Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Saat Trikora Gagalkan 'Negara Papua'

Irian Barat selama belasan tahun jadi masalah internasional.

OLEH ALWI SHAHAB

Masalah Irian Barat, kini diganti dari Irian Jaya jadi Papua oleh Presiden Abdurrahman Wahid, semenjak persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi duri dalam daging bagi Indonesia. Karena wilayah RI belum lengkap minus Irian Barat. 

Sejak saat itu, perjuangan pembebasan provinsi paling timur Indonesia ini selalu jadi program kerja kabinet. Seperti Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951), kabinet pertama dalam NKRI jatuh karena berbagai masalah kompleks. Salah satunya yang bukan kecil adalah desakan agar Irian Barat diserahkan pihak Belanda pada Indonesia. 

Boleh dikata Irian Barat selama belasan tahun jadi masalah internasional yang penuh dengan bahaya, sampai diselesaikan melalui forum PBB, dengan kemenangan gemilang bangsa Indonesia.

 
Perjuangan pembebasan provinsi paling timur Indonesia ini selalu jadi program kerja kabinet.
 
 

Tapi, sebaiknya kita kembali dulu pada saat-saat perjuangan mendebarkan dan juga menegangkan untuk membebaskannya. Sekalipun masuk program kabinet, tapi Presiden Sukarno tampaknya tidak senang terhadap sistem pemerintahan liberal kala itu.

Akibat parpol lebih mementingkan golongan dan saling jatuh menjatuhkan, pembebasan Irian Barat dirasa jadi kurang optimal. Baru pada Kabinet Juanda yang dibentuk Bung Karno sendiri pada 1957, perjuangan pembebasan Irian Barat semakin meningkat.

Pada 18 November 1957, rapat raksasa Pembebasan Irian Barat di Jakarta memutuskan para buruh yang bekerja di perusahaan Belanda siap melakukan mogok total. KLM, perusahaan penerbangan Belanda tanpa ampun dilarang terbang dan mendarat di wilayah RI. Sementara KSAD Jenderal Nasution selaku penguasa perang darurat melakukan tindakan yang berani mengambil alih seluruh perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia.

Sejak saat itu, perundingan digantikan dengan konfrontasi. Dan Bung Karno dengan lantang mengatakan, "Jika konfrontasi tidak berhasil, maka TNI harus dapat merebut Irian Barat."

Boleh dikatakan militer kedua belah pihak sudah saling berhadapan. Keadaan lebih diperparah ketika kapal induk Belanda "Karel Doorman" menuju Irian Barat. Seolah-olah Belanda pamer kekuatan militer terhadap Indonesia.

 
Jika konfrontasi tidak berhasil, maka TNI harus dapat merebut Irian Barat.
PRESIDEN SUKARNO
 

Tapi, kita boleh memuji diplomasi RI 40 tahun lalu. Karena, hanya Amerika Serikat dan Australia yang memberikan fasilitas pada kapal ini.

Negara-negara lain menolak untuk disinggahinya. Bahkan Jepang, salah satu sekutu Barat turut pula menolak. Pakistan, yang waktu itu tergabung dalam pakta pertahanan Seato, Panglima AB-nya serta merta menyatakan solidaritas pada perjuangan rakyat Indonesia.

"Negara kami tidak bakalan memberi izin bagi kapal-kapal Belanda." Pernyataan ini dikemukakan oleh KSAD Jenderal Nasution tentang kemungkinan terjadinya perang terbuka Indonesia-Belanda.

Dalam tahun 1961 yang mencemaskan, Dubes RI di Moskow Adam Malik dipanggil pulang oleh Bung Karno. "Dam, saya mau berikan opdracht (perintah) supaya kamu bertemu dengan wakil Belanda. Saya ingin tahu, apa Belanda benar-benar mempunyai keinginan untuk menyelesaikan untuk selesaikan masalah Irian Barat."

Pertemuan itu berlangsung di London. Kemudian dilanjutkan di Bonn, Jerman.

Awal Desember 1961, saat perundingan tengah berlangsung dan Indonesia memberikan uluran tangan, sekonyong-konyong Menlu Belanda Joseph Luns menyampaikan resolusi di Dewan Keamanan PBB yang bertujuan memisahkan Irian Barat dari Indonesia.

Caranya dengan mendirikan apa yang dinamakan "Negara Papua". Bung Karno yang sangat gusar menuduh "Negara Papua" sebagai boneka Belanda. 

 
Dalam tahun 1961 yang mencemaskan, Dubes RI di Moskow Adam Malik dipanggil pulang oleh Bung Karno.
 
 

Bahkan, menurut Bung Karno benderanya sudah mulai dikibarkan, dan lagu kebangsaannya sudah mulai diciptakan dan diperdengarkan. "Calon presidennya, calon PM-nya, calon panglima besarnya sudah mulai dibisik-bisikkan."

Bung Karno saat itu juga mengirimkan Menlu Subandrio ke PBB, dengan satu instruksi: “Gagalkan usaha Belanda untuk mendirikan Negara Papua."

Kemudian ia memperhebat politik konfrontasi dan bersumpah: "Sebelum ayam jantan berkokok pada 1 Januari 1963, Irian Barat sudah harus dibebaskan dari Belanda."

Tidak main-main dengan ancamannya, pada 19 Desember 1961 lahirlah Trikora (Tri Komando Rakyat). Dicetuskan di kota perjuangan Yogyakarta dalam suatu rapat raksasa dihadiri ratusan ribu rakyat. Bertepatan 13 tahun penyerbuan Yogyakarta secara khianat oleh Belanda. Trikora terdiri dari :

  1. Gagalkan pembentukan 'Negara Papua'.
  2. Kibarkan merah putih di Irian Jaya.
  3. Siap sedia untuk komando mobilisasi umum.

Bung Karno juga memerintahkan ABRI untuk siap menerima perintah menggempur Belanda di Irian Barat. Sambutan rakyat terhadap Trikora hebat sekali.

Dalam waktu cepat berjuta-juta sukarelawan dan sukarelawati mendaftarkan diri. Termasuk para pengusaha, tenaga medis, artis dan juga wartawan.

 
Bung Karno juga memerintahkan ABRI untuk siap menerima perintah menggempur Belanda di Irian Barat.
 
 

Sumpah Bung Karno jadi kenyataan. Karena sesuai dengan keputusan PBB, pada 1 Oktober 1962 Pasukan Transisi PBB (UNTEA) tiba di Hollandia (kini Jayapura) untuk mengoper kekuasaan dari tangan Belanda.

Sedangkan pada 1 Januari 1963 atau 31 Desember 1962 Sang Saka Merah Putih sudah berkibar di Irian Barat bersamaan dengan bendera PBB. Pada 1 Mei 1963 Irian Barat seluruhnya sudah berada di tangan RI.

Seharusnya masalah Irian Barat kini sudah 'tutup buku'. Apalagi di sana sudah dilaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969, sesuai keputusan PBB. Tapi rupanya Presidium Dewan Papua, yang semula ingin 'memproklamirkan' Negara Papua pada 1 Desember 2000, merujuk pada 'proklamasi' yang dicetuskan Belanda, sebelum masalah Irian Barat diambil alih PBB.

Tapi, seperti dinyatakan ABRI dan pemerintah, masalah NKRI sudah final. Tidak boleh ada yang coba-coba untuk memisahkan diri.

Disadur dari Harian Republika edisi 3 Desember 2000. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman yang wafat pada 2020.

Panduan Tepat Memilih Jurusan pada Era Digital

World Economic Forum memprediksi empat profesi yang akan populer pada masa depan.

SELENGKAPNYA

Cina Ancam Balas AS Soal Balon

Cina menuding balon AS terbang di Xinjiang.

SELENGKAPNYA

Hati-Hati Gaya Hidup Sedentari

Gaya hidup sedentari terbentuk karena mereka menghabiskan banyak waktu dengan duduk di meja kantor.

SELENGKAPNYA