Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mencium tangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf saat melakukan pertemuan di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023). | Republika/Prayogi.

Nasional

Ketua KPU Dilaporkan Lagi

Kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya.

OLEH FEBRIYAN A

Untuk kesekian kalinya, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kali ini, Ketua KPU Hasyim Asy'ari diadukan ke DKPP karena diduga melanggar kode etik setelah memprediksi Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sistem pemilihan legislatif (pileg) kembali ke proporsional tertutup. 

Sejak September 2022, DKPP sudah menerima 89 aduan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan jajaran KPU maupun Bawaslu. Tiga aduan di antaranya mendapatkan sorotan publik karena teradunya adalah komisioner KPU. 

Pertama, Komisioner KPU Idham Holik dan sembilan komisioner KPU daerah diadukan karena diduga melakukan intimidasi terhadap anggota KPU daerah agar mau memanipulasi data partai politik calon peserta Pemilu 2024. 

Kedua, Idham Holik dan 10 komisioner KPU daerah diadukan terkait dugaan manipulasi data demi meloloskan partai tertentu dalam proses verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024. 

Ketiga, Ketua KPU Hasyim Asy'ari juga sempat diadukan karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni Moein alias Wanita Emas, dengan iming-iming meloloskan partainya sebagai peserta pemilu. Meski kemudian, Hasnaeni mencabut aduannya.

Yang terkini, terdapat dua orang yang mengadukan Hasyim terkait prediksinya itu. Aduan pertama dilayangkan oleh seorang pengacara dari Surabaya bernama M Sholeh pada 30 Desember 2022. Aduan tersebut dikirimkan lewat kanal pengaduan daring DKPP. 

Sholeh mengaku berkepentingan mengadukan Hasyim karena dirinyalah yang menggugat penggunaan sistem proporsional tertutup ke MK pada tahun 2008, sehingga MK memutuskan penggunaan sistem proporsional terbuka yang berlaku sampai sekarang. Dia menilai komentar Hasyim yang memprediksi putusan MK itu merupakan sikap partisan. 

"Komentar ketua KPU sudah tendensius dan partisan. Seakan-akan dia sudah tahu putusan MK akan mengabulkan gugatan pemohon (kembali ke proporsional tertutup)," kata Sholeh ketika dikonfirmasi Republika, Rabu (4/1). 

photo
Ketua KPU Hasyim Asy'ari memberikan keterangan pers menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi di kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/12/2022). - (Republika/Prayogi)

Aduan kedua dilayangkan oleh Direktur Eksekutif Nasional Progressive Democracy Watch (Prodewa) Fauzan Irvan ke kantor DKPP, Jakarta, Selasa (3/1). Fauzan menilai prediksi Hasyim atas putusan MK itu melanggar Pasal 8 Huruf C Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. 

"Dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak: tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu," demikian bunyi pasal tersebut. Adapun komentar Hasyim, kata dia, jelas merupakan sikap partisan alias berpihak terhadap keinginan kelompok tertentu atau paham tertentu. 

Menurut Fauzan, Hasyim juga melanggar Pasal 19 J Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 yang berbunyi: "Dalam melaksanakan prinsip kepentingan umum, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya." 

Mengacu pada pasal tersebut, kata dia, jelas komentar Hasyim yang memprediksi sistem pileg kembali ke proporsional tertutup telah menciptakan kondisi yang tidak kondusif. Sebab, membuat pemilih bingung serta membuat kegaduhan secara nasional. 

photo
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (kiri) bersama anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait aduan penyelenggara pemilu di ruang sidang utama, gedung DKPP, Jakarta, Kamis (24/11/2022). - (Republika/Prayogi)

Ketika dikonfirmasi, Komisioner DKPP Ratna Dewi Pettalolo menyebut dirinya akan mengecek dua berkas pengaduan tersebut. Adapun Hasyim, hingga berita ini ditulis, belum merespons permintaan tanggapan dari Republika.

Prediksi Hasyim 

Penggunaan sistem proporsional terbuka, yang tertera dalam Pasal 168 UU Pemilu, kini sedang digugat ke MK. Para penggugat, yang dua di antaranya adalah kader PDIP dan kader Nasdem, meminta MK menyatakan sistem proporsional terbuka inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari pada Kamis (29/12/2022) memprediksi MK bakal mengabulkan gugatan tersebut. "Jadi, kira-kira bisa diprediksi atau tidak putusan Mahkamah Konstitusi ke depan? Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim di kantornya. 

Prediksi Hasyim itu seketika menjadi "bola panas". Semua partai parlemen, kecuali PDIP, menentang keras sistem pileg kembali ke proporsional tertutup. Mereka juga mempertanyakan kapasitas Hasyim mengomentari sistem pileg karena KPU adalah lembaga pelaksana isi undang-undang, bukan pembentuk undang-undang.

Terkini, Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyatakan sistem proporsional tertutup menjauhkan pemilih dengan calon anggota legislatif (caleg).

"Pendapat pribadi saya, harap dicatat, bahwa sistem proporsional tertutup itu secara teoretis mengurangi hak langsung dari pemilih. Karena tidak bisa memilih orang per orang di antara calon-calon yang ada," kata Gus Yahya saat konferensi pers seusai menerima kunjungan pimpinan KPU RI di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1).

Kendati begitu, Gus Yahya mempersilakan pembuat undang-undang untuk menentukan sistem yang hendak digunakan. Yang penting, kata dia, sistem yang digunakan merupakan buah kesepakatan bersama.

Sebelumnya, Muhammadiyah justru mengusulkan agar sistem pemilihan calon anggota legislatif (caleg) diganti menjadi proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas.

"Usulan sesuai muktamar ada dua. Pertama, kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup .... Usulan kedua adalah terbuka terbatas," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada wartawan di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1). 

photo
Ketua KPU Hasyim Asyari bersalaman dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat melakukan pertemuan di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023). - (Republika/Prayogi)

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Di kertas suara hanya terpampang nama partai. Calon yang akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai.

Sedangkan, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Sistem proporsional terbuka itu mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009. 

Adapun dalam sistem terbuka terbatas, kata Mu'ti, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun parpolnya. Caleg yang memenangkan kursi parlemen ditentukan oleh bilangan pembagi pemilih (BPP) atau harga kursi. 

BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut. Jika perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, maka otomatis dia berhak atas satu kursi parlemen. 

photo
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari bersama Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf melakukan pertemuan di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023). - (Republika/Prayogi.)

Apabila tidak ada satu pun caleg yang perolehan suaranya melampaui BPP, tapi suara partainya melampaui BPP, maka pemenang kursi ditentukan lewat nomor urut caleg di partainya. "Dengan sistem proporsional terbuka terbatas ini, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," kata Mu'ti. 

Menurut Mu'ti, dengan mengubah sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup atau terbuka terbatas, terdapat sejumlah masalah yang dapat dibenahi. Pertama, kanibalisme politik atau saling jegal antarcalon dapat dikurangi. 

Kedua, praktik politik uang dapat dikurangi. Sebab, selama ini calon yang bisa maju adalah yang punya modal banyak. Ketiga, dapat mengurangi populisme politik atau fenomena ketika pemilih menentukan pilihan berdasarkan popularitas calon, bukan kualitas calon. 

Keempat, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, partai diharapkan bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya yang akan duduk di parlemen. "Sebab, peran lembaga legislatif itu secara konstitusional sangat besar sehingga kualitas mereka tentu akan menentukan tidak hanya kualitas produk legislasi, tapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara," ujarnya. 

photo
Peserta penyandang disabilitas mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan untuk Pemilu 2024 di halaman kantor KPU, Jakarta, Selasa (22/3/2022). - (Prayogi/Republika.)

Kelima, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, Muhammadiyah berharap akan ada penguatan institusi partai politik sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan negarawan. 

Mu'ti menepis anggapan sejumlah pihak yang menyebut penerapan sistem proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi. Menurut dia, sistem pemilu beragam dan adalah hal yang lumrah bagi suatu negara untuk memilih sistem tertentu. 

Kualitas demokrasi, lanjut dia, tidak ditentukan oleh sistem pemilu yang digunakan, tapi oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya. "Jadi, kami menilai demokrasi dengan ukuran-ukuran yang bersifat substantif, bukan semata-mata bersifat prosedural," kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

 
Kualitas demokrasi, lanjut dia, tidak ditentukan oleh sistem pemilu yang digunakan, tapi oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya.
 
 

Mu'ti menambahkan, Muhammadiyah sudah sejak tahun 2014 mengusulkan agar sistem pemilu terbuka diganti. Usulan itu disampaikan sebagai bentuk partisipasi Muhammadiyah terhadap penyelenggaraan pemilu. 

Pada akhirnya, kata dia, Muhammadiyah hanya bisa menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sistem pemilu yang akan digunakan. Untuk diketahui, MK kini sedang memproses gugatan atas Pasal 168 UU Pemilu yang mengatur pemilihan caleg menggunakan sistem proporsional terbuka. 

Para penggugat, yang dua di antaranya adalah kader PDIP dan kader Nasdem, meminta agar MK menyatakan sistem proporsional terbuka inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Anies Antitesis Jokowi Terpotret Ilmiah dalam Survei

Ada korelasi antara naiknya kepuasan terhadap Jokowi dan turunnya elektabilitas Anies.

SELENGKAPNYA

Pelatih Vietnam Sebut Skuad Garuda Semakin Kuat

Permainan agresif Vietnam perlu diwaspadai Timnas Indonesia.

SELENGKAPNYA

Data Covid-19 Cina Terus Dipertanyakan

WHO meminta ilmuwan Cina memberikan informasi lebih terperinci mengenai evolusi virus Covid-19.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya