yang kemudian menjadi lapangan Persija di Menteng yang sekarang menjadi Taman Menteng.

Yang menjadi pusat kegiatan olahraga adalah Lapangan Ikada, sebelum Monas dibangun di sana. Di lapangan inilah sampai sekitar 1960 tiap Sabtu dan Ahad bergulir kompetisi bond-bond Jakarta. Selain UMS, juga Hercules, BVC, VIOS, Maesa, Maluku, Bintang Timur, Setia, dan Chung Hua.

 
Waktu itu, Jakarta memiliki banyak lapangan sepak bola, termasuk di kampung-kampung.
 
 

Waktu itu, Jakarta memiliki banyak lapangan sepak bola, termasuk di kampung-kampung. Bisa dibilang, di tiap kampung terdapat kesebelasan sepak bola. Sementara, perkumpulan sepak bola di atas memiliki liga utama, liga kelas I dan II.

Kembali ke Stadion Sepak Bola Petak Sinkian, tempat ini memiliki nilai historis yang layak kita lindungi. Lapangan ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah persepakbolaan di Tanah Air. Setidaknya, banyak pemainnya ikut mengharumkan nama PSSI yang pernah menjadi kesebelasan yang tangguh di Asia pada 1960-an.

Disadur dari Harian Republika edisi 24 Juni 2013. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.

Erick Thohir: Kita Harus Jadi Bangsa Pemenang

Medali emas SEA Games 2023 jadi pijakan kuat bagi PSSI untuk terus memacu transformasi sepak bola Indonesia.

SELENGKAPNYA

Kedatangan Timnas U-22 Disambut Ribuan Suporter

Ribuan suporter telah memadati terminal tiga Bandara Soekarno-Hatta sejak pukul 18.00

SELENGKAPNYA

Menanti Penuntas Dahaga 32 Tahun

Indonesia bakal menjalani final kelima sejak terakhir meraih medali emas sepak bola SEA Games.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya