
Teraju
Katarsis dengan Lucuan
Membuat lucuan itu ternyata pekerjaan rumit.
Oleh MUHAMMAD SUBARKAH
Sebuah poster bergambar seorang lelaki memelolotkan mata mengejan untuk buang air pada sebuah bilik bambu terpampang persis di seberang pintu gerbang belakang kompleks DPR di Senayan.
Di sana terpambang imbauan gerakan menyumbang dana untuk pemenuhan jamban warga dari sebuah lembaga sosial. Tak ada maksud sinis, apalagi mengolok rencana Badan Anggaran DPR yang ingin memperbaiki toilet dengan dana miliaran itu. Pesan yang ditampilkan biasa saja.
Tapi, coba saja bila kemudian poster itu dipindah persis ke samping pintu gerbang masuk kompleks wakil rakyat tersebut. Maknanya akan lain. Wajah melolot sambil mengejan akan memancing tawa. Konotasi gambar yang tadinya hanya bermakna datar, kini berubah.
Pas benar dengan polemik perbaikan toilet DPR yang mengemuka saat ini. Apalagi, seandainya di bawah poster itu ditambahi teks: Memasyarakatkan jamban dan menjambankan masyarakat. Gambar ini dipastikan akan menjadi humor yang getir!
Bila pada tiga tulisan lainnya pada rubrik Teraju ini yang mengesankan humor itu hanya berada pada pertunjukan panggung, baik televisi, film, maupun panggung pertunjukan biasa, harus diakui pasti memang ada humor lain, yakni lucuan yang menggunakan sarana media cetak.
Ini bisa melalui media cetak, baik kontemporer seperti menggunakan teknologi informasi melalui internet maupun konvensional pada media cetak biasa (bentuknya berupa cerita humor atau kartun). Yang pasti, meski zaman sudah masuk era digital, humor kini pun tetap bisa merambah segenap penjuru kehidupan. Bahkan, dengan hadirnya internet, kini sajian humor bisa hadir setiap saat.
Meski zaman sudah masuk era digital, humor kini pun tetap bisa merambah segenap penjuru kehidupan.
Humor yang paling mutakhir melalui media Facebook, misalnya. Kini, ada sebuah ungkapan yang ramai diunggah sekaligus dikomentari untuk menertawakan kecenderungan zaman yang tak lagi ideologis atau sudah serba pragmatis. Anak muda diolok-olok hanya suka ngeceng di media internet dan tak peduli lagi dengan keadaan zaman. P
esan Bung Karno yang inspiratif, ‘bawakan aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengubah dunia’, dipelesetkan menjadi sebuah guyonan atau lucuan yang bisa membuat tergelak.
Pesan ‘si bung proklamator’ itu kini ‘disesuaikan’ dengan situasi zaman menjadi: ‘Bawakan aku tujuh pemuda, cukup tujuh pemuda saja, maka aku akan bikin boyband!’
Ada juga lucuan lain menjelang Ramadhan silam sempat beredar di dunia maya. Isinya menyindir sebagian golongan umat Islam yang masih saja meributkan jumlah rakaat shalat tarawih.
Dalam cerita itu, ditampilkan adanya dua orang yang sibuk mempertahankan argumen bahwa pilihan jumlah rakaatnya lah yang benar. Namun, ini kemudian menjadi cair ketika keduanya meminta pendapat orang ketiga untuk menengahinya.
Saat itu mereka pun terkesima mendengar jawaban ‘si penengah’ itu: “Semuanya benar. Terserah. Tapi, apa ini penting sebab aku dan banyak orang lainnya kan sudah nggak puasa lo...?!’’
Bawakan aku tujuh pemuda, cukup tujuh pemuda saja, maka aku akan bikin boyband!
***
Memang membuat lucuan itu bukan hal gampang. Wahyu Sardono (Dono Warkop DKI) hingga pemerhati humor mendiang Arwah Setiawan mengaku membuat lucuan itu setengah mati. Apalagi, layaknya pepatah, lain kepala lain hatinya, lain orang pun lain pula cara pandangnya atas sesutau hal yang dianggap lucu. Tak ubahnya jargon dalam memandang hal yang khilafiah, humor banyak sisi ikhtilafnya.
Namun, pada hal yang lain, seperti terkesan dalam dua kisah pendek di atas itu, humor memang menjadi sebuah arena katarsis atau ventilasi bagi segala kesumpekan hidup. Dan, sejatinya pun humor tak boleh dikotomi bahwa yang salah satu pihak adalah ‘humor elite’ dan di pihak lain adalah ‘humor rendahan’.
Chaerul Umam, sutradara salah satu film komedi terbaik Indonesia, film “Kejar Daku Kau Kutangkap”, mengatakan, untuk menyajikan sebuah lelucon atau humor yang kuat juga harus didukung oleh ide yang kuat. Dan, humor yang baik itu juga bukan berasal dari ide yang mengada-ada.
Humor memang menjadi sebuah arena katarsis atau ventilasi bagi segala kesumpekan hidup.
“Inilah hal yang sangat susah untuk didapatkan. Dahulu saya berhasil karena ada penulis skenario yang baik, yakni Pak Asrul Sani, serta adanya pemain yang betul-betul profesional. Nah, ketika saya hendak menyutradarainya, ini menjadi gampang karena ide lucuan yang ditulis Pak Asrul benar-benar riil. Ini berbeda dengan kecenderungan sekarang humor diartikan dan ditampilkan hanya sekadar yang menurut orang Pekalongan sebagai kethekan (monyet-monyetan). Ini kan sayang sekali,’’ kata Chaerul Umam yang akrab dipanggil Mamang itu.
Menurut Mamang, dalam skenario film “Kejar Daku Kau Kutangkap” jelas sekali sang penulis paham akan situasi sosial yang ada di seputarnya. Dan, berangkat dari pemahaman itulah, Asrul Sani pun bisa menertawakan dirinya dari kenyataan yang ada itu. Misalnya, celotehan kemarahan sang penghulu di depan sepasang suami istri yang ribut mau berpisah.
Si penghulu menghardiknya, “Mengapa kalian serba buru-buru sih. Dulu ketika mau kawin buru-buru, sekarang mau cerai juga buru! Nah, ini kan dalam sekali lucuannya,’’ ungkap Mamang.
Mamang mengakui, untuk membuat sebuah sajian humor—tak peduli itu teater, film, cerita, maupun kartun—memang tidak gampang. Bahkan, kini hanya segelintir orang yang bisa menuangkan ide humor dengan baik. Sesuai semangat zaman yang serba pragmatis, sajian humor juga sama, harus bisa ‘tembak langsung’ agar bisa tertawa saja.
Sesuai semangat zaman yang serba pragmatis, sajian humor juga sama, harus bisa ‘tembak langsung’ agar bisa tertawa saja.
“Sekarang kan jarang orang yang merenung. Nah, kalau dari sisi saya sebagai orang film, jauh lebih gampang membuat orang menangis daripada membikin orang tertawa. Apalagi sampai kemudian dituntut membuat humor yang baik, artinya yang bernas dan bisa dipahami banyak orang. Ini susahnya setengah mati,” ujarnya.
Sebagai orang yang telah mengarungi hidup di film semenjak zaman Kwartet Jaya dengan bintangnya Bing Slamet hingga film laris “Ketika Cinta Bertasbih”, Mamang mengakui sangatlah susah membuat sajian komedi yang bermutu bila dikejar waktu ala sistem industri layaknya hari ini. Yang penting lagi para pelaku seninya pun yang paham akan dunia komedi ini tidaklah terlalu banyak.
“Dahulu ada Pak Asrul, pelakonnya ada sosok seperti Bing Slamet yang luar biasa itu. Tapi, siapa sekarang penggantinya. Dia bisa menyanyi dengan bagus, bahkan melawak tunggal dengan cara sangat cerdas. Ini yang sulit dicari sekarang. Ya, mudah-mudahan segera bisa ketemu penggantinya,” katanya.
Ditegaskan Mamang, belajar dari pengalamannya untuk membuat sebuah sajian humor—khususnya dalam film—memang menjadi rumit karena merupakan kerja kolektif. Bila film itu ‘berhasil’, posisi sutradara seperti dirinya itu jelas bukan sebagai pihak yang bisa disebut paling banyak berjasa. Menurutnya, pihak yang harus mendapat penghargaan utama adalah penulis skenario atau pencetus ide.
Jauh lebih gampang membuat orang menangis daripada membikin orang tertawa.
“Bila film ‘Kejar Daku Kau Kutangkap’ mendapat banyak penghargaan, sebenarnya yang paling berhak mendapat penghargaan ya Pak Asrul Sani. Setelah itu, para pemainnya, baru kemudian saya selaku sutradara. Pak Asrul lah yang menjadi pokok jembatan kemudian pemainnya menerjemahkan idenya. Saya lebih banyak mengarahkan saja. Ini karena lucuan itu sebenarnya sudah terlihat dalam dan kuat semenjak naskah masih dalam bentuk skenario. Itulah yang banyak membantu keberhasilan humor yang ada pada film itu,’’ tegas Mamang.
***
Kemudian, bagaimana perkembangan dunia lucuan dalam bidang penerbitan media cetak sekarang ini? Kartunis dari Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokang) Ifoed mengatakan, meski keberadaan kartun di media massa dari segi kuantitas menyurut, kini bisa dilihat adanya perkembangan baru yang cukup menarik.
Dalam beberapa tahun terakhir, tiba-tiba kartun muncul di halaman satu, bahkan menjadi ilustrasi utama dari sebuah penerbitan, baik itu majalah maupun koran.
“Di Indonesia, adanya kartun menjadi sajian utama di halaman satu surat kabar itu memang fenomena terbaru dan saya lihat baru semarak muncul mulai 2011. Namun, di luar negeri hal ini sudah lama dilakukan. Tapi, ini pun cukup lumayan sebab memang halaman untuk sajian humor melalui kartun di media cetak kini semakin menyempit,” kata Ifoed.
Mengapa semakin sempit? Ifoed menjawab, latar belakangnya ini karena media massa cetak lebih memfokuskan ruang bagi iklan daripada ‘membuang’ halaman untuk kartun. “Kalau ruang halaman di koran dipakai iklan itu kan artinya duit. Tapi, kalau ruang itu dipakai untuk kartun, malah buang duit. Ini bila dilihat dari sisi pragmatisnya,” ujarnya.
Kalau ruang halaman di koran dipakai iklan itu kan artinya duit.
Menariknya lagi, lanjut Ifoed, seberapa banyak sebuah media memberikan ruang pada sajian kartun itu juga menjadi penanda seberapa sehat media tersebut. Ini mengapa? Jawabnya, karena untuk menampilkan kartun yang baik, selain harus memotong halaman yang seharusnya untuk iklan, juga harus membayar pembuatnya.
“Saya mendengar langsung dari sebuah redaktur koran, bila dihitung betul, potensi kehilangan penghasilan yang seharusnya didapat dari sebuah media dalam setahun itu bisa mencapai miliaran lho. Makanya, media cetak kini banyak yang menyurutkan pemberian ruang bagi penampilan kartun,” katanya.
Meski dalam kondisi yang masih terbatas ini, kata Ifoed, kartun sebagai bagian dari sajian humor tidak bisa dinafikkan keberadaannya. Tak berbeda dengan sajian lucuan dalam bentuk yang lain, kartun juga bisa menjadi sarana ventilasi bagi kesumpekan kehidupan sosial.
“Nah, kecenderungan sekarang memang terkesan bila kartun cuma ingin membuat tertawa saja. Ini juga karena mungkin keadaan masyarakatnya yang sudah kecapaian memikirkan kerumitan dan kerasnya tantangan kehidupan. Jadi, mereka ingin kartun yang bisa membuat langsung gerrr saja,’’ tuturnya.
Namun, tegas Ifoed, paling tidak bila sebuah kartun sudah bisa membuat tertawa pihak penikmatnya, itu sudah mempunyai nilai sebagai setengah keberhasilan. Sebab, pada sisi yang lain, sebuah kartun yang baik juga seharusnya dapat membawa pesan untuk memperbaiki keadaan dengan cara paling halus, yakni mengajak orang berpikir sembari tersenyum.
“Bila ada pihak yang mengatakan kartun yang baik itu harus selalu kritis, saya kira juga tidak salah. Sebab, fungsi kartun paling tidak ada dua, yakni menghibur dan mengkritik dengan senyuman. Nah, untuk mencari ide kartun yang menghibur sekaligus mengkritik itu juga susah. Ini saya kira juga sama persoalannya dengan humor yang disajikan dalam bentuk lain,” jelas Ifoed.
Kalau begitu, siapa bilang humor itu sekadar pekerjaan cengengesan!
Disadur dari Harian Republika Edisi 20 Januari 2012.
Sejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYAShalat Tahajud Berjamaah, Benarkah Makruh?
Riwayat lain dari Imam Ahmad memberi sinyal bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah boleh dilakukan.
SELENGKAPNYA