
Nostalgia
Pro-Kontra Komunis di Kalangan Wartawan
Menjelang 1945 dan awal 1965, suhu poliitik di Tanah Air makin memanas.
OLEH ALWI SHAHAB
Pada Selasa (28/9) saya menghadiri halal bihalal pensiunan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara di Jalan Antara 59, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Gedung ini sangat bersejarah.
Dari sinilah, pada 17 Agustus 1945, setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan, naskahnya disiarkan dengan cara diselundupkan dari pengawasan Domei, kantor berita Jepang, selama masa pendudukan. Antara didirikan pada 13 Desember 1937 di Buiten Tijgenstraat 38, kini Jalan Pinangsia, Jakarta Barat. Ketika didirikan, Antara hanya memiliki satu mesin tik tua merek Royal dan mesin stensil Romeo bekas.
Saya masuk Antara pada 1962 ketika Presiden Sukarno menggabungkan kantor-kantor berita yang ada, khususnya PIA dan Antara. Sebelum digabungkan, terjadi pertentangan dua kubu di Antara: kubu Djawoto (kemudian menjadi dubes di RRC) dan kubu kontra komunis di bawah pimpinan Zein Effendi SH. Pertentangan meluas ke surat-surat kabar yang pro Djawoto dkk dan Zain Effendi dkk.
Setelah penggabungan, pertentangan tidak juga surut. Dalam suasana memanas, diperparah dengan situasi politik saat itu, Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi mengambil alih Antara di bawah Peperti (Penguasa Perang Tertinggi).
Akan tetapi, jangan dikira tidak ada lagi pertentangan setelah itu. Ita Syamsuddin, yang sebelumnya wartawati di KB PIA dalam buku Catatan Politik Pengalaman Wartawan Antara, menuturkan bahwa penggabungan itu membuat suasana kerja tidak nyaman terutama pada pihak yang tidak bersimpati pada komunis.
Malahan melalui berbagai surat kabar kiri seperti Harian Rakyat, Pemuda, dan Bintang Timur, Ita mengungkapkan, "Saya sampai ditulis sebagai ‘kolaborator Belanda’ yang keluar masuk istana seenaknya saja."
Ita memang dikenal dekat dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang memberi nama Ita, yang sebelumnya bernama Itje Syamsudin.
Ita memang dikenal dekat dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang memberi nama Ita, yang sebelumnya bernama Itje Syamsudin. Ketika Bung Karno marah besar melihat foto yang disiarkan Antara yang menggambarkan beras berceceran akan diperebutkan rakyat di tengah jalan dari truk yang datang dari Priok, Italah yang diminta untuk menyampaikan protesnya kepada Antara.
Situasi rakyat saat itu memang susah. Untuk mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari, mereka harus rela antre beras, gula, minyak tanah, dan kebutuhan pokok lainnya. Antrean semacam ini hal biasa kala itu. Saya sendiri merasa beruntung jadi wartawan Antara karena mendapat jatah beras tiap bulan.
Saya hanya sebentar meliput kegiatan Bung Karno. Itu pun setelah G-30-S dan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Kegiatan Presiden Sukarno hanya dikutip ‘secuil-secuil’ tidak lagi seperti sebelumnya di halaman muka, termasuk keharusan memuat ajaran-ajarannya.
Dari senior-senior, saya mendapat keterangan bahwa Bung Karno sangat dekat dengan para wartawan Istana. Bahkan, dia kerap memperbaiki dasi dan pakaian wartawan yang dinilainya kurang rapi.
Perhatiannya pada Antara pun sangat besar. Saat itu boleh dikatakan Antara menjadi monopoli di bidang pemberitaan baik dalam maupun luar negeri. Setiap berita besar yang dimuat Antara sekitar 40 sampai 80 persen dikutip media massa lain.
Dari senior-senior, saya mendapat keterangan bahwa Bung Karno sangat dekat dengan para wartawan Istana.
Menurut keterangan yang saya peroleh dari bagian sirkulasi, pada pukul 04.00 pagi petugas dari Tjakrabirawa pasukan khusus pengawal Presiden datang ke Antara di Pasar Baru untuk mengambil buletin Antara agar Bung Karno dapat membacanya secepat mungkin. Bung Karno kerap menggunakan kata-kata asing dan mengutip kata-kata dan pendapat tokoh masyarakat dunia.
Dia akan marah besar bila wartawan salah menulis nama orang bersangkutan. Dalam marahnya, Bung Karno pernah menyebut seorang wartawan tolol karena menambah namanya dengan kata Ahmad Soekarno.
Mungkin wartawan ini meniru harian di Timur Tengah suka menambah kata Ahmad di depan namanya. Padahal, jika sedang dekat dengan wartawan, Bung Karno sering mengajak mereka sarapan atau makan siang bersama di Istana. Tak jarang, dia mengajak wartawan keliling kota sambil memperhatikan dan minta pendapat tentang patung-patung.
Menjelang 1945 dan awal 1965, suhu poliitik di Tanah Air makin memanas. Lebih-lebih setelah terbentuknya BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme) dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Kala itu pimpinan Antara adalah Supeno.
Ketika terjadi G-30-S, pada tanggal 2 Oktober 1965 KB Antara bersama sejumlah harian dan penerbitan dilarang terbit dan baru terbit kembali 11 Oktober 1965.
Dalam rapat pimpinan Antara, dia mengusulkan agar apa yang disebutnya unsur-unsur BPS-Manikebu serta partai terlarang (maksudnya Masyumi, PSI dan Murba), dipecat tidak hormat. Pandu Kartawiguna yang juga salah satu pendiri Antara dan pejuang kemerdekaan diberhentikan dengan cara yang tidak sopan.
Dia diberhentikan sebagai Pemimpin Umum Kantor Berita Antara dengan selembar memo oleh Menlu Subandrio, anggota Dewan Pengawas Antara. Saya sendiri yang pernah bertugas di bagian sekretariat pimpinan mengenal Pak Pandu sebagai orang yang santun, jujur, dan religius.
Ketika terjadi G-30-S, pada tanggal 2 Oktober 1965 KB Antara bersama sejumlah harian dan penerbitan dilarang terbit dan baru terbit kembali 11 Oktober 1965. Larangan ini dikeluarkan oleh Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jakarta Raya. Yang terbit hanya Harian Angkatan Bersenjata milik ABRI dan Berita Yudha (Angkatan Darat).
Setelah G-30-S, PU Antara dipegang oleh Letkol M Noor Nasution. Terjadilah kepanikan dan wartawan/karyawan Antara berdebar-debar setelah selama beberapa hari mereka yang dinilai dekat dengan kelompok kiri ditangkap dan digiring ke penjara. Jumlahnya 147 orang.
Terjadilah kepanikan dan wartawan/karyawan Antara berdebar-debar setelah selama beberapa hari mereka yang dinilai dekat dengan kelompok kiri ditangkap dan digiring ke penjara. Jumlahnya 147 orang.
Saya menilai di antara mereka hanya menjadi korban politik dan ikut-ikutan karena situasi poliitik kala itu. Seperti A Kadir Said yang setelah dibebaskan dari penjara menjadi khatib di berbagai masjid di Jakarta.
Sugiarto Sriwibowo yang pernah menjadi wartawan Istana sering saya jumpai saat shalat Jumat di Masjid Kwitang. Wikarlan, seniman bekas meja sunting dalam negeri Antara, sempat pula mengatakan, "Untuk bertahan hidup beserta keluarga, saya harus bekerja menjadi kuli kusir."
Masih banyak lagi yang nasibnya demikian. Saya memasuki pensiun di Antara setelah diperpanjang setahun pada September 1992. Hanya menikmatinya satu bulan, November 1992 saya ikut mempersiapkan HU Republika atas permintaan Pak Parni Hadi, yang kelak menjadi pemimpin redaksi harian ini.
Disadur dari Harian Republika edisi 03 Oktober 2010. Alwi Shahab merupakan wartawam Republika sepanjang zaman yang wafat pada 2020
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ade Irma Suryani: Anak Periang Korban G30S
Walaupun Ade luka parah, tapi dia tidak pingsan sama sekali.
SELENGKAPNYAMisteri Cakra Madura pada G30S
Mengapa Kompi Pasopati yang dipimpin Lettu Dul Arief yang ditugaskan menculik para jenderal?
SELENGKAPNYAKekejaman PKI dari Masa ke Masa
Penyiksaan sebelum pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965.
SELENGKAPNYA