
Kabar Utama
Para Guru Melihat Generasi dan Zaman
Guru harus dapat beradaptasi dengan perubahan zaman.
Oleh FEBRIANTO ADI SAPUTRO, RR LAENY SULISTYAWATI, DEA ALVI SORAYA
Kenakalan remaja menjadi frasa yang sejak lama telah kita dengar dan kenal. Perwujudannya bisa macam-macam. Tetapi belakangan, ‘generasi lampau’ melihat beragam kenakalan yang tak pernah terpikirkan.
Anak-anak usia sekolah di beberapa daerah yang menabrakkan diri ke truk demi sebuah konten adalah salah satu kejadian yang ‘aneh’ bagi mereka yang besar di era 90-an dan sebelumnya.
Terakhir yang menghebohkan yakni penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio terhadap anak di bawah umur, David (15 tahun). Dandy dibantu temannya dengan ‘nyaman’ menganiaya anak yang sudah tidak berdaya secara membabi buta sampai koma.
Penganiayaan itu direkam. Semua di antara mereka seolah tak ada rasa takut akan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Pertanyaan selanjutnya kemudian sampai pada motivasi mereka melakukan itu semua.
Kenakalan-kenakalan ‘baru’ ini diyakini berkelindan dengan zaman. Tetapi belum ada yang bisa memastikan apa sebab dan pemicu utama mereka melakukan hal-hal aneh di luar nalar. Toh, tidak semua anak-anak di Tanah Air demikian. Yang pasti, butuh penelitian untuk menemukan jawaban secara pasti. Tapi penyebabnya diyakini tidak pernah tunggal.
Beberapa guru senior dari berbagai daerah pun ikut bersuara terhadap fenomena ini. Mereka mencoba membandingkan berdasarkan pengalaman mengajar generasi sekarang dan sebelumnya.

Kepala SMA 3 Muhammadiyah, Fitri Sari Sukmawati, menyebut sejumlah perbedaan karakter generasi Z saat ini dengan karakter generasi sebelumnya.
Menurut Fitri generasi saat ini cenderung ingin instan. Menurutnya, tingkat kesabaran jauh lebih rendah dalam konteks mencapai keinginan. “Jadi inginnya instan,” kata dia kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Fitri mengatakan, anak-anak saat ini cenderung tidak ingin melewati sebuah proses atau prosedur dalam menginginkan sesuatu. Mereka ingin cepat dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Menurutnya, ambisi dan kepercayaan diri anak-anak sekarang memang sangat tinggi. Dalam konteks tertentu hal itu positif. Tetapi jika tidak tepat arah dan penempatannya, hal tersebut justru sangat membahayakan.
“Bekalnya kan banyak ya untuk seorang anak yang kita sebut digital native sekarang ini, mereka kepercayaan dirinya tinggi tetapi itu tadi inginnya instan,” kata perempuan yang telah mengajar lebih dari 17 tahun ini.
Sayangnya, Fitri menilai, kepercayaan diri anak remaja saat ini justru lebih sering mengarah ke sesuatu yang kurang positif. Kepercayaan diri tersebut justru dianggap tidak pas dari sisi sopan santun dan cara bersikap. Karena itu, seorang guru harus memiliki energi untuk menegur siswa apabila ada perilaku siswa yang kurang pas.

Kemudian, Fitri melihat remaja saat ini dinilai kurang memiliki kepekaan sosial. Mereka justru menyampaikan banyak alasan saat diminta untuk berempati. Selain itu, remaja saat ini juga dinilai susah menerima saat diberi nasihat.
“Kalau diberi nasihat itu seperti tidak terima, anak-anak sekarang seperti itu, jadi kita memang harus hati-hati sebagai guru saat memahamkan, karena mereka bisa dengan mudah membalikkan kata-kata dari seorang guru, itu bisa jadi,” tuturnya.
Menurutnya, seorang guru perlu lebih ngemong kepada mereka. Anak-anak saat ini, kata dia, tidak bisa diajar dengan cara yang sama seperti ia awal mengajar 17 tahun lalu. Apalagi, kurikulum saat ini seorang guru harus lebih berpihak kepada siswa.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan karakter remaja saat ini berbeda dengan remaja generasi sebelumnya. Fitri mengatakan, salah satu yang mempengaruhi yaitu kurangnya landasan dasar terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka cenderung memiliki keterkaitan dengan teknologi yang mereka punya.
“Mereka sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang di luar kompetensi spiritual, ini mulai berkurang,” kata Fitri.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan perubahan karakter remaja saat ini lantaran hilangnya kompetensi sebagai warga negara. Fitri kemudian membandingkan dengan remaja di bawah era tahun 2000-an.
“Kalau dulu kita waktu SD, SMP tahun 90-an sampai era 2000 awal, itu landasan sebagai warga negara di mata pelajaran PKn (Pancasila dan Kewarganegaraan), itu sangat ditekankan di pembelajaran sekolah. Ini sudah mulai bergeser,” ujarnya.
Mereka bisa dengan mudah membalikkan kata-kata dari seorang guru, itu bisa jadi.
Menurut Fitri, kondisi saat ini membuat remaja tidak memiliki daya juang. Selain itu, kompetensi untuk hidup mandiri juga dirasa telah berkurang di kalangan remaja saat ini. Mereka cenderung dengan mudah mendapatkan apa yang ada di sekitarnya.
Fitri menilai, saat ini guru tidak boleh lagi hanya mengajarkan kompetensi di bidang keilmuan, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana mendidik. Semua guru mata pelajaran apapun dinilai perlu melakukan hal tersebut.
Sejumlah langkah yang telah dilakukan SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta untuk mendorong siswa agar memiliki kompetensi spiritual, salah satunya adalah dengan mengharuskan siswa menyampaikan satu ayat setiap hari yang ada korelasinya dengan keilmuan.
Guru olahraga jasmani dan kesehatan di SMA 2 Kota Tangerang, Widiastuti (43 tahun) menilai, kelompok generasi Z memang memiliki karakter tersendiri. Widiastuti yang mengajar di SMA 2 Kota Tangerang, Banten, sejak 2008 lalu memperhatikan bahwa muridnya yang kini masuk dalam generasi Z adalah generasi coba-coba, tetapi mudah untuk berubah.
“Menurut saya generasi Z ini generasi coba-coba. Kalau tidak diapa-apain juga dilanjut terus melakukannya tetapi kalau ketahuan akan mengubahnya,” katanya.
Widiastuti menambahkan, generasi saat ini juga generasi suka menawar. Para murid terkesan justru mengatur agar keinginannya dipenuhi. Ketika dinasihati, mereka lebih cengeng dan tak jarang mengadu ke orang tuanya.
Ia mengaku pernah diancam satu muridnya karena orang tuanya punya jabatan. “Memang terlihat perbedaannya per tahun itu sampai sekarang itu jauh banget,” ujarnya.
Menurutnya, pendidikan nomor satu adalah di rumah. Pembentukan karakter paling utama ada di rumah karena waktu murid lebih banyak dihabiskan di rumah dibandingkan di sekolah.
Tak hanya itu, ia menilai para orang tua juga perlu dididik. Sebab, seringkali ayah dan ibu murid merasa tidak terima kalau sang anak dinasehati guru. “Guru sekarang bukan hanya diremehkan, ibaratnya sudah diinjak-injak. Memang guru sekarang harus lebih sabar,” katanya.
Widiastuti pernah diancam satu muridnya karena orang tuanya punya jabatan.
Berdasarkan data sensus penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), populasi generasi Z saat ini mendominasi populasi penduduk Indonesia, mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen. Disusul oleh generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen dari total populasi.
Dominannya populasi generasi Z ini tentu menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi para aktor bidang pendidikan. Tantangan ini juga semakin sulit dengan banyaknya persoalan sosial yang mengancam para generasi yang lahir pada 1997 hingga 2012 ini, mulai dari maraknya kasus pernikahan usia anak, bullying, tindak kekerasan, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, hingga isu-isu kesehatan seperti diabetes anak.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandung, Cucu Saputra mengatakan, tingginya risiko yang membayangi generasi Z perlu diantisipasi oleh para pendidik dengan mengenali dua kodrat anak, yaitu kodrat alam dan kodrat zaman.
Kodrat alam adalah pemahaman bahwa setiap anak memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda. Pengenalan kodrat alam ini, kata dia, sejatinya telah terwujud melalui konsep Merdeka Belajar yang telah diterapkan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.
“Maka sejatinya seorang guru harus menghargai keragaman itu dan menggali potensi sesuai dengan karakteristik dan kemampuan masing-masing anak,” ujar Cucu.
Pria yang telah 26 tahun menjadi pendidik di jenjang pendidikan menengah atas di Kota Bandung ini juga meminta agar para pendidik mampu memahami kodrat zaman anak. Di mana guru harus dapat beradaptasi dengan perubahan zaman, begitu juga dengan generasi yang ada di dalamnya.
Para guru juga harus terus mengawal perubahan ini agar tidak keluar dari nilai dan norma kemanusiaan yang ada. “Itu tugas guru untuk memastikannya agar tidak kebablasan,” ujar pria yang sempat menjabat sebagai sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bandung itu.
Itu tugas guru untuk memastikannya agar tidak kebablasan.
Cucu menegaskan, peran guru yang harus tetap menanamkan nilai-nilai baik leluhur agar dapat tetap terwariskan ke generasi-generasi muda, seperti nilai kejujuran, disiplin, empati, dan pendidikan karakter lainnya.
Selain itu, demi mengurangi risiko terjerumusnya anak-anak pada isu-isu sosial, pria yang telah 16 tahun menjabat sebagai kepala sekolah di berbagai SMA negeri di Kota Bandung ini juga mengingatkan pentingnya sinergitas tiga pusat pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
“Untuk menangkal segala risiko yang ada, tiga pusat pendidikan itu harus bersinergi, artinya jangan sampai pendidikan formal, dalam hal ini sekolah, mengambil alih semua tugas dari pusat pendidikan lain (keluarga dan masyarakat),” ujar Cucu.
Dam Haji Diupayakan Disalurkan ke Tanah Air
Harga dam selama ini ada yang mahal dan murah sekali
SELENGKAPNYABoikot Kurma Israel
Muslim diserukan agar memeriksa label terlebih dahulu sebelum membeli kurma.
SELENGKAPNYAInteraksi Islam dengan Peradaban ‘Tua’
Seiring dengan ekspansi Islam sejak zaman Empat Khalifah, budaya-budaya luar pun diterima Muslimin.
SELENGKAPNYA