
Keluarga
Bibit Bebet Bobot, Masihkah Relevan?
Prinsip tersebut dapat diadopsi dalam versi yang lebih modern
OLEH RAHMA SULISTYA
Pasangan selebritas Muhammad Fardhan dan Mikaila Patritz punya perbedaan unik yang mewarnai hubungan keduanya. Misalnya saja, mereka berselisih usia sekitar enam tahun dengan usia Mikaila yang jauh lebih muda dibanding Fardhan.
Mereka juga memiliki perbedaan budaya di mana Mikaila dibesarkan dalam budaya campuran Indonesia dan Barat, sementara Fardhan dibesarkan dengan ajaran Islam yang kuat.
Bahkan, keduanya membuat ‘surat kesepakatan’ terkait kehidupan pernikahan yang akan mereka jalani. Bagi dia, surat itu bisa meruntuhkan ekspektasi yang terlalu tinggi sehingga ke depannya segala perdebatan bisa diminimalisasi.
“Ibunya (Fardhan) kan terbiasa melayani bapaknya, sementara di keluarga aku enggak ada istilah melayani, karena aku terbiasa melakukan semuanya sendiri. Aku kayaknya akan susah banget 100 persen melayani,” ujar Mikaila dalam kesempatan yang sama.
Ibunya (Fardhan) kan terbiasa melayani bapaknya, sementara di keluarga aku enggak ada istilah melayani, karena aku terbiasa melakukan semuanya sendiri
MIKAILA PATRITZ
Beruntung Fardhan memiliki pemikiran serupa, bahkan keluarga Fardhan juga merupakan keluarga yang memang menganut prinsip bibit, bebet, dan bobot (3B), tetapi dengan versi modern. Awalnya gerah dengan banyaknya komentar orang, tapi karena sering berdiskusi tentang pembagian peran antara suami istri, akhirnya mereka merasa semakin cocok dan mantap melanjutkan hubungan.
View this post on Instagram
“Sebelum menikah, banyak sekali pertanyaan atau keraguan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Alhamdulillah, kami berhasil meyakinkan semua orang, terutama orang tua bahwa kami memiliki satu tujuan serta siap untuk saling melengkapi dan tumbuh bersama,” ujar Mikaila lagi.
Pengalaman mereka juga menunjukkan bahwa saat menilai pasangan anak, orang tua akhirnya menginginkan yang terbaik bagi anak dan terbuka untuk berkompromi. Artinya, komunikasi dan keterbukaan antara orang tua dan anak dalam memilih pasangan adalah hal yang amat penting.
Istilah bibit, bebet, bobot sendiri biasanya digaungkan oleh para orang tua untuk anak-anaknya sebagai kriteria untuk menentukan pasangan hidup yang setara. Namun, apakah prinsip tersebut masih relevan?
Psikolog klinis dan peneliti relasi interpersonal, Pingkan Rumondor, mengatakan bahwa pemaknaan bibit, bebet, bobot ini sesuai dengan tujuan pernikahan pada zaman dulu.

Saat itu, cinta tidak termasuk dalam kriteria yang dianggap penting dan kehidupan seseorang bergantung pada status yang dibawa sejak lahir, bukan diperoleh dengan kerja keras dan keterampilan dan hal itu berevolusi seiring perubahan zaman.
Kaum dewasa muda kini punya kesempatan untuk menyampaikan perspektif tentang pasangan pilihan. Sehingga diperlukan penyelarasan pandangan antara pasangan, keluarga, dan masyarakat. “Bagaimanapun, pandangan masyarakat memang menjadi penting karena turut membentuk pendapat pasangan dan keluarga mengenai pemilihan pasangan hidup,” ujar Pingkan dalam peluncuran kampanye #SpeakUpForLove Closeup di Jakarta.
Di tengah gempuran persilangan budaya yang tak terelakkan ini, sebagai seorang psikolog, Pingkan menegaskan untuk tetap selektif dalam memilih pasangan. Karena saat ini pasangan bisa didapat dengan mudah seperti melalui dating apps dan media sosial.

Filosofi 3B masih sangat relevan diterapkan. Namun, dengan sedikit modernisasi seperti faktor bibit, berarti memastikan asal-usul seseorang bukanlah untuk memvalidasi stereotipe mengenai suku/ras tertentu, melainkan meyakinkan bahwa ia memiliki lingkungan atau support system yang mendorongnya untuk bertumbuh.
Ada pula bebet dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk memaksimalkan potensi diri. Sedangkan, bobot harus dipertajam dengan visi dan tujuan yang sama dengan pasangan.
Masalah perjodohan juga tidak selamanya mengekang, banyak pasangan hasil perjodohan juga menjalani kehidupan pernikahan dengan bahagia. “Perjodohan juga tidak selalu buruk, kita bisa ‘memesan’ kriteria yang kita harapkan pada pasangan ke keluarga, yang tentunya ini terjadi melalui diskusi. Lihat juga apa yang penting di kita dan di dia, jika tetap ingin mundur dari perjodohan, tetap bicarakan baik-baik,” kata Pingkan memaparkan.
Perjodohan juga tidak selalu buruk, kita bisa ‘memesan’ kriteria yang kita harapkan pada pasangan ke keluarga, yang tentunya ini terjadi melalui diskusi
PINGKAN RUMONDOR Psikolog
Intinya, Pingkan mengimbau penting bagi pasangan untuk berkomunikasi menyatukan pemahaman yang berbeda, khususnya pada keluarga dan teman dekat. Apalagi jika keluarga ternyata tidak menyetujui hubungan yang ‘beda’.
Visi dan misi dengan pasangan harus sejalan dulu, sebelum berbicara dengan keluarga. Setelah itu, baru mendengarkan pendapat keluarga, apa yang dikhawatirkan dari hubungan tersebut. Kemudian, bergantian menyampaikan pendapat dengan baik dan meyakinkan bahwa yang dikhawatirkan oleh keluarga bukan menjadi masalah.
Tunjukkan pula melalui perilaku kalau hubungan unik tersebut juga dapat membuat bahagia. Dengan demikian, keluarga dan teman terdekat pun akan menganggap perbedaan yang mencolok itu bukan masalah yang perlu dikhawatirkan pada masa depan.

Peringati Maulid Nabi, Rasulullah di Mata Pak Harto
Soeharto mencontohkan sikap Nabi Muhammad yang mencari penyelesaian secara musyawarah dan terbuka.
SELENGKAPNYABalutan Kisah Akulturasi Batik
Akulturasi budaya menghasilkan paduan gaya dengan wastra nusantara yang dapat tampil apik kekinian.
SELENGKAPNYAJumatan di Cendana, Khatibnya Pernah Jadi Tahanan Orba
Meskipun ia pernah 'disakiti' penguasa Orde Baru itu, namun ia tak pernah dendam kepada Soeharto
SELENGKAPNYA