Petugas mengangkat logistik Pemilu ke pelosok-pelosok kampung di Distrik Wesaput, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, beberapa waktu lalu. | ANTARA FOTO

Nasional

Jokowi dan PDIP Berbeda Sikap di MK

Perubahan sistem pemilu berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik.

JAKARTA – Sikap Presiden Joko Widodo bertolak belakang dengan PDIP yang menginginkan pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup. Jokowi menilai, perubahan sistem pemilu pada saat tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan, berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik. 

Hal itu disampaikan dalam sidang gugatan uji materi sistem pemilihan legislatif (Pileg) sistem proporsional terbuka di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/1). Presiden Jokowi menyampaikan keterangan resmi tersebut lewat kuasa hukumnya, Menkumham Yasonna Laoly dan Mendagri Tito Karnavian. Keterangan itu dibacakan oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar.

Dalam bagian petitumnya, Presiden meminta MK memutuskan Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka, tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih punya kekuatan hukum mengikat. Artinya, Presiden meminta MK menolak permohonan penggugat agar sistem pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Dalam keterangannya, Presiden mengatakan, proses penyelenggaraan Pemilu 2024 saat ini sedang berjalan. Jika MK memutuskan untuk mengubah sistem pileg di tengah tahapan seperti saat ini, dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak.

photo
Petinggi delapan partai politik berkumpul menyatakan menolak sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. - (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

“Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan, berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai politik maupun di tingkat masyarakat,” kata Bahtiar, Kamis (26/1).

Presiden juga menyampaikan sejumlah alasan lain mengapa gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini perlu ditolak. Pertama, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka turut mengacu kepada putusan MK tahun 2008.

Kedua, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka merupakan hasil musyawarah lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. Pilihan itu dibuat dengan mempertimbangkan kondisi objektif bahwa transisi demokrasi Indonesia memerlukan penguatan subsistem politik dalam berbagai aspek.

Ketiga, presiden membantah anggapan penggugat bahwa sistem proporsional terbuka mengecilkan kewenangan partai politik, dalam menentukan caleg maupun nomor urutnya. Anggapan tersebut tidak tepat karena partai politik tetap berwenang menentukan caleg di semua daerah pemilihan.

Keempat, Presiden beranggapan bahwa Pasal 168 UU Pemilu masih relevan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kelima, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka adalah kebijakan terbuka atau open legal policy lembaga pembentuk undang-undang.

Kendati begitu, Presiden mengakui, diperlukan perbaikan sistem pemilu ke depannya. Harus dicari sistem alternatif yang bisa menutupi kelemahan sistem proporsional terbuka ataupun tertutup.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019. Pakar menilai, kelemahan sistem ini adalah maraknya praktik politik uang.

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Kelemahan sistem ini menurut pakar adalah memperkuat kuasa elite partai.

 
Presiden membantah anggapan penggugat bahwa sistem proporsional terbuka mengecilkan kewenangan parpol dalam menentukan caleg maupun nomor urut.
 

Dalam sidang di MK tersebut, DPR turut memberikan keterangan. Namun, keterangan DPR terbagi atas dua kubu. Kubu pertama yang terdiri atas delapan fraksi meminta MK menolak gugatan pemohon.

Kubu satunya lagi, yakni Fraksi PDIP, justru meminta MK mengabulkan gugatan pemohon. Artinya, PDIP merupakan satu-satunya partai parlemen yang menginginkan penggunaan kembali sistem proporsional tertutup.

Gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan. Satu di antaranya merupakan kader PDIP. MK sendiri mengaku masih butuh keterangan tambahan dari Presiden, DPR, dan pihak terkait KPU. Sidang atas perkara ini akan dilanjutkan pada 9 Februari 2023 mendatang.

PDIP mendukung penerapan kembali sistem proporsional tertutup karena sistem proporsional terbuka punya banyak dampak negatif. PDIP mengatakan, sistem proporsional terbuka mengakibatkan kemunduran demokrasi karena memunculkan praktik politik uang, liberalisasi demokrasi, demokrasi transaksional, dan pengondisian demokrasi. Semua itu terjadi karena dalam sistem proporsional terbuka kompetisi bersifat personal antarcaleg, bukan antarpartai.

photo
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari mencium tangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf saat melakukan pertemuan di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1).Pertemuan antara KPU dan PBNU tersebut dalam rangka persiapan penyelenggaraan Pemilu 2024. - (Republika/Prayogi.)

“Keadaan demikian akan menjadi ladang subur bagi praktik oligarki politik, karena sistem pemilu yang begitu rumit serta berbiaya tinggi mengakibatkan hanya segelintir orang atau kelompok saja yang mampu berkontestasi dan terpilih. Hanya mereka yang memiliki kapital yang besar dan kekuasaan yang besar saja yang mampu untuk survive (dalam sistem proporsional terbuka),” kata politikus PDIP Arteria Dahlan dalam membacakan argumennya.

Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Kelemahan sistem ini menurut pakar adalah memperkuat kuasa elite partai.

Lebih lanjut, Arteria mengatakan, sistem proporsional terbuka berimplikasi pada banyaknya kebutuhan petugas penyelenggara pemilu serta sarana prasarana pemilu karena desain surat suara berbeda di setiap dapil. Di sisi lain, para caleg juga menggelontorkan uang besar untuk kampanye demi meraup suara besar secara personal.

“(Sistem proporsional terbuka) tidak hanya menjadi beban negara saja, tetapi juga menjadi beban parpol ataupun para caleg. Hal tersebut menjadi bibit lahirnya koruptif para wakil rakyat,” ujarnya.

 
PDIP merupakan satu-satunya partai parlemen yang menginginkan penggunaan kembali sistem proporsional tertutup.
 

Selain soal dampak buruk dari sisi pendanaan, Arteria juga menyampaikan berbagai dampak negatif sistem proporsional terbuka terhadap pemilih dan penyelenggara. Dengan semua kelemahan sistem tersebut, menurut dia, Fraksi PDIP meminta MK mengabulkan permohonan uji materi ini alias kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Pandangan Fraksi PDIP ini merupakan satu rangkaian keterangan resmi DPR RI. Dalam keterangan yang sama, delapan fraksi DPR lainnya berpandangan bahwa sistem proporsional terbuka harus dipertahankan.

Kesepakatan Sistem Pemilu yang Dipaksa Sebelum Putusan MK

MK sedang memproses gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu.

SELENGKAPNYA

Penolakan Kian Deras Terhadap Pemilu Tertutup

Sistem pemilihan proporsional terbuka yang saat ini berjalan sudah paling ideal.

SELENGKAPNYA

Prof Haedar: Cegah Polarisasi di Pemilu

Polri memprediksi kontestan pemilu bakal gunakan politik identitas lagi.

SELENGKAPNYA