
Sastra
Bersua Jati Diri
Cerpen Novita Sari GUnawan
Oleh NOVITA SARI GUNAWAN
Di keremangan malam ditemani alunan jangkrik beradu merdu, derauan angin berembus seolah membawa lamunanku pada satu imaji yang tersemat lestari dalam inti sanubari. Tak terasa bulir hangat mengalir di kedua pipi. Bayang-bayang itu pun semakin merasuk kedalam relung hati.
Tut, Tut, Tut, bunyi dari sebuah monitor yang menyambungkan sejumlah kabel terhubung ke beberapa titik tubuh untuk mendeteksi kondisi organ-organ di dalamnya. Kabel-kabel itu terpasang di tubuhku, pandanganku menerawang ke seisi ruangan, dengan rasa tak percaya. Kuharap ini hanya bunga tidurku.
Biasanya perihal ini kulihat di layar televisi. Dalam sepenggal adegan di mana ada seseorang dipakaikan baju khas bewarna biru muda polos, terbaring lemah berselimut warna putih pucat senada dengan kain sprei yang membungkus tilamnya.
Terlihat pemandangan lalu lalang para perawat yang semburat wajahnya terlihat dingin. Tampak lebih tegang dibandingkan perawat lain yang pernah kutemui dulu menyapaku dengan seringai berseri sambil tangannya mendorong kereta bayi. Saat kujenguk kolega ibuku yang baru saja melahirkan.
Terlihat pemandangan lalu lalang para perawat yang semburat wajahnya terlihat dingin.
Perawat yang tegang itu sibuk memerhatikan layar monitor dan mencatat di lembaran yang ia pegang. Begitu ia lakukan berulang setiap lima belas menit berlalu. Di luar pintu, terdengar percakapan di antara dokter yang sedang menangani perawatanku, dengan salah satu kerabatku,
"Dia sedang menghadapi masa kritisnya, doakan agar dia bisa melaluinya," ucap dokter lirih. Menambah kegentingan yang dirasakan sanak keluargaku di keheningan malam dengan suasana yang mencekam.
Sedangkan di salah satu sudut ruangan kamar ini. Aku yang terbujur kaku sedang terombang-ambing dalam gejolak pikiranku sendiri. Seluruh tubuh ini lemah untuk digerakkan, hanya berkedip yang mampu kulakukan.
Bukan rasa sakit teramat sangat yang mendera. Bukan pula oksigen yang sangat sulit kuhirup masuk ke dalam dada. Namun ku mereguk guncangan naluri secara manusiawi yang butuh kepada Sang Maha saat diri ini lemah tak berdaya. Rasa itu mengalahkan derita hebat yang menghantam tubuhku.
Bola mataku bergerak tiada henti, ke kanan dan ke kiri. Tak jarang pula ke atas. "Di mana kau bersembunyi wahai malaikat maut?" ucapku dalam hati.
Mataku yang nanar memutuskan untuk menatap langit-langit kamar ini. Bak layar lebar yang memutar tayangan kisah hidupku kemarin yang tak mampu kubayangkan lebih dalam lagi. "Bagaimana kalau Engkau mengambilku saat ini, aku belum siap ya Tuhan." Mohonku parau di dalam hati. berulang-ulang dengan rasa cemas yang membahana.
Di mana kau bersembunyi wahai malaikat maut?
Dengan susah payah kugerakkan jemari tangan menggenggam lengan perawat yang hendak berlalu lagi setelah selesai mencatat apa yang ia lihat di layar monitor di sebelahku. Kuingin berbicara padanya, tetapi sulit sekali suara ini keluar dari mulutku. Kerongkongaku tercekat, seperti ada yang mencekikku perlahan.
Tampaknya perawat itu memahamiku, mungkin karena sudah terbiasa melalui hari-hari dengan suasana genting di ruangan ini. Sehingga dapat menerka dari guratan di wajah pasiennya. Perawat itu duduk di sebelahku kemudian berbisik, "Dik, kamu harus kuat bertahan melewati ini. Berjuang ya dik."
Sambil mengeluarkan sebuah Alquran kecil dari sakunya. Lalu dibacanya dengan perlahan di telingaku.
Suaranya yang merdu melantunkan ayat-ayat suci membuatku lebih tenang, mataku terpejam menikmati kesyahduan yang menjalar ke seluruh aliran darah di tubuhku. Tak pernah kurasakan atmosfer ini sebelumnya.
Bukan karena efek obat euforian yang disuntikkan melalui cairan infus setelah aku masuk ke ruangan perawatan khusus di rumah sakit ini. Melainkan sebuah rasa menyentuh ke dasar sukmaku, yang dihadirkan dari suasana perjumpaanku dengan-Nya. Bukan secara kasatmata, tetapi ku bisa merasakan Tuhan sangat dekat, hadir dalam setiap denyut nadiku.
"Tuhan, berikanlah aku kesempatan hidup untuk menebus semua kesalahanku. Akan kututup lembaran masa kelam dan akan kugantikan dengan sisa hidupku hanya untuk-Mu." Lirihku dalam hati. Walau sangat ingin kuteriakkan untuk menunjukkan betapa ku akan bersungguh-sungguh memegang erat janjiku.
Ah, betapa malunya. Saat sudah terkulai seperti ini baru terucap nama-Nya. Bercampur rasa takut terlampau dahsyat. Bagaimana jika semua sudah terlambat dan setelah menit atau bahkan detik ini ku tak mampu lagi menghela napas?
Bagaimana jika semua sudah terlambat dan setelah menit atau bahkan detik ini ku tak mampu lagi menghela napas?
***
Masih tampak nyata rasanya saat-saat yang menakutkanku itu. Sujud syukurku tak terhingga ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan untukku menghirup udara sejuknya embun di pagi hari.
Mereguk sinar matahari yang teriknya menyelusup hingga pori-pori. Menikmati dinginnya gelap malam dihiasi temaram cahaya rembulan. Ah, betapa mahalnya harga dari sebuah rasa ini.
Tik, tik, tik, suara detak jarum jam di kamarku. Nyaringnya menandakan betapa hening kamarku kini. Aku terpekur sendiri di kamar seluas empat kali empat meter yang berisi sebuah kasur busa, meja serta laptop di atasnya, rak buku, lemari, dispenser, dan barang-barang khas anak kos lainnya. Aku merasakan nuansa yang berbeda. Kali ini sunyi, tiada terdengar lagi canda tawa renyah dari sahabat-sahabatku.
Tak lagi amarahku terpancing karena puing-puing abu rokok yang betebaran di kasurku. Tak pula aku meringis kesakitan ketika tak sengaja kakiku menginjak make up kit yang berserakan di lantai kamarku. Kami membelinya masing-masing.
Karena kami punya selera brand produk yang berbeda. Sesuai kebutuhan jenis kulit kami yang berlainan, juga bergantung isi kantong kami yang tak sama. Mulai dari seharga uang makan selama sebulan, sampai yang hanya senilai merogoh uang receh di kantong celana. Namun, akhirnya jadi milik bersama karena kami selalu memakainya bergantian.
Kali ini sunyi, tiada terdengar lagi canda tawa renyah dari sahabat-sahabatku.
Teringat percakapanku dengan mereka, "Izinkan aku menyendiri untuk membuka episode hidupku yang baru," ucapku lirih. Mereka hanya menyeringai dan mengangguk bimbang. Ingin kugenggam tangan-tangan mereka, menariknya ikut berlari denganku. Namun, mereka masih saja bergeming enggan beranjak menyertaiku.
Kubuka lemari kaca di sudut kamar, kuturunkan satu per satu gaun-gaun kesayanganku yang berjejer rapi. Wangi semerbak parfum mahal menyeruak ke seantero kamarku. Kulipat perlahan dengan hati nestapa. Bulir air mata menetes tanpa kusadari. Di setiap gaun itu, ada cerita dibaliknya.
Gaun hijau toska berkerah rendah dengan pita merah di bagian perutnya, menjadi saksi bisu untuk pertama kalinya menginjakkan kakiku di salah satu klub malam di bilangan Ibu Kota. Lalu mataku terhenti pada sebuah gaun hitam yang berpunggung terbuka lebar, menerawang kembali imajiku dalam sepenggal adegan, saat aku menjadi ratu di 'dance floor', meliuk gemulai mengikuti hentakan alunan musik.
Ahh ... cukup sudah, aku tak sanggup lagi mengenangnya, kulipat semua dengan cepat.
Kumasukkan ke dalam kardus, entah mau diapakan. Yang jelas aku harus segera menyingkirkannya dari lemariku. Lalu kugantungkan dua buah gamis yang anggun, baru itu saja yang kumiliki. Kedua gamis itu menjadi penghuni pertama di lemariku kini, menjadi saksi lembaran hidupku yang baru bermula.
Xi Jinping, Terkuat Setelah Pimpinan Mao
Putin menyelamati Xi atas perpanjangan masa jabatannya.
SELENGKAPNYAHarumnya Serban Rasulullah di Masjid At-Thohir
Serban tersebut masih tercium wangi meski tanpa diberi parfum.
SELENGKAPNYASadisnya Remaja-Remaja Bersajam
Fenomena kekerasan bersenjata tajam sudah menkhawatirkan.
SELENGKAPNYA