
Analisis
Deindustrialisasi dan Hilirisasi
Dua tahun terakhir, hilirisasi mendapatkan perhatian besar dari pemerintah.
Oleh SUNARSIP
Sebagai contoh, saat ini Cina merupakan the world manufactur superpower terbesar. Ini mengingat, manufaktur Cina memiliki pangsa terbesar, yaitu 28,7 persen terhadap manufaktur global pada 2019.
Indonesia juga termasuk dalam daftar 10 negara dengan penguasaan pangsa manufaktur global terbesar. Namun, pangsanya sangat kecil, yaitu 1,6 persen terhadap total manufaktur global.
Negara yang memiliki tingkat industrialisasi yang tinggi diiringi pula dengan kenaikan kemakmuran.
Seiring dengan kemajuan industrialisasinya, Cina juga mengalami kemajuan yang pesat terhadap kenaikan pendapatan per kapita. Pada 2021, pendapatan per kapita Cina mencapai 12.556 dolar AS atau hampir tiga kalinya pendapatan per kapita Indonesia sebesar 4.333 dolar AS. Padahal, pada 1970, pendapatan per kapita Cina dan Indonesia tidak terlalu berbeda jauh.
Indonesia memulai industrialisasinya pada pertengahan 1980-an atau 15 tahun setelah pemerintahan Orde Baru memulai program pembangunanannya. Pemicunya adalah jatuhnya harga minyak pada awal 1980-an yang dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan penerimaan negara.
Hal ini mengingat, APBN saat itu sangat bergantung pada pendapatan dari minyak. Industri yang didorong adalah berbasis ekspor nonmigas. Melalui industrialisasi berbasis ekspor, pemerintah berharap akan memperoleh pendapatan yang dapat mengurangi ketergantungan pada pendapatan ekspor dari minyak.
Dapat dikatakan bahwa industrialisasi yang dikembangkan berorientasi jangka pendek, yaitu memperoleh pendapatan secara cepat. Tidak mengherankan bila jenis industri yang dipilih adalah yang dapat segera menghasilkan.
Melalui industrialisasi berbasis ekspor, pemerintah berharap akan memperoleh pendapatan yang dapat mengurangi ketergantungan pada pendapatan ekspor dari minyak.
Untuk mendorong percepatan industrialisasi, pemerintah memberikan banyak fasilitas perpajakan. Pemerintah memberikan pembebasan seluruh perpajakan yang terkait impor (bea masuk dan pajak impor lainnya), sepanjang impor (bahan baku dan barang modal) sepenuhnya digunakan untuk menghasilkan produk yang diekspor.
Untuk memudahkan proses pemberian fasilitas perpajakan, pemerintah membentuk Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (Bapeksta), kebetulan tempat kerja pertama penulis dulu. Tujuan pembentukan Bapeksta adalah menjadi badan layanan satu pintu (one-stop service) untuk memudahkan eksportir melakukan pengurusan fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk dan pajak-pajak impor lainnya.
Berbagai fasilitas perpajakan tersebut menjadi daya tarik kuat bagi pelaku industri, terutama yang beroperasi di luar negeri. Di sisi lain, Indonesia juga memiliki keunggulan lain berupa biaya upah yang relatif lebih murah.
Terlebih, kondisi moneter Indonesia juga relatif stabil karena menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Volatilitas nilai tukar tidak berdampak bagi kegiatan impor. Jadi, lengkaplah insentif yang dapat dinikmati industri saat itu, mulai dari perpajakan, upah murah, hingga dukungan moneter.
Maka, terjadilah gelombang relokasi atau perluasan industri ke Indonesia mulai dari tekstil, perakitan elektronik, perakitan otomotif, dan sejenisnya. Pangsa industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat.
Pada 1985, pangsa industri manufaktur masih sekitar 15 persen terhadap PDB. Dalam kurun 12 tahun, pangsa industri manufaktur meningkat mendekati 30 persen.
Sayangnya, industri yang dibangun tidak memiliki akar yang kuat terhadap sumber daya domestik, atau footloose industry. Industri manufaktur sangat bergantung pada impor (bahan baku dan barang modal) sehingga relatif rentan terhadap gejolak eksternal, khususnya terkait dengan nilai tukar rupiah.
Petaka bagi industri manufaktur terjadi ketika krisis moneter terjadi pada 1997/1998. Nilai tukar rupiah anjlok dan sistem nilai tukar beralih ke mengambang bebas (floating exchange rate).
Pemerintah, karena kondisi fiskal yang berat, tidak lagi memberikan berbagai fasilitas perpajakan. Akibatnya, banyak industri bangkrut karena tidak mampu menanggung tingginya biaya produksi.
Selanjutnya, pangsa industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun. Pada 2022, pangsa industri manufaktur sebesar 18,34 persen, mendekati level ketika awal dimulainya industrialisasi (lihat grafik).
Kini, banyak pihak menyebutkan Indonesia mengalami deindustrialisasi, yaitu suatu kondisi penurunan kinerja industri manufaktur yang tercermin dari rendahnya pertumbuhan dan penurunan pangsanya terhadap PDB.
Pertanyaannya: mengapa pangsa industri manufaktur terus menurun? Apakah selama ini, terutama pascakrisis 1997/1998, struktur industri Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan?
Data impor Indonesia menunjukkan bahwa pangsa impor bahan baku (minyak dan nonminyak) masih sangat tinggi. Pada 2022, pangsa impor bahan baku sebesar 76,34 persen terhadap total impor, praktis tidak berubah sejak krisis 1997/1998.
Kondisi ini mencerminkan bahwa footlose industry masih mendominasi struktur industri nasional.
Kondisi ini mencerminkan bahwa footlose industry masih mendominasi struktur industri nasional. Tidak mengherankan bila daya dorong pertumbuhannya terbatas dan pangsanya terus menurun. Hari ini, kita juga sering mendengar berita lay off tenaga kerja di sejumlah industri, yang biasanya terjadi di industri footlose tersebut.
Pemerintah telah menyadari bahwa industri manufaktur ini berada dalam titik yang harus dibenahi. Struktur industri sudah tidak kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi, sekaligus meningkatkan nilai tambah (value added).
Maka, muncullah pendekatan hilirisasi (downstreaming) yang dicanangkan sekitar 12 tahun lalu. Yaitu, suatu pendekatan pembangunan industri yang berbasis pengolahan terhadap sumber daya alam domestik (domestic natural resources) sehingga memberikan nilai tambah lebih besar sekaligus mengurangi pangsa industri berbasis impor.
Dalam dua tahun terakhir, hilirisasi mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Pemerintah pun sering memperlihatkan hasil dari hilirisasi yang telah dicapai dengan nilai tambah yang diperoleh.
Salah satunya adalah terlihat dari nilai angka ekspor. Sebagai contoh, berdasarkan publikasi Kemenkeu disebutkan bahwa dalam dua kali periode booming komoditas, yaitu pada 2011 dan 2022, pemerintah memperlihatkan perbedaan hasil ekspor yang diperoleh.
Pada periode Januari-November 2011, ekspor mencapai 186,4 miliar dolar AS. Angka tersebut meningkat menjadi 268,2 miliar dolar AS pada periode yang sama 2022 atau meningkat 43,9 persen.
Hilirisasi memang menjadi keharusan. Indonesia adalah negara yang diberkahi dengan kekayaan berupa sumber daya alam yang melimpah.
Hilirisasi memang menjadi keharusan. Indonesia adalah negara yang diberkahi dengan kekayaan berupa sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari energi, pertambangan, pertanian, dan kelautan.
Sayangnya, nilai tambah yang diperoleh masih rendah. Indonesia lebih banyak mengekspornya secara mentah dibanding mengolahnya terlebih dahulu. Kalaupun diolah, kedalaman pengolahannya masih rendah seperti yang terjadi pada sawit yang diolah menjadi minyak sawit (crude palm oil/CPO) agar dapat diekspor.
Sementara itu, negara yang menjadi tujuan ekspor CPO memperoleh nilai tambah lebih besar karena mereka mengembangkannya menjadi beragam produk akhir, seperti consumer goods.
Agar tidak mengulangi kesalahan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia, tentunya hilirisasi yang dikembangkan juga perlu memperhatikan konsep maksimalisasi nilai tambah.
Pertama, lebih mengutamakan pengembangan hilirisasi terhadap sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable natural resources), seperti agroindustri maupun industri berbasis kelautan.
Kedua, maksimalisasi nilai tambah tidak hanya meningkatkan nilai dari komoditas tetapi juga meningkatkan nilai tambah yang akan diperoleh pemerintah (berupa pajak) dan pelaku industri (pengusaha dan tenaga kerja). Karenanya, seyogisanya pelakunya merupakan pemain-pemain lokal BUMN maupun swasta.
Ketiga, kedalaman hilirisasinya tidak sekadar mengolah barang mentah menjadi bahan baku industri, tapi perlu didorong hingga ke end-product. Dengan pendekatan ini maka nilai tambah yang diperoleh Indonesia akan terjadi dari hulu hingga ujung hilirnya.
Masa Kekhalifahan Utsman
Dinamika terjadi pada era ketika umat dipimpin Sang Dzun Nurain.
SELENGKAPNYAGuna Ulang dan Diet Plastik untuk Upaya Kelestarian
Gaya hidup guna ulang adalah gaya hidup yang menjalankan prinsip pakai-habiskan-kembalikan.
SELENGKAPNYAIndonesia Kejar Target Pembangunan Smelter
Presiden berulang kali menekankan pentingnya hilirisasi sumber daya alam.
SELENGKAPNYA