Tangan-tangan perempuan pekerja migran usia enam tahun hingga lansia di salah satu kebun sawit di Malaysia pada 2020. | AP Photo/File

Kabar Utama

325 Ribu WNI di Malaysia Berpotensi Stateless

Komnas HAM juga menerima ratusan laporan terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI).

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut lebih dari 325 ribu orang Indonesia berpotensi tidak memiliki kewarganegaraan atau stateless di Malaysia. Berdasarkan data Komnas HAM, Malaysia menjadi negara tertinggi yang diadukan dalam hal permasalahan pekerja migran Indonesia (PMI).

“Konjen (Konsulat Jenderal) Indonesia di Malaysia mencatat WNI yang berpotensi menjadi stateless di Sabah, Malaysia, sebanyak 151.979 orang WNI di Kinabalu dan 173.498 orang di Tawau, dengan total keseluruhan 325.477 orang,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah, Ahad (18/12).

Komnas HAM meminta pemerintah memfasilitasi mereka dengan dokumen negara yang sah sekaligus merekomendasikan pembentukan tim kerja khusus untuk menangani PMI dan anak-anak yang berpotensi kehilangan kewarganegaraan tersebut. Komnas HAM juga mendorong pemerintah untuk membangun kerja sama strategis dengan kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L).

Republika sempat menyambangi sejumlah enclave para pekerja migran Indonesia ini di kebun-kebun sawit di Kinabalu dan Tawau beberapa waktu lalu. Di lokasi tersebut memang ditemukan banyak anak-anak migran yang tak memiliki dokumen kelahiran. Hal ini salah satunya disebabkan karena pernikahan para buruh migran juga sebagian tak dicatat secara resmi.

photo
Sejumlah anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari program Community Learning Center (LCC) mengikuti pelajaran di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) di Jalan Sulaman Alam Mesra Plaza Utama, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, pada 2012 lalu. - (ANTARA)

Anak-anak migran tersebut tak juga mendapat kesempatan sekolah yang memadai karena tak memiliki dokumen lahir. Kendati demikian, mereka biasa dipekerjakan di kebun-kebun sawit sejak berusia sekitar delapan tahun.

Pihak Konsulat Jenderal RI di Kota Kinabalu saat itu sempat menduga praktik itu dibiarkan perusahaan sawit karena menyediakan tenaga kerja baru. Saat Republika menyambangi lokasi-lokasi di tengah kebun sawit itu pada 2011, para imigran yang beranak-pinak itu ada yang sudah mencapai generasi ke-3 bahkan ke-4.

Para pekerja, sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan dan NTT, mengaku tak bisa mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan karena paspor mereka ditahan pihak perusahaan perkebunan sawit. Selain itu, upah yang mereka dapatkan kala itu juga tak mencukupi pengurusan dokumen-dokumen tersebut.

Menurut Anis, ada beberapa skema yang bisa ditempuh guna membantu mereka. Salah satunya dengan melakukan pendataan sekaligus verifikasi kebenaran mereka sebagai WNI. “Pemerintah bisa juga lakukan terbitkan dokumen, mulai dari paspor. Jadi, pendataan dulu, mereka sudah berapa lama? Apa sih buktinya mereka WNI? Itu yang perlu ditelusuri. Bisa dilakukan upaya pendataan jemput bola atau proaktif mereka bisa melapor,” kata Anis.

Anis berharap masalah ini dapat diselesaikan secepatnya. Ia khawatir isu WNI stateless bakal berdampak pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Mereka yang menjadi stateless rentan kehilangan hak suaranya. “Apalagi jelang pemilu nanti isunya bergeser ratusan ribu kehilangan kewarganegaraan dan hak pilih karena stateless, ini bisa jadi isu di 2024. Harusnya bisa diselesaikan masalah ini dari sekarang,” ujar Anis.

Selain itu, Anis menjelaskan, para WNI diduga menjadi stateless karena diawali kebijakan Pemerintah Malaysia yang mengizinkan pekerja asing membawa serta keluarganya untuk bekerja.

Kebijakan tersebut kemudian berimplikasi pada banyaknya pekerja migran, termasuk dari Indonesia yang berkeluarga di sana. “Ada yang memang bawa keluarga, ada yang berkeluarga di sana beranak-pinak,” ujar Anis.

Anis menyebutkan, posisi mereka ada yang menjadi tidak berdokumen karena kasus tertentu, misalnya masa berlaku dokumen habis. “Tetapi, ada juga yang sejak awal terjebak sindikat undocumented, jadi mereka ke sana secara tak berdokumen, di sana (tinggal) lama, akhirnya stateless,” kata Anis.

Republika mencoba meminta tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, dan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Widodo Ekatjahjana mengenai masalah ini. Namun, hingga Ahad malam, belum ada respons apa pun dari Kemenkumham.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan, negara tidak boleh membiarkan WNI kehilangan kewarganegaraan. “Sebetulnya tidak sesederhana itu. Kan undang-undang kita tidak boleh membiarkan seseorang menjadi stateless,” kata Hermono kepada Republika.

Kendati demikian, Hermono tidak membantah data yang dirilis Komnas HAM. “Tidak salah karena memang ‘berpotensi’. Kami sudah jelaskan masalah ini ke Kemenkumham soal perlunya ada terobosan hukum menyelesaikan masalah ini,” ujar dia.

photo
Sejumlah anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari program Community Learning Center (LCC) mengikuti pelajaran di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) di Jalan Sulaman Alam Mesra Plaza Utama, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, pada 2012 lalu. - (ANTARA)

Menurut Hermono, surat untuk Kemenkumham sudah dikirim pada pekan lalu. Namun, hingga kemarin, dia belum memperoleh tanggapan atau respons dari Kemenkumham. “Saya sudah mengundang dirjen AHU (administrasi hukum umum) dan dirjen tata negara untuk ke Malaysia mendiskusikan masalah ini dan mencari solusi,” katanya.

Dia mengungkapkan, saat ini terdapat 365 ribuan PMI di Malaysia. Sementara itu, Hermono memperkirakan terdapat sekitar 1,3 juta orang PMI ilegal atau tak terdata. “Secara legal formal, mereka bisa dikatakan berpotensi stateless. Tapi, kita tidak boleh membiarkan seseorang menjadi stateless. Makanya perlu terobosan hukum,” ujar Hermono.

Ia menjelaskan, ada sejumlah program yang sudah dilakukan perwakilan Indonesia di Malaysia untuk mengatasi masalah administrasi kewarganegaraan sehingga seseorang berpotensi atau dapat menjadi stateless. Pertama, pembuatan paspor bagi PMI tak berdokumen yang mengikuti program pemutihan. Di Semenanjung Malaysia, kebijakan itu disebut program Rekalibrasi, sedangkan di Malaysia disebut program Regularisasi.

Kedua, program pembuatan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Ketiga, program pembuatan dokumen identitas anak-anak PMI. Keempat, program pendataan PMI tak berdokumen. Mengenai poin terakhir, proses pendataan akan terus berlangsung hingga akhir tahun ini.

photo
Sejumlah calon pekerja migran mendengarkan penjelasan petugas di Pos Perlindungan dan Penempatan Pekerja MIgran Indonesia (P4MI) Dumai, RIau, Rabu (10/8/2022). - (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/foc.)

Menurut Hermono, sejak awal tahun ini, Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur sudah menerbitkan 5.330 surat bukti pencatatan kelahiran (SBPK). “Anak yang sudah dikasih SBPK otomatis dikasih surat keterangan status kewarganegaraan juga. Itu satu paket,” ucap Hermono.

Menurut dia, penerbitan dokumen-dokumen itu merupakan hal vital. Sebab, dokumen identitas adalah hak asasi anak yang paling mendasar. Hermono tak mengetahui program pembuatan dan penerbitan dokumen tersebut hanya dilaksanakan perwakilan Indonesia di Malaysia atau juga dilakukan di negara lain. “Yang pasti, kondisi seperti ini juga dijumpai di Arab Saudi,” katanya.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Dave Akbarshah Fikarno atau akrab disapa Dave Laksono, mengatakan, permasalahan ini tidak akan bisa selesai bila pemerintah tidak menunjukkan ketegasan. Ia menekankan, penyelesaian atas persoalan-persoalan seperti ini harus dilakukan sejak dari hulu sampai hilir, yaitu dari tahap perekrutan, pelatihan-pelatihan, dan jangan berhenti sampai pengiriman.

“Dari awal rekrutmen, pelatihan hingga pengiriman dan pembinaan selama berada di negara tujuan harus terus berjalan, hingga jangan sampai ada lagi yang berpotensi stateless,” kata Dave.

photo
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melaksanakan aksi di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat China, Jakarta, Kamis (17/12). - (Republika/Putra M. Akbar)

Ratusan aduan

Komnas HAM juga menerima ratusan laporan terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI) di berbagai negara. Jenis laporan yang merugikan nasib para PMI itu pun terdiri atas bermacam-macam kasus.

Dalam kurun waktu 2020-2022, Komnas HAM menerima 257 aduan terkait dengan PMI. Berbagai kasus yang diadukan, antara lain terkait pemenuhan hak-hak pekerja migran (gaji tidak dibayar, klaim asuransi, dan lain-lain), hingga permohonan pemulangan pekerja migran (hilang kontak, kesulitan pemulangan jenazah, dugaan penyanderaan oleh pihak majikan/P3MI).

“Ada pula aduan permohonan perlindungan dan bantuan hukum karena kriminalisasi, korban pemerkosaan yang berhadapan dengan hukum, penahanan di negara tujuan,” kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai dalam keterangannya, Ahad (18/12).

Data Komnas HAM menunjukkan, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) menjadi pihak yang tertinggi diadukan. Malaysia menjadi negara tertinggi yang paling banyak diadukan terkait dengan permasalahan PMI.

“Sementara Jawa Barat menjadi provinsi yang paling banyak mengadukan permasalahan pekerja migran,” ujar Semendawai yang sayangnya tak memerinci data yang dimaksud.

photo
Sejumlah pengunjuk rasa yang tergabung di Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta, Jumat (24/6/2022). Pengunjuk rasa menyampaikan protes kepada pemerintah Malaysia terkait penyiksaan dan kematian buruh migran Indonesia dalam Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah, Malaysia. - (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Selain penanganan kasus berbasis aduan masyarakat, Komnas HAM melakukan pengamatan situasi terkait fenomena meningkatnya jumlah kematian pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di luar negeri. “Dalam kurun waktu 2017-2022, sebanyak  624 pekerja migran asal NTT meninggal dunia,” sebut Semendawai.

Selain itu, Kajian Komnas HAM pada 2020 tentang modern slavery terhadap ABK menemukan berbagai peristiwa perlakuan keji dan sewenang-wenang terhadap ABK WNI. Di antaranya, dilarungnya mayat ABK asal Indonesia ke laut yang bekerja di sebuah kapal perikanan tangkap asal Cina dan ditemukannya mayat ABK asal Indonesia dalam mesin pendingin kapal.

“Ragam masalah pelanggaran HAM yang masih terus terjadi pada pekerja migran Indonesia, salah satunya dipicu oleh masih lemahnya sosialisasi aturan terkait perlindungan PMI, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” ucap Semendawai.

Hal ini diperparah kurangnya pengawasan terhadap operasionalisasi perusahaan penempatan PMI. Bahkan, Komnas HAM mengendus adanya dugaan keterlibatan oknum aparatur pemerintah, terutama dalam hal pemalsuan identitas dan dokumen calon buruh migran.

“Serta minimnya peran pencegahan dari pemda mulai dari tingkat kabupaten sampai desa,” ujar Semendawai.

photo
Sejumlah orang yang tergabung dalam koalisi buruh migran berdaulat melakukan aksi di depan kantor Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta, Jumat (24/6/2022). Dalam aksinya mereka memprotes pihak Malaysia terkait penyiksaan dan kematian Buruh Migran dalam Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah, Malaysia. - (Prayogi/Republika.)

Komnas HAM juga mengeluarkan sembilan rekomendasi bersamaan dengan peringatan Hari Pekerja Migran Sedunia ke-32 Tahun 2022 setiap 18 Desember. Pertama, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah mengintegrasikan jaminan HAM dalam kebijakan yang dikeluarkan. 

Komnas HAM juga ingin ada penerapan prinsip Business and Human Rights terhadap perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia serta agensi di luar negeri atas tanggung jawab menghormati HAM PMI. Kedua, Pemerintah Indonesia diminta mengatur, menjamin, dan mengimplementasikan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi PMI, yang merupakan bagian dari hak memperoleh keadilan dalam proses peradilan.

“Ketiga, mendorong Pemerintah Indonesia untuk membentuk tim kerja, yang secara khusus menangani PMI dan anak-anak yang kehilangan kewarganegaraan di Malaysia,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah.

Keempat, Komnas HAM mengusulkan membangun kerja sama yang strategis di antara institusi-institusi negara yang berkewenangan dalam menangani permasalahan PMI serta menempatkan peran masyarakat sipil sebagai mitra kerja pemerintah dalam mengupayakan perlindungan PMI sesuai standar HAM. Kelima, Komnas HAM mendesak pembenahan tata kelola permasalahan PMI secara komprehensif.

photo
Sejumlah orang yang tergabung dalam koalisi buruh migran berdaulat melakukan aksi di depan kantor Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta, Jumat (24/6/2022). - (Prayogi/Republika.)

“Keenam, membangun konsistensi mekanisme kontrol terhadap implementasi aturan terkait PMI, untuk melihat efektivitas implementasi aturan tersebut bagi perlindungan PMI, termasuk membangun sistem monitoring atau pengawasan efektif terhadap perusahaan penempatan pekerja migran (P3MI) dan agensi di luar negeri, atau majikan dan melaporkannya secara publik,” ujar Anis.

Ketujuh, Komnas HAM berharap, ada pembenahan administratif yang bersifat kedaruratan, peningkatan fasilitas pelayanan, dan penghapusan berbagai bentuk penyelewengan dalam memberikan perlindungan PMI. Kedelapan, melakukan peningkatan kapasitas dalam memahami HAM agar prinsip dan nilai-nilai HAM terintegrasi di dalam setiap kegiatan yang dilakukan pelaksana kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Kesembilan, membangun standar kurikulum pendidikan pramigrasi yang berperspektif HAM, metode pembelajaran yang partisipatif dan mekanisme kontrol yang memadai,” ujar Anis.

Sultan Selim I, Khalifah Pertama Turki Utsmaniyah

Pada masa Selim I, pertama kalinya Turki Utsmaniyah menyandang titel kekhalifahan.

SELENGKAPNYA

Sulaiman al-Qanuni, Sang Penerus Kejayaan Utsmaniyah

Di bawah pemerintahan Sulaiman al-Qanuni, Utsmaniyah meneruskan kejayaan yang sudah dimula dahulu.

SELENGKAPNYA

Menyentuh Kemaluan, Apakah Membatalkan Wudhu?

Para ulama berbeda pendapat yang terbagi dalam tiga kelompok pandangan terkait menyentuh kemaluan dan wudhu.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya