Sejumlah peserta mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Kampus Universitas Siliwangi (Unsil), Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (18/5/2022). | ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wsj.

Dialektika

Mimpi Zonasi, Rendah Prestasi

Dengan sistem zonasi, sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik dengan domisi terdekat dari sekolah.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; TIRA MUTIARA, Peneliti IDEAS; NAURA SITI ALIFAH, Peneliti IDEAS

Kebijakan sistem zonasi dalam Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri yang diterapkan sejak 2017, masih terus menuai ketidakpuasan hingga kini. Dengan sistem zonasi, sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik dengan domisi terdekat dari sekolah.

Dalam desain awal, alokasi jalur zonasi minimal 90 persen dari kuota penerimaan siswa baru, 5 persen jalur prestasi dan 5 persen jalur perpindahan domisili orang tua/wali. Pada 2018 skema ini diubah di mana alokasi jalur zonasi diturunkan menjadi minimal 80 persen, jalur prestasi meningkat hingga 15 persen, dan jalur perpindahan domisili orang tua/wali 5 persen.

Seiring keluhan publik dan kekisruhan yang muncul di lapangan, skema ini kembali diubah pada 2019 di mana alokasi jalur zonasi diturunkan kembali menjadi minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, jalur prestasi hingga 30 persen, dan jalur perpindahan domisili orang tua/wali 5 persen.

Sistem zonasi dalam PPDB mendapatkan penentangan yang luas dan banyak menimbulkan kekisruhan. Dengan sistem yang sangat berbeda dari sistem yang selama ini telah berjalan dengan baik, yang berbasis capaian prestasi akademik, adopsi sistem zonasi telah banyak merugikan hak-hak peserta didik.

 
Sebaran geografis sekolah yang tidak merata membuat sebagian sekolah dibanjiri pendaftar, sedangkan sebagian sekolah lain justru sepi peminat.
 
 

Sebaran geografis sekolah negeri yang tidak merata merugikan calon siswa dengan domisili yang jauh dari lokasi sekolah negeri. Sebaran geografis sekolah yang tidak merata membuat sebagian sekolah dibanjiri pendaftar, sedangkan sebagian sekolah lain justru sepi peminat. Pada 2019 tercatat 580 kecamatan di seluruh Indonesia belum memiliki SMA negeri.

Hingga kini, kapasitas negara dalam menyediakan pendidikan adalah terbatas, terutama di tingkat SLTA, yaitu SMA, SMK, dan MA. Bahkan dengan menyertakan seluruh sekolah negeri dan swasta sekalipun, kapasitas sekolah masih jauh dari mencukupi.

photo
Terbatas Kapasitas Negara. Profil SLTA (SMA, SMK, MA) Indonesia 2020-2021. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Pada 2021, penduduk berusia 15-19 tahun berjumlah 22,2 juta orang. Namun di saat yang sama, kapasitas seluruh SMA, SMK, dan MA, baik negeri maupun swasta, hanya 11,7 juta siswa. Dengan kata lain, menerapkan sistem zonasi di kala kapasitas sekolah negeri masih sangat jauh dari memadai adalah kebijakan yang prematur dan diskriminatif bagi siswa yang berdomisili jauh dari sekolah negeri.

Kebijakan zonasi juga merugikan sekolah swasta “non favorit” yang lokasinya berdekatan dengan sekolah negeri, yaitu kehilangan calon siswa dalam jumlah besar. Di sisi lain, sekolah swasta “favorit” diuntungkan oleh kebijakan zonasi karena kini mendapat limpahan siswa berkemampuan tinggi yang tidak diterima sekolah negeri akibat adopsi sistem zonasi dalam PPDB.

Prestasi pasca zonasi

Sistem zonasi dalam PPDB secara jelas ditujukan untuk menghapus “sekolah favorit”. Dengan ketiadaan variabel prestasi anak pada jenjang sebelumnya sebagai kriteria seleksi, maka semua sekolah akan memiliki input murid yang merata.

Tidak ada lagi sekolah negeri yang hanya melayani “segmen siswa tertentu” dengan capaian akademik yang homogen yang umumnya berkorelasi kuat dengan kelas ekonomi dari orang tua siswa. 

Pemerintah beranggapan, dengan prestasi sebagai basis seleksi, maka penerimaan siswa baru di sekolah negeri yang umumnya adalah sekolah “favorit”, akan selalu bias ke kelompok kaya di mana anak-anak mereka rata-rata memiliki capaian akademik yang tinggi. Implikasinya, siswa dari kelompok miskin akan selalu kalah dalam mengakses sekolah negeri berkualitas, sehingga melanjutkan pendidikan di sekolah swasta yang “tidak favorit” atau bahkan putus sekolah.

 
Sistem zonasi dipandang akan mengakhiri ketidakadilan dalam akses pendidikan yang berkualitas ini.
 
 

Sistem zonasi dipandang akan mengakhiri ketidakadilan dalam akses pendidikan yang berkualitas ini. Dengan menjamin akses siswa ke sekolah terdekat, sistem zonasi mendorong pemerataan akses pendidikan berkualitas oleh sekolah negeri, terutama bagi kelompok bawah.

Dalam asesmen awal, sistem zonasi terindikasi “berhasil” menghapus sekolah negeri “favorit” di mana capaian akademik sekolah negeri yang menerapkan sistem zonasi dalam PPDB terlihat semakin menurun. Dengan menggunakan nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) sekolah, terlihat SMA negeri yang menerapkan sistem zonasi, semakin sedikit yang mampu bertahan dalam ujian seleksi masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri).

Pembuktian empiris lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi dampak sistem zonasi terhadap kualitas akademik sekolah negeri ini, yang sayangnya akan sulit dilakukan ke depan seiring perubahan sistem seleksi masuk PTN dan dibubarkannya LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi).

photo
Implikasi Prestasi Sistem Zonasi. Peringkat sekolah dengan PPDB sistem zonasi menurut nilai UTBK. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Sistem zonasi tidak hanya mengubah komposisi murid, tapi juga proses pembelajaran dan karenanya prestasi siswa. Dengan komposisi siswa yang kini tidak lagi homogen, bahkan menjadi sangat heterogen, peran guru menjadi sangat krusial dan dituntut untuk beradaptasi dengan cepat, yang sayangnya sangat tidak mudah dilakukan.

Siswa berkemampuan tinggi lebih banyak membutuhkan tantangan baru dan pengayaan dari guru untuk motivasi dan optimalisasi prestasi. Sedangkan siswa berkemampuan rendah lebih banyak membutuhkan bimbingan guru untuk fondasi keilmuan yang benar. Semakin besar kesenjangan kemampuan antar siswa, semakin besar beban pengajaran guru.

Kegagalan guru dalam beradaptasi dengan cepat dan membekali diri dengan kemampuan mengajar baru di kelas yang heterogen akan dibayar mahal: proses pembelajaran yang tidak optimal. Siswa berkemampuan rendah akan tertinggal dari rekan-rekannya dan menjadi tidak nyaman untuk belajar. Sedangkan siswa berkemampuan tinggi akan kehilangan motivasi dan peluang untuk meningkatkan prestasinya.

 
Penerapan sistem zonasi secara prematur telah mencerabut asas meritokrasi yang telah lama ditanamkan dalam dunia pendidikan kita.
 
 

Meningkatkan akses pendidikan bagi semua adalah tujuan mulia, namun akan menjadi berbahaya ketika dilakukan secara serampangan, tergesa-gesa, merusak sistem yang telah berjalan dengan baik dan mengorbankan masa depan anak bangsa berprestasi. Penerapan sistem zonasi secara prematur telah mencerabut asas meritokrasi yang telah lama ditanamkan dalam dunia pendidikan kita, menetralisir usaha dan kerja keras peserta didik.

Pemerataan akses pendidikan bagi semua seharusnya diraih dengan dukungan peningkatan kapasitas siswa berprestasi rendah dan penciptaan ekosistem pembelajaran berkualitas di sekolah “non favorit”, baik sekolah negeri maupun swasta, bukan dengan mengorbankan sekolah negeri “favorit” dan siswa berprestasi akademik tinggi.

Sekolah negeri “favorit” dengan siswa berkemampuan tinggi tidak selayaknya dimusuhi. Yang lebih penting dilakukan adalah memastikan bahwa siswa miskin berkemampuan tinggi mendapat akses yang luas ke sekolah negeri “favorit”.

Dan yang lebih krusial lagi adalah memastikan dukungan yang memadai agar sekolah “tidak favorit”, baik negeri maupun swasta, mampu mengejar kualitas sekolah “favorit”. Prioritas tertinggi selayaknya ditujukan untuk meningkatkan kualitas sekolah negeri “non favorit” yang memiliki potensi besar tapi prestasi akademiknya belum stabil.

photo
Yang Menguat dan Melemah Pasca Zonasi. Sekolah dengan PPDB sistem zonasi dalam Top 1000 sekolah 2021-2022. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dari UTBK 2021 dan 2022, terdapat 100 SMA Negeri dengan sistem zonasi dalam PPDB yang masuk dalam top 1000 UTBK 2021 namun terlempar keluar dari top 1000 UTBK 2022. Artinya, sekitar 16 persen sekolah dengan sistem zonasi incumbent, yang masuk dalam top 1000 UTBK 2021, kini gagal bertahan dalam top 1000 UTBK 2022.

Di saat yang sama, dari UTBK 2021 dan 2022, hanya 80 SMA Negeri dengan sistem zonasi dalam PPDB yang tidak masuk dalam top 1000 UTBK 2021 namun kini berhasil masuk dalam top 1000 UTBK 2022. Artinya, hanya sekitar 13,2 persen sekolah dengan sistem zonasi yang tidak masuk dalam top 1000 UTBK 2021, kini sukses masuk dalam top 1000 UTBK 2022 sebagai new comer.

Pemerataan akses pendidikan tidak harus dimaknai dengan membuat semua sekolah negeri menjadi sekolah “non favorit” yang berpotensi besar menurunkan kualitas pendidikan kita yang sudah banyak tertinggal dari negara-negara lain. Sistem zonasi membuat persaingan prestasi antar sekolah negeri menurun secara signifikan.

Contoh terbaik dalam hal ini adalah kebijakan pengembangan Madrasah Aliyah (MA) Negeri. Alih-alih memaksakan sistem zonasi, arah pemerataan akses pendidikan berkualitas di MA Negeri dilakukan dengan mengembangkan MAN unggulan di setiap wilayah, yang akan menjadi sekolah percontohan bagi MA lain di wilayah tersebut.

Arah kebijakan pendidikan dibawah naungan Kementrian Agama ini secara gemilang mampu meningkatkan capaian akademik MA Negeri secara sangat signifikan. MA Negeri bahkan mampu memuncaki top 1000 sekolah terbaik, mengalahkan SMA Negeri dan SMA swasta “favorit” yang telah lama mendomiansi.

Bila dalam UTBK 2021, sepuluh MAN terbaik menempati posisi top 200 sekolah terbaik, maka pada UTBK 2022, sepuluh MAN terbaik mampu menempati posisi top 100 sekolah terbaik.

photo
Peserta mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dalam rangka Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2021 di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Dr Setiabudi, Kota Bandung, Selasa (13/4). Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Arah reformasi ke depan

Gelombang anti “capaian akademik” tidak hanya berhenti pada adopsi sistem zonasi dalam PPDB yang dimulai sejak 2017, namun juga diikuti penghapusan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) pada 2020 yang diganti dengan ujian yang hanya diselenggarakan oleh sekolah, serta penghapusan Ujian Nasional (UN) pada 2021 dan diganti dengan Asesmen Nasional yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Dan gelombang ini masih belum berhenti.

Kini, upaya menghapus stigma sekolah negeri “favorit” akan diteruskan ke upaya menghapus stigma PTN “favorit”. Seleksi masuk PTN ke depan, UTBK mulai tahun 2023, direncanakan tidak lagi menggunakan seleksi berbasis capaian akademik (Tes Kemampuan Akademik/TKA), tapi semata seleksi berbasis potensi kognitif, penalaran dan literasi dasar (Tes Potensi Skolastik/TPS) saja. Penyelenggara seleksi PTN selama ini, yaitu LTMPT, bahkan telah dibubarkan.

photo
Kompetitif Tanpa Zonasi. Top 10 sekolah negeri tanpa PPDB sistem zonasi menurut UTBK: kasus MA Negeri. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Perubahan seleksi masuk PTN yang hanya berbasis pada potensi kognitif, penalaran dan literasi dasar ini, tanpa materi ujian “hafalan”, diklaim akan mendorong pembelajaran yang menyeluruh, lebih berfokus pada kemampuan penalaran, lebih inklusif dan lebih mengakomodasi keragaman peserta didik, lebih transparan, serta lebih terintegrasi dengan mencakup bukan hanya program sarjana, tetapi juga diploma. 

Secara menarik, berdasarkan hasil Tes Potensi Skolastik (TPS) pada UTBK 2020, kami menemukan indikasi bahwa daya saing sekolah dengan PPDB sistem zonasi tidak akan lebih baik dibandingkan dengan UTBK berbasis TPS dan TKA (Tes Kemampuan Akademik).

photo
Seleksi Masuk PTN Tanpa Hafalan. Sekolah dengan PPDB sistem zonasi menurut nilai TPS: Kasus UTBK 2020. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Lebih jauh, seleksi masuk PTN dengan hanya berbasis TPS yang tidak ada materi ujian “hafalan”, akan menjadi masalah besar dalam proses pembelajaran di PTN, terutama di program studi – program studi di rumpun sains - teknologi dan rumpun kedokteran, yang banyak membutuhkan kemampuan analitis serta dasar-dasar ilmu pengetahuan yang memadai.

Stigma terhadap “sekolah favorit” dan siswa berkemampuan tinggi yang umumnya dari kelas atas adalah sesat fikir. Semua siswa adalah anak bangsa yang berhak mendapatkan pendidikan terbaik. Alternatif yang lebih baik adalah membuat semua sekolah, baik negeri maupun swasta, menjadi sekolah “favorit”.

Tugas pemerintah adalah mendorong sekolah “non favorit” agar menjadi sekolah “favorit”, bukan menghapus sekolah “favorit” agar semua sekolah menjadi “non favorit”.

Jokowi, Prabowo, Erick Masuk 500 Tokoh Muslim Berpengaruh

Sebanyak 26 tokoh Indonesia masuk dalam daftar terbaru 500 tokoh Muslim paling berpengaruh sedunia.

SELENGKAPNYA