Menurut seorang mualaf, Prof Craig Fenter, dirinya menemukan pencerahan setelah menyelami tasawuf dan sastra sufi. | DOK TWITTER MunibHamid

Oase

Cahaya Hidayah Prof Craig 'Ismail' Fenter di Konya

Perkenalan dengan tasawuf dan karya Rumi mengantarkan Prof Craig pada petunjuk hidayah Islam.

OLEH HASANUL RIZQA

Sastra sufi sarat akan pesan kemanusiaan universal. Karena itu, siapapun dapat menikmati rona estetikanya. Bagaimanapun, karya-karya kaum salik dapat dipandang sebagai pintu bagi mereka yang ingin mengenal Islam lebih dekat.

Hal itulah yang dialami Prof Dr Craig Victor Fenter. Mualaf tersebut mulai tertarik pada ajaran Islam setelah menyelami puisi-puisi karya Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang penyair sufistik dari abad ke-13 M. Warga negara Amerika Serikat (AS) itu mengaku batinnya tersentuh oleh keindahan kata-kata dan makna yang diguratkan sang maulana.

Sejak menjadi seorang Muslim, dirinya mengubah nama menjadi Ismail. Profesor tersebut lahir pada tahun 1955 di Karolina Utara. Namun, ia tumbuh besar di Los Angeles, Kalifornia. Baginya, keluarga adalah faktor terbesar yang memengaruhi pola pikirnya saat anak-anak hingga usia remaja.

 
Prof Craig mengaku batinnya tersentuh oleh keindahan kata-kata dan makna yang diguratkan Jalaluddin Rumi dalam puisi-puisinya.
 
 

Ayah dan ibunya termasuk umat yang religius. Setiap akhir pekan, mereka selalu menunaikan misa di tempat ibadah. Di rumah pun, keduanya menampilkan teladan dengan berbagai cara, semisal rutin membaca kitab.

Dengan dukungan mereka, Craig muda pun ingin menjadi seorang pastor. Cita-cita itu seperti mengalir begitu saja. Sejak kecil, dirinya mendapatkan pendidikan di sekolah swasta yang mengajarkan nilai-nilai agama Katolik.

Setelah lulus SMA, ia meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Di antara para mahasiswa seangkatan, Craig tergolong cerdas. Dalam waktu beberapa tahun, pemuda itu melalui masa-masa kuliah dengan nilai yang sangat baik. Begitu meraih gelar sarjana (bachelor), ia pun mempersiapkan diri untuk menempuh studi magister.

Kariernya dalam bidang akademik semakin cemerlang. Di sebuah universitas di Los Angeles, dirinya mengajar berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan religiositas. Hingga akhirnya, penyuka buku-buku sastra itu mendapatkan gelar guru besar.

Namun, dari waktu ke waktu dirinya mulai mengalami kegamangan. Batinnya terasa hampa. Ia merasa, rutinitas ibadah yang dilakukannya kurang berdampak pada ketenteraman hati. Untuk mencari jawaban atas kegelisahannya, Craig pun mulai membaca banyak buku kesusastraan sufi.

 
Namun, dari waktu ke waktu dirinya mulai mengalami kegamangan. Batinnya terasa hampa.
 
 

Ia memahami, tasawuf mengajarkan keutamaan hati yang bersih sebelum mempertimbangkan apa-apa yang tampak dalam pandangan mata. Kaum sufi juga mengajarkan pentingnya mengenal diri sendiri sebelum akhirnya mengenal Tuhan. Spiritualitas tersebut membuat jiwa Craig terpanggil untuk mencari kebenaran.

Bertepatan dengan itu, pada 11 September 2001 terjadilah serangan terorisme yang menyasar Menara Kembar WTC, New York, AS. Melalui berbagai media, tersebarlah berita bahwa para pelaku berasal dari kalangan Arab-Muslim. Tidak membutuhkan waktu lama, Islamofobia pun merebak di mana-mana.

Sebagai seorang ilmuwan, Craig berupaya objektif dalam melihat suatu fenomena. Baginya, ekstremisme ada di setiap umat agama-agama. Dalam sejarah pun, misalnya, tercatat peristiwa Perang Salib. Salah satunya adalah justru menunjukkan adanya pembantaian kalangan ekstremis Nasrani. Mereka tidak hanya menyasar Muslimin, tetapi juga Yahudi dan bahkan sesama Nasrani.

Karena itu, ketika Negeri Paman Sam sedang dilanda isu Islamofobia, Craig justru semakin tertarik untuk lebih mengenal sisi spiritualitas Islam. Itu dilakukannya melalui pembacaan atas teks-teks sastra sufi. Di antara para sastrawan-salik, yang digemarinya adalah Jalaluddin Rumi.

Menurut Craig, Rumi adalah contoh penyair dengan fokus pada sisi spiritualitas manusia. Walaupun Muslim, sang mursyid menyampaikan nilai-nilai yang universal. Satu bait yang menyentuh kalbu profesor tersebut berbicara tentang proses pengenalan diri.

“Jangan puas dengan kisah-kisah, Tentang apa yang telah terjadi dengan orang lain. Sibak mitos dirimu sendiri. Kenali dirimu, alami sendiri, agar kaukenali Tuhanmu,” demikian penggalan syair karya sastrawan tersebut.

 
Ketika AS sedang dilanda isu Islamofobia, Craig justru semakin tertarik untuk lebih mengenal sisi spiritualitas Islam.
 
 

Pada 2004, Craig menghadiri sebuah seminar tentang kebudayaan di Los Angeles. Secara tidak terduga, dirinya bertemu dengan Esin Celebi Bayru. Orang Turki itu merupakan cicit generasi ke-22 dari Rumi. Dalam beberapa bulan, Esin menjalani program belajar di Negeri Paman Sam sebelum kembali ke negerinya.

Kira-kira setahun kemudian, Craig menerima undangan dari Esin untuk datang ke Konya. Kota di Turki tengah itu merupakan tempat makam Rumi berada. Dalam suratnya, keturunan sang maulana tersebut mengajak profesor ini untuk hadir dalam Seb-i Arus, yakni semacam perayaan memperingati legasi sufi tersebut.

Craig merasa senang sekali dengan undangan tersebut. Ia pun terbang ke Turki untuk menghadiri agenda acara itu. Bersama dengan Esin, dirinya berangkat ke Konya. Di Museum Mevlana, lelaki Amerika itu larut dalam kemeriahan yang digelar masyarakat Muslimin setempat, semisal pertunjukan tarian Samaa (Whirling Dervishes) yang menampilkan sejumlah penari yang bergerak melingkar-lingkar. Ia pun sangat bersyukur karena bisa mengikuti malam puisi Rumi di sana.

Craig amat terkesan akan suasana islami di Konya. Ia merasa, dirinya seperti mendapatkan keluarga baru di sana. Kepada Esin, sang profesor kemudian mengutarakan keinginannya: menjadi seorang Muslim.

Awalnya, cicit Rumi tersebut tidak menyangka bahwa kawannya akan sampai pada keputusan demikian. Lantas, Craig pun menuturkan, sudah mempelajari Islam sebelum berjumpa dengannya. Bahkan dalam suasana Tragedi 9/11 pun, ia tidak ikut-ikutan memandang Muslim sebagai liyan yang asing, apalagi musuh.

 
Kepada Esin, sang profesor kemudian mengutarakan keinginannya: menjadi seorang Muslim.
 
 

Dengan didampingi Esin, Craig pun mengunjungi kediaman seorang mursyid tarekat setempat. Setelah salam dan perkenalan, keduanya menyampaikan maksud kedatangan. Oleh ulama tersebut, lelaki Amerika itu diajarkan tentang kalimat syahadat beserta maknanya. Ia pun diceritakan tentang bagaimana Islam bermakna salam, yakni keselamatan dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala.

Craig mendengarkan penuturan sufi tersebut dengan saksama. Akhirnya, ia pun dibimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu, dirinya secara resmi menjadi seorang Muslim. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2006.

Kepada Anadolu Agency, lelaki yang kini bernama Ismail Fenter itu mengenang kembali momen keislamannya. Menurut dia, hatinya dapat condong pada Islam antara lain karena sejak awal dirinya tumbuh dalam lingkungan yang memandang bahwa beragama itu penting. Pandangan semisal sekulerisme dan, apalagi, ateisme tidak pernah dipilihnya sejak awal.

“Keluarga selalu mengajarkan, beragama itu penting. Nenek mendorongku untuk menjadi seorang pendeta, pergi ke seminari untuk belajar,” katanya, seperti dikutip Republika dari Anadolu Agency, beberapa waktu lalu.

Ia mengakui, semua agama mengajarkan kebajikan. Akan tetapi, ajaran Islam dalam hal ketuhanan lebih berterima secara rasional. Agama ini mengajarkan perihal tauhid. Ismail mengutip surah al-Ikhlash yang menegaskan, Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

photo
Sebelum menjadi Muslim, Prof Craig Fenter dahulunya adalah seorang pengajar di gereja dan kampus. - (DOK TANGKAPAN LAYAR YOUTUBE MISTIK ALEM)

“Dahulu (sebelum memeluk Islam --RED), aku menghabiskan banyak waktu untuk mencari kebenaran. Aku sempat mengajar di seminari, tetapi aku sendiri tidak percaya dengan apa-apa yang kuajarkan,” ujarnya mengenang.

Karena itu, ia merasa tasawuf, yang diekspresikan melalui karya-karya sastra, menjadi jalan baginya untuk mengimani kebenaran. Melalui puisi-puisi Rumi, ia amat tersentuh pada panggilan untuk lebih mengenal diri sendiri, sebelum akhirnya mengakui eksistensi Tuhan. Bahkan sebelum menjadi Muslim, Ismail percaya bahwa Tuhan tidak mungkin sama atau disamakan dengan makhluk-Nya.

“Aku berhenti (dari mengajar) dan meninggalkan gereja sejak itu,” tuturnya.

Tidak ada yang kebetulan. Segala terjadi atas kehendak dan kemahakuasaan Tuhan. Ismail pun percaya, perjumpaannya dengan Esin Bayru telah menjadi garis takdirnya untuk mencapai satu titik. Yakni, beriman sepenuhnya kepada Allah dan berislam.

“Aku mengatakan kepadanya, ‘Kumerasa seperti berada di dasar lautan, tidak tahu di mana yang kucari. Ia (Esin) berkata, ‘Kamu sebenarnya telah menemukan harta karun itu karena kamu mencarinya',” kata Ismail, menceritakan ulang percakapannya dengan cicit Rumi tersebut.

 
Yang juga mengesankannya adalah suara azan. Gema itu berasal dari masjid-masjid setempat.
 
 

Selama di Konya, ia menikmati setiap hari. Yang juga mengesankannya adalah suara azan. Gema itu berasal dari masjid-masjid setempat. Secara rutin, muazin mengumandangkannya untuk memanggil orang-orang agar mereka shalat.

Di Amerika, waktu berjalan seperti tanpa adanya selingan untuk “berbicara” dengan Tuhan. Ismail mengaku, bahkan sebelum berislam, dirinya sudah memahami bahwa shalat (praying) adalah perjalanan seorang insan untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta. Itu semacam miraj, yang dilakukan setiap hari hingga ajal menjemput.

Di Konya, Ismail juga mengambil pelajaran tentang tasawuf dari Nadir Karnibuyuk, seorang guru sufi yang ditemuinya. “Aku memperhatikannya (Karnibuyuk) dan melihat sekeliling ketika ia sedang shalat. Ternyata, ia kemudian memanggilku untuk ikut berdoa juga. Entah mengapa, seketika hati ini luluh, lalu aku pun bersujud dan menangis,” tuturnya.

Kembali ke negerinya, Ismail mengatakan, dirinya masih konsisten mengikuti ajaran-ajaran tasawuf. Baginya, para sufi memiliki hubungan yang hangat selayaknya keluarga besar. Karena itulah, pada akhirnya ia memilih meninggalkan AS, dan menetap di Konya.

Lula Is Back

Nasib Bolsonaro serupa dengan Trump: dikalahkan saat menjadi incumbent oleh politisi senior.

SELENGKAPNYA

Ayah Wajib Paham Parenting

Ayah juga wajib mengajarkan keluarganya bagaimana hidup dalam koridor syariat.

SELENGKAPNYA

Bolehkah Memegang Alquran dalam Keadaan Berhadas?

Mayoritas ulama mengatakan bahwa orang yang berhadas, baik itu kecil maupun besar, diharamkan menyentuh Alquran

SELENGKAPNYA