Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan nasional dari Tanah Jawa. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Pangeran Diponegoro, Santri Pejuang yang Berlatar Keraton

Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Jawa, sangat dekat dengan dunia santri sejak masa mudanya.

Pangeran Diponegoro adalah seorang pahlawan nasional dan legenda pejuang Muslim dari Tanah Jawa. Tokoh ini lahir di Yogyakarta sebagai putra sulung Sultan Hamengkubuwana III. Ibu kandungnya adalah seorang selir yang bernama Raden Ayu Mangkarawati. Dari sang ibunda, dirinya memperoleh garis silsilah seorang Wali Songo, yakni Sunan Ampel.

Sewaktu dilahirkan pada 11 November 1785 M, namanya ialah Bendara Raden Mas Mustahar, yang kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Adapun nama Islamnya adalah Abdul Hamid. Setelah bapaknya naik takhta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.

Meskipun berasal dari kalangan ningrat, kehidupan Islami yang sederhana lebih menarik hatinya. Sebagian besar masa mudanya dihabiskan di luar keraton. Semakin beranjak dewasa, ia pun kian menyadari betapa rusaknya tata perilaku istana ketika itu. Penyebabnya tidak lain adalah kehadiran elite Eropa kolonial serta memudarnya kesalehan Islami secara umum di sana.

Kediaman Ratu Ageng, yakni nenek buyutnya, menjadi pilihan Pangeran Diponegoro untuk bertempat tinggal. Perempuan ini merupakan janda Sultan Mangkubumi. Di tempat itulah sang pangeran menekuni karya-karya Islam serta pelbagai literatur Jawa Kuno pra-Islam.

Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam menjelaskan, Pangeran Diponegoro mulai menggemari pustaka sejak di Tegalreja. Kitab-kitab Jawa kuno semacam Mahabharata dan Ramayana telah dibacanya.

Pangeran Diponegoro juga menelusuri teks-teks islami, seperti Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari, seorang sufi Aceh dari abad ke-17. Kitab itu mempersoalkan tentang sistem kekuasaan yang ideal menurut Islam. Guru besar Universitas Paramadina itu menjelaskan, Tajus Salatin menjadi rujukan sang pangeran, bahkan selalu dibawanya selama perang melawan Belanda berlangsung.

Selain itu, dia juga mempelajari antara lain At-Tuhfah karangan Ibn Hajar, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, dan epos- epos kepahlawanan Islam. Di samping itu, tentunya dia mendaras kitab suci Alquran beserta tafsirnya.

Ratu Ageng meninggal dunia pada 1803. Jenazahnya dikebumikan di kompleks permakaman keraton, Imogiri. Betapa sedihnya Pangeran Diponegoro, yang saat itu berusia 18 tahun. Peter Carey--seorang ilmuwan yang mempelajari Diponegoro selama puluhan tahun--menjelaskan, dua tahun kemudian sang pangeran memutuskan untuk berkelana, keluar dari lingkungan istana. Dia hendak menjalani pengembaraan spiritual agar lepas dari kungkungan duniawi.

Pangeran Diponegoro mulai mengunjungi masjid-masjid dan pesantren-pesantren di kawasan Yogyakarta demi mendalami ilmu-ilmu agama. Atas saran Syekh al-Ansari, Pangeran Diponegoro memakai nama baru, yakni Syekh Ngabdurrahim.

Pangeran Diponegoro juga mencukur rambutnya agar tidak tampil mencolok di tengah para santri desa. Hal ini dipahami sebagai upaya sang pangeran agar dapat diterima dan akrab dengan mereka. Sebab, menurut norma keraton Jawa saat itu, pria ningrat dikenali dari rambutnya yang panjang.

Tidak hanya itu, dia juga menanggalkan pakaian kebangsawanannya. Pangeran Diponegoro lebih sering tampil dengan busana khas kaum santri abad ke-19, yakni baju putih, serban penutup kepala, dan sarung. Beberapa daerah pusat santri yang dikunjunginya terletak di selatan Keraton Yogya. Di antaranya adalah Gading, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Kasongan, dan Dongkelan.

Tahap selanjutnya, Diponegoro melakukan khalwat. Aktivitas ini bertujuan agar dirinya sepi dari pamrih duniawi. Babad Diponegoro menyebutkan, dalam masa ini, sang pangeran dikatakan berjumpa dengan penampakan Sunan Kalijaga di Gua Song Kamal, Jejeran, Yogya selatan.

Bayangan itu mengatakan kepadanya soal masa depan keraton. Babad tersebut juga menceritakan destinasi selanjutnya Pangeran Diponegoro, yakni Imogiri. Suatu ketika, sang pangeran hendak shalat Jumat di Masjid Jumatan. Di sinilah biasanya para juru kunci berkumpul dan beribadah. Begitu melihat Pangeran Diponegoro, yang berbusana layaknya santri sederhana, semua juru kunci memberikan penghormatan.

Menurut Peter Carey, hal ini menandakan betapa para alim ulama keraton mengakui kesalehan Pangeran Diponegoro. Belakangan, mereka juga mendukungnya ketika peperangan terjadi melawan Belanda.

Sesudah dari Parangkusumo, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk kembali ke keraton sekitar tahun 1805. Babad Diponegoro mengisahkan alasannya, yakni penampakan Sunan Kalijaga yang memberitahukannya soal awal keruntuhan Tanah Jawa (wiwit bubrah Tanah Jawa) pada beberapa tahun mendatang.

Sang pangeran juga diimbau untuk menggunakan gelar Syekh Ngabdulkamit Erucakra Sayidin Panatagama Kalifatul Rasulullah Senapati Ingalaga Sabilullah. Gelar tersebut terus disandangnya selama perang melawan Belanda berlangsung.

Sejarawan Ricklefs menduga, pemilihan nama ini lantaran Pangeran Diponegoro ingin menghubungkan dirinya dengan Sultan Abdul Hamid I, penguasa Utsmaniyah pada akhir abad ke-18. Dialah raja Turki pertama yang mengklaim sebagai pelindung politik umat Islam sedunia. Hal ini cukup beralasan bila memperhatikan, para penasihat Pangeran Diponegoro tidak sedikit yang telah berhaji.

Derap perjuangan

Menurut Peter Carey, ilmuwan yang puluhan tahun meneliti Perang Diponegoro, perjuangan sang pangeran menandakan batas zaman. Sebelum Perang Diponegoro (disebut pula Perang Jawa) pecah pada 1825 M, hubungan antara pihak kolonial Eropa, termasuk Belanda, dan para raja Jawa cenderung setara. Perang-perang yang sebelumnya terjadi merupakan (latar) suksesi para penguasa lokal, yang di dalamnya Belanda terlibat dengan menjalankan politik pecah belah (devide et impera). Caranya ialah bekerja sama dengan seorang ningrat tertentu untuk menduduki tampuk kekuasaan sembari memusuhi ningrat saingannya.

Kesultanan Mataram berdiri sejak 1578 dan mencapai puncak kejayaannya dalam era Sultan Agung (wafat 1645). Belanda (VOC) pertama kali datang ke Nusantara pada awal abad ke-17 dengan dalih berdagang, tapi kemudian merusak tatanan politik lokal. Di Jawa, Kesultanan Mataram tertungkus lumus oleh campur tangan Belanda. Puncaknya, Perjanjian Giyanti pada 1755 memecah Kesultanan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Sejak berakhirnya Perang Diponegoro pada 1830, masuklah Nusantara ke tatanan kolonialisme seutuhnya. Belanda menjadikan raja-raja Jawa hanyalah bagian dari birokrasi kolonial. Hal ini terutama sejak diberlakukannya sistem tanam paksa yang dipelopori gubernur jenderal van den Bosch.Sistem ini memperkaya Belanda sekaligus menyengsarakan rakyat nusantara. Barulah kemudian memasuki awal abad ke-20, Belanda kembali mengalami perlawanan besar melalui gagasan modernisme Islam dan nasionalisme di Nusantara.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ilustrasi Fisik Hari Kiamat

Ayat-ayat tersebut menggambarkan tentang dahsyatnya hari kiamat.

SELENGKAPNYA

Ramadhan Momentum Menghapus Tato

Menghapus tato dianggap mempermudah membuka lembaran baru kehidupan seseorang saat berhijrah.

SELENGKAPNYA

Kapan Islam Masuk ke Ranah Minang?

Setidaknya, ada tiga tahap masuknya Islam atau Islamisasi Minangkabau.

SELENGKAPNYA