
Fikih Muslimah
Keluar Darah tapi Bukan Saat Haid, Bolehkah Shalat?
Istihadah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita.
Meski tak sedang haid, Nina (30 tahun) mengaku sering kali masih mengeluarkan darah. Ibu satu anak itu pun ragu ketika akan menunaikan shalat. "Boleh shalat nggak, ya?'' Pengalaman seperti ini kerap dialami kaum Hawa. Para ahli fikih menyebut keluarnya darah dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas serta tak ada kemungkinan haid sebagai istihadah.
Syekh Muhammad al-Utsamain dalam Kitab Shahih Fikih Wanita, mendefinisikan istihadah sebagai keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar, seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Menurut Syekh al-Utsamain, ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah (yang mengalami istihadah). Pertama, sebelum mengalami istihadah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman pada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu, dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadah.
Itu adalah darah biasa. Namun, tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat.HR BUKHARI
Misalnya, papar Syekh al-Utsamain, seorang wanita yang biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka itu, masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadah.
Hal itu didasarkan pada hadis Aisyah RA bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW: "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadah, maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah biasa. Namun, tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat." (HR Bukhari).
"Dengan demikian, wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biarpun darah pada saat itu masih keluar,'' kata Syekh al-Utsamain.
Kedua, tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadah karena istihadah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, menurut Syekh al-Utsamain, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan). "Seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau, yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan, jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadah,'' katanya.
Hal itu didasarkan pada sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: "Darah haid, yaitu apabila berwarna hitam yang dapat di ketahui. Jika demikian, tinggalkan shalat. Tetapi, jika selainnya, berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit." (HR Abu Dawud, an-Nasa'i).
Ketiga, tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Artinya, istihadah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah, sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah seorang wanita mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
"Maka, masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah, sedang selebihnya merupakan istihadah,'' kata Syekh al-Utsmain. Misalnya, tutur dia, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna maupun dengan cara lain.
Hitunglah haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah Ta'ala, lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah 24 atau 23 rakaat malam dan siang hari, dan puasalah.HR AHMAD, ABU DAWUD, AT-TIRMIDZI
Maka itu, haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut. Hal itu berdasarkan hadis Hamnah binti Jahsy RA, ia berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu, bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa?''
Rasulullah bersabda: "Aku beri tahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji karena hal itu dapat menyerap darah." Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu." Nabi pun bersabda: "Ini adalah salah satu perbuatan setan. Maka, hitunglah haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah Ta'ala, lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah 24 atau 23 rakaat malam dan siang hari, dan puasalah." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).
Kondisi Istihadah Menurut Imam Lima Mazhab
Imam empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali berpendapat: Istihadah tidak mencegah (melarang) seorang Muslimah untuk melakukan sesuatu seperti yang dilarang dalam haid, misalnya shalat, membaca Alquran, masuk masjid, beriktikaf, berthawaf, berpuasa, bersetubuh, dan lain-lainnya sesuai dengan yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang berhadas besar.
Imamiyah (ulama yang memercayai wajib adanya imam): Istihadah sedikit dihukumi sama dengan hadas kecil. Maka itu, seorang Muslimah yang mengalaminya tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu kecil setelah berwudhu. Sedangkan, istihadah sedang dan banyak sama dengan hadas besar maka Muslimah yang mengalaminya, dilarang melakukan sesuatu yang mensyaratkan harus mandi. (Sumber: Kitab Fikih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah).