Opini
Mungkinkah Berharap pada Media Massa?
Komodifikasi membuka pintu 'permainan' media massa dengan panggung politik.
TAUFAN HARIYADI; Jurnalis Televisi, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Prof Hamka, Jakarta
Publik harap-harap cemas media massa bisa jadi peneduh suhu politik lima tahunan. Godaan main mata awak redaksi ke tengah arena politik terbuka lebar.
Mampukah media massa diandalkan mengambil jalan tengah sebagai pengawas pesta demokrasi?
Banyak kalangan pesimistis, tetapi penggiat pers menjamin akan tetap menegakkan pilar keempat demokrasi. Belum saja mulai babak demi babak pesta demokrasi, Dewan Pers sudah kedatangan tamu PDI Perjuangan (PDIP).
Salah satu partai penyokong eksekutif itu melaporkan beberapa media massa ke Dewan Pers terkait pemberitaan acara HUT Ke-50 PDIP di Jakarta, 10 Januari 2023. Tak ada yang salah dari cara PDIP ini, toh Dewan Pers punya mekanisme menyelesaikan sengketa pemberitaan.
Hantu komodifikasi
Sebenarnya, tantangan terbesar media massa pada hajatan politik lima tahunan bukan pada retorika menjaga pilar keempat. Tantangan itu justru di ruang redaksi. Ada “hantu-hantu” bergentayangan melakukan penetrasi ke meja redaksi demi keuntungan kelompok atau pihaknya melalui pemberitaan.
Vincent Mosco, dalam The Political Economy of Communication (2009) menyebut “hantu” itu sebagai komodifikasi, yaitu proses mengubah nilai guna barang dan jasa, termasuk media massa menjadi nilai tukar di pasar yang berujung profit alias komoditas.
Contoh sederhananya, ketika kita haus maka minum solusinya. Air memiliki nilai guna untuk menghilangkan dahaga. Namun, ketika air dikemas sedemikian rupa menjadi komoditas, berubah menjadi produk yang laku bahkan dibutuhkan di pasar. Barang yang memiliki nilai tukar.
Media massa memiliki kegunaan paripurna bagi pembentuk peradaban masyarakat dan pengawasan pemerintah.
Analogi itu juga terjadi pada media massa. Media massa memiliki kegunaan paripurna bagi pembentuk peradaban masyarakat dan pengawasan pemerintah. Namun, nilai guna itu dikemas sedemikian rupa jadi komoditas, berujung keuntungan bisnis media massa di pasar.
Setidaknya ada tiga hal dalam komodifikasi media massa. Pertama, komodifikasi isi, yaitu bagaimana produk pesan atau konten media massa tidak memusatkan pada kepentingan khalayak, tetapi media itu sendiri.
Misalnya, konten sinetron yang kurang mendidik yang penting laku dan bernilai rating atau konten iklan politik yang terus-menerus.
Produk jurnalistik yang rentan terhadap komodifikasi isi adalah agenda setting. Pencetus teori ini, Mccomb dan Shaw (1972) menyebut, agenda setting adalah kemampuan redaksi memilih isu yang dianggapnya penting untuk didorong menjadi isu bagi publik.
Persoalannya, isu penting itu mudah disusupi kepentingan ekonomi politik media ataupun penggiatnya. Sekalipun dibungkus cover both side dan verifikasi.
Kedua, komodifikasi buruh/karyawan, yaitu bagaimana media massa memanfaatkan kemampuan jurnalisnya untuk kepentingan komoditas.
Awak redaksi yang bekerja dengan standar etika bisa diminta kapan saja memproduksi pesan atau produk berita, seperti pemilik media massa atau kelompok tertentu inginkan. Jurnalis bisa diminta kapan saja mengemas siapa yang harus dikritik dan harus dielu-elukan.
Ketiga, komodifikasi audiens, yaitu media massa menggunakan layar atau edisinya untuk membentuk audiens. Misalnya, produsen yang ingin membentuk konsumen baru atau menguatkan persepsi audiens tentang produknya lewat iklan di media massa.
Hal serupa sangat bisa dilakukan kelompok atau aktor politik demi menguatkan citra, sekaligus menambah pendukungnya. Praktik komodifikasi tidak sepenuhnya salah.
UUD Pers No 40 Tahun 1999, Pasal 3 menyebutkan, selain sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, pers juga sebagai lembaga ekonomi. Media massa dan politik seperti dua sisi mata uang, meski penggiatnya malu-malu mengakui.
Ilusi pilar keempat demokrasi
Berkaca pada Pemilu 2014 dan 2019, publik melihat di media 'ini' kandidat A diberitakan dengan kritis, sementara kandidat B dipoles dengan manis. Pada media ‘itu’ justru sebaliknya. Komodifikasi membuka pintu 'permainan' media massa dengan panggung politik.
Dalam perspektif komodifikasi, wajah media massa justru menjadi mesin bisnis ketimbang pilar demokrasi.
Kekuatan gatekeeping dan cover both side rasanya tak cukup membendung “godaan politik”. Toh penetrasi komodifikasi juga bisa menyusup ke dalam aspek itu. Etika dan moral penggiat perslah harapannya meski miskin popularitas.
Apalagi saat ini, konsep gatekeeping dinilai usang. Jurnalis menjaga pintu di ruangan yang tak lagi berdinding, menurut Bill Kovach, jurnalis senior AS.
Pemilu 2024 jadi pertaruhan wajah media massa, mampukah menjaga pilar keempat demokrasi?
Pemilu 2024 jadi pertaruhan wajah media massa, mampukah menjaga pilar keempat demokrasi? Hantu komodifikasi akan mengambil setiap kesempatan di ruang redaksi. Harus diantisipasi meskipun tak mudah melawan oligarki media massa.
Jika tidak, pilar keempat demokrasi hanya ilusi. Seperti kata Robert McChesney, pakar komunikasi Universitas Illinois, AS, dalam Rich Media, Poor Democracy (2000), “Semakin makmur dan berkuasanya korporasi media, semakin miskin masa depan partisipasi dalam demokrasi”.
Mengembalikan Spirit Juang Lafran Pane
Manaqib Lafran laik dibacakan lagi pada mereka yang melenceng perjuangannya.
SELENGKAPNYANegara-Bangsa dalam Sejarah Islam
Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.
SELENGKAPNYAJejak ‘Darah Ayam’ dari Canting
Keindahan batik Lasem konon bisa menyembuhkan hati yang gelisah.
SELENGKAPNYA