Wajah Muslim Amerika yang Kian Cerah | Republika

Kabar Utama

Kisah Puasa Para Diaspora

Dia merasa lingkungannya tinggal cukup nyaman dan tidak ada diskriminasi dari warga setempat.

Oleh ZAHROTUL OKTAVIANI

Ramadhan merupakan bulan yang paling ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia. Pada bulan ini, umat Islam akan berkumpul bersama saudara, kerabat, dan teman, untuk merayakannya bersama.

Kehangatan Ramadhan menjadi salah satu yang akan selalu dinantikan oleh setiap Muslim. Tak terkecuali bagi mereka yang tinggal di luar negeri, entah untuk bekerja maupun mengenyam pendidikan. Berada di lingkungan yang berbeda dari rumah tidak lantas menyurutkan semangat mereka untuk merayakan Ramadhan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Izzati Zaza (@zazaputri)

Izzati A Putri, misalnya, Muslimah yang tinggal di Houston, Amerika Serikat. Tak jauh berbeda dari Indonesia, Izzati harus menjalani puasa sekitar 13 hingga 14 jam tahun ini. Ia menyebut sebelum memasuki bulan suci, beberapa masjid sekitar tempat tinggalnya mengadakan kajian yang bertemakan Ramadhan. "Di Houston saat ini musim semi, kadang panas, kadang hujan. Alhamdulillah, tidak menjadi kendala karena sudah lama tinggal di sini. Kecuali saat Ramadhan jatuh di musim panas, biasanya puasa bisa sampai 18 jam dan cuaca sangat panas," kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (26/3/2023).

Dari pengalamannya bertahun-tahun tinggal di negeri orang, ia menyebut yang paling berbeda saat Ramadhan adalah jam berpuasa dan waktu shalatnya. Puasa yang dilakukan pada Juli dan Agustus berbeda dengan puasa pada Maret seperti saat ini. Wanita yang akrab disapa Zaza ini menyebut tantangan lain yang ia hadapi adalah bagaimana membuat suasana Ramadhan di rumah untuk anak-anaknya. Fakta bahwa Islam di wilayah itu masih menjadi agama minoritas membuat suasana meriah seperti di Indonesia tidak bisa dirasakan.

Selama 14 tahun tinggal di Negeri Paman Sam, ia mengaku hanya pernah satu kali merasakan perlakuan tidak baik dari masyarakat setempat karena beragama Islam. Selebihnya, ia merasa dikelilingi orang-orang baik yang mendukungnya. "Saya pernah tinggal di kota kecil, yang mana Muslim sangat minoritas. Waktu tahun 2010, rasanya, saya sedang belanja di supermarket dan ada seorang nenek yang mendatangi saya, kemudian ia marah-marah soal Islam," ucap dia saat menceritakan pengalamannya.

 
Saya sedang belanja di supermarket dan ada seorang nenek yang mendatangi saya, kemudian ia marah-marah soal Islam.
IZZATI A PUTRI
 

Zaza menyebut apa yang disampaikan nenek itu sama sekali tidak benar. Beruntung, ada warga lokal lain yang datang membela dirinya. Tidak hanya itu, petugas kasir di supermarket itu pun turut meminta maaf atas kejadian yang ia alami. Untuk Ramadhan kali ini, ia merasa sangat bersemangat karena baru pindah kota beberapa bulan lalu. Di tempat barunya terdapat 200-an masjid/mushala. Rencananya, Zaza ingin mendatanginya satu per satu selama Ramadhan.

Cerita lain datang dari Reztya Ridwan yang akan menjalani puasa perdananya di Kota Groningen, Belanda. Komunitas Muslim setempat, yang dikenal dengan DeGromiest, memiliki pengajian rutin setiap Jumat malam. Menjelang Ramadhan, diselenggarakan kajian yang tujuannya untuk memperbanyak kesiapan ruhiyah. Tidak hanya itu, mereka juga membuat kegiatan untuk menyemarakkan bulan suci, seperti One Day One Juz, tadarus keliling, iftar jamai, serta Tarawih bersama.

"Saat ini, meskipun sudah masuk musim semi, cuaca masih tidak menentu. Suhunya di kisaran 6-14 derajat. Meski relatif lebih dingin dan durasi puasa lebih lama dari Indonesia, saya pribadi merasa tidak seberat saat menjalani puasa di Indonesia karena udara yang relatif dingin dan sejuk," ucap Reztya.

Sama dengan Zaza, ia juga merasakan semarak Ramadhan di kota tersebut tidak sama dengan di Indonesia. Selain tidak terdengar suara azan, nuansa ramai menjelang berbuka dengan banyaknya penjual takjil tidak terlihat di tempat ia tinggal. Selain itu, jarak masjid di Kota Groningen berjauhan. Hanya ada tiga masjid di kota berpopulasi sekitar 200 ribu jiwa itu. Jarak paling dekat sekitar 3 kilometer dan paling jauh 20 km. Adapun masjid-masjid ini didirikan oleh komunitas Muslim Turki, Maroko, dan Suriname.

 
Di sini juga tidak sulit mencari bahan makanan halal. Ada beberapa restoran dan toko bahan makanan yang menjual produk halal.
REZTYA RIDWAN
 

Meski baru pertama menjalani puasa di luar negeri, Reztya mengaku tidak merasa khawatir. Dia merasa lingkungannya tinggal cukup nyaman dan tidak ada diskriminasi dari warga setempat. "Di sini juga tidak sulit mencari bahan makanan halal. Ada beberapa restoran dan toko bahan makanan yang menjual produk halal," kata dia.

Sejauh ini, ia menyebut tidak pernah merasakan atau melihat secara langsung kasus Islamofobia. Orang-orang asli Belanda disebut sangat terbuka dan menerima Muslim.

Sang suami, yang sedang belajar di University of Groningen, menyebut departemennya bahkan menyediakan mushala khusus untuk shalat. Tujuannya agar mahasiswa Muslim bisa dengan bebas menjalankan shalat wajib lima waktu selama di lingkungan kampus. Adapun kehadiran ruang shalat ini bisa terwujud akibat perjuangan komunitas Muslim yang mendesak penyediaan fasilitas tersebut.

"Tidak sedikit orang Belanda itu merasa penasaran dengan orang Muslim. Tidak jarang juga mereka mengajak diskusi tentang Islam. Sepanjang kita sebagai umat Muslim bisa menjelaskan dengan baik, mereka sangat open minded dan bisa menerima," ucap Reztya.

Sebagai Muslim, ia mengajak untuk terbuka dan berbaur, serta tidak menunjukkan sikap yang defensif jika diajak berdiskusi mengenai Islam. Hal serupa dirasakan Abdullah Akhmadi, yang sempat menjalani puasa di tiga negara berbeda, yaitu Jerman, Myanmar, dan Cina. Ia menyebut belum pernah merasakan perilaku tidak mengenakkan dari warga setempat.

"Sejauh yang saya ketahui dan rasakan, saya tidak merasa Islamofobia. Hanya, mereka memang tidak mengetahui apa itu Islam dan sebenarnya itu tantangan buat dakwah Islam, untuk memberitahu kepada mereka," ujar dia.

Abdul, panggilan akrabnya, menyebut kebanyakan masyarakat di luar sana masih belum mengerti apa itu Islam. Ketika ia sedang shalat atau berpuasa, mereka tidak mengerti ibadah yang sedang dijalankan dan harus dijelaskan dengan perlahan. Ia tidak pernah merasa khawatir ketika menjalankan puasa di negara mayoritas non-Muslim, karena tidak mengganggu orang lain. Biasanya, mereka akan bingung melihat ia tidak makan ataupun minum sepanjang hari.

 
Mereka memang tidak mengetahui apa itu Islam dan sebenarnya itu tantangan buat dakwah Islam, untuk memberitahu kepada mereka.
ABDULLAH AKHMADI
 

"Beberapa orang mungkin tidak pernah bertemu dengan Muslim, jadi mereka tidak tahu. Bukan mereka membenci Muslim lantas memaksa saya makan atau minum. Cukup dijelaskan saja," lanjut Abdul.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Abdullah Akhmadi (@doel102)

Terakhir, pria yang bekerja di sektor minyak dan gas ini menyebut pengalaman menyenangkan dari menjalani Ramadhan di luar negeri adalah ketika shalat. Menjalankan ibadah wajib dengan masyarakat berbagai etnis dan warga negara membuat ia merasa persaudaraan sesama Muslim melebihi batasan suku, bangsa, dan bahasa.

Dengan segala keterbatasan yang ada, ia merasa lebih bersyukur Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim. Suasana untuk menjaga iman di Indonesia disebut lebih baik daripada di negara dengan mayoritas non-Muslim.

"Di sisi lain, itu juga berarti ajang dakwah buat umat Muslim, untuk mengenalkan Islam ke mereka (non-Muslim), karena surga itu tidak terbatas hanya untuk orang Indonesia dan negara lain yang mayoritas muslim," ucap dia.

Umrah Ramadhan Dibatasi Hanya Satu Kali

Kementerian Haji menekankan pentingnya mendapatkan izin dari aplikasi Nusuk.

SELENGKAPNYA

Bagi-Bagi Amplop Berlogo PDIP Saat Tarawih Berdalih Zakat

Amplop berisi uang itu merupakan zakat para kader PDIP se-Madura.

SELENGKAPNYA

Mengapa KPK Jarang Membongkar Kasus Besar?

Kejakgung menjadi lembaga penegak hukum yang paling dipercaya publik saat ini.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya