
Sirah
Rithah al-Hamqa, Perempuan Pemintal Benang
Rithah membawa sekantung uang untuk membeli benang sebanyak-banyaknya.
Perempuan itu merasa hampa. Bertahun-tahun dia menunggu dan berharap ada seorang laki-laki yang meminangnya, namun tidak ada seorang pun yang datang. Padahal Rithah adalah seorang perempuan kaya raya dari Bani Mahzum.
Wajahnya pun tidak buruk. Dia merasa sangat sedih. Hingga setiap hari dia memandang dirinya di cermin dan bertanya-tanya apa yang salah dari dirinya. Mengapa sampai di usianya yang tidak bisa dibilang muda lagi, belum juga ada seseorang yang berniat menikahinya.
Sang ayah, Umar, pun bertekad menemukan seorang laki-laki yang mau menikahi anaknya. Dia berjanji akan mengunjungi berhala-berhala setiap hari untuk mendoakan Rithah. Memberikan dirham yang banyak kepada pengawalnya dan melumuri kedua kaki berhala itu dengan darah kambing yang gemuk. Namun, para berhala itu tak kunjung mengabulkan doanya.
Kondisi itu juga mengusik ibunya. Dia menemui semua ahli nujum dan dukun di Makkah. Suatu hari sang ibu menemui seorang ahli nujum di biaranya yang terletak di Thaif. Sang ibu menyelipkan sekerat emas ke tangan ahli nujum itu agar dia mau membaca masa depan anaknya. Ahli nujum itu pun berkata bahwa dalam waktu dekat Rithah akan menikah. Seorang laki-laki akan datang untuk meminangnya pada bulan purnama.
Namun, ramalan itu tidak terbukti. Purnama demi purnama datang dan pergi, namun sang pria yang dijanjikan tidak pernah datang. Usia Rithah pun semakin tua. Sementara, ibu dan ayahnya telah meninggal. Dia kesepian.
Suatu hari, seorang kerabatnya yang tinggal di perkampungan Bani Tamim datang berkunjung. Dia tidak datang sendiri, tetapi bersama seorang pria muda yang diperkenalkan sebagai putranya, bernama Sukhr.
Tak lama, mereka datang lagi dengan maksud untuk melamar Rithah. Betapa senangnya Rithah. Akhirnya doanya terjawab juga. Rithah pun pergi menemui berhala-berhala di Ka'bah untuk mempersembahkan korban sebagai bentuk rasa syukurnya.
Meskipun telah berstatus sebagai istri orang, namun Rithah merasa aneh. Dia tidak merasa bahagia. Suatu hari, sang suami terlihat bosan. Rithah pun bertanya apa yang menggangu pikiran suaminya itu. Sukhr pun berkata bahwa dia ingin pergi ke Syam untuk berdagang. Dia meminta sejumlah uang kepada Rithah untuk mempersiapkan kafilah ke Syam. Sukhr pun berjanji akan kembali dalam satu hingga dua bulan.

Rithah merasa sedih dengan kepergian sang suami. Sukhr pun tidak kunjung pulang hingga lebih dari tiga bulan. Dia bertanya kepada setiap penduduk Makkah yang datang dari Syam. Namun, jawaban mereka mengejutkan Rithah.
“Sukhr tidak pergi dengan kafilah mana pun,” kata orang-orang. Rithah lalu memutuskan untuk pergi ke kampung halaman suaminya di Bani Tamin.
Namun, betapa kecewanya hati Rithah ketika berjumpa dengan Sukhr. Sukhr tidak menginginkan Rithah lagi sebagai istrinya. Dia menyebut Rithah sebagai perempuan tua yang tidak pantas mendampingi dirinya yang masih muda itu. Bahwa, pernikahan tersebut terjadi hanya karena dia dan ibunya menginginkan harta Rithah yang melimpah ruah. Sukhr pun meninggalkannya dan tidak pernah lagi muncul di hadapan Rithah.
Meskipun demikian, Rithah tidak mampu menyembunyikan cintanya pada Sukhr. Dia terus mencari tahu keberadaan mantan suaminya itu kepada kaumnya. Dia mendapatkan jawaban bahwa Sukhr telah diusir dari kampungnya bersama teman-temannya karena telah berbuat kejahatan. Sukhr kini hidup bersama orang-orang miskin yang diasingkan.
Mendengar kabar tersebut, Rithah merasa sedih. Kini, tidak ada harapan lagi baginya untuk memperbaiki hubungannya dengan sang suami.
Rithah meratapi nasibnya. Dia menangis siang dan malam dan tidak mau keluar dari kamarnya. Dia juga menolak makan dan minum. Suatu hari, tangannya meraih alat pemintal yang biasa digunakan oleh ibunya untuk memintal sutera.
Dengan jari-jarinya dia mulai memutar alat itu. Dia memintal sepotong bulu domba. Namun, setelah selesai memintal bulu-bulu tersebut, Rithah mengusutkannya lagi.
Esok harinya, Rithah membawa sekantung uang untuk membeli benang sebanyak-banyaknya. Dia juga menemui gadis-gadis untuk disuruhnya memintal. Mereka diberi upah masing-masing satu dirham setiap harinya. Setiap pagi gadis-gadis itu datang ke rumah Rithah. Rithah akan duduk di tengah-tengah mereka dan memintal bersama.
Pada malam hari, ketika gadis-gadis tersebut pulang, Rithah kembali sendirian. Matanya terpaku memandang bulu domba yang telah dipintalnya sambil bertanya-tanya dalam hati.
“Untuk siapakah dia memintal? Apakah dia kekurangan harta. Padahal, Sukhr telah banyak mencuri hartanya tetapi hartanya masih banyak juga. Apakah dia menenunnya untuk membuat pakaian? Untuk siapa pakaian itu?
Untuk dirinya, agar dia dapat berhias diri? Tetapi, untuk siapa dia berdandan? Untuk suaminya? Bukankah suaminya telah menipu? Untuk anaknya? Bukankah dia tak mempunyai anak? Kalau begitu, untuk siapa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu seolah-olah petir yang memekakkan kedua telinganya. Tanpa disadari, dia menjulurkan kedua tangannya meraih benang-benang yang telah dipintalnya sepanjang hari itu, kemudian menceraikannya kembali satu persatu.
Esoknya Rithah menyuruh gadis-gadis itu memintal kembali. Lalu, malamnya Rithah kembali menghancurkannya. Begitu terus setiap hari. Hingga Rithah meninggal. Kesepian ternyata telah membuat mentalnya terganggu.
Kisah Rithah tersebut dikisahkan dalam Alquran surah an-Nahl ayat 92. “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya, Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
Kita lihat apa kata para mufasir mengenai ayat ini. Abdullah bin Kathir and As-Suddi mengomentari dengan kata-kata berikut. “Ayat ini adalah mengenai kisah seorang perempuan bodoh di Makkah. Tiap kali dia memintal benang dan menjadikannya kuat, dia mengurainya lagi.” Itulah mengapa Rithah kemudian dijuluki al-Hamqa, yang bodoh.
Sedangkan Mujahid, Qatadah, dan Ibn Zayd mengatakan dengan rujukan yang berbeda. “Ayat ini adalah mengenai orang yang menepati perjanjian yang telah disepakati.”
Beberapa mufasir lebih menyepakati pemahaman kedua mengingat kaitannya dengan kalimat berikutnya, tak masalah apakah kisah mengenai perempuan Makkah pada masa jahiliyah yang frustrasi dengan pemintalan benang itu benar terjadi atau tidak.
Sementara itu, Ibnu Abu Hatim meyakini kisah mengenai perempuan stres gara-gara cinta itu memang terjadi, namun dengan nama yang berbeda. Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Abu Bakar bin Abu Hafsah yang menceritakan bahwa ada seorang perempuan yang dikenal dengan nama Saidah al-Asadiyah. Ia adalah wanita yang gila, pekerjaan sehari-harinya hanyalah mengumpulkan rambut dan serat-serat.

Jangan mencintai dunia berlebihan
Benar tidaknya kisah mengenai Rithah atau Saidah al-Asadiyah, jalan ceritnya mengajarkan bahwa hanya Allah yang mampu mengabulkan doa seseorang. Bahwa para ahli nujum dan berhala-berhala tidak patut dipercaya serta disembah. Seperti difirmankan dalam surah al-Baqarah ayat 186.
“Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah bahawa Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepada-Ku ….” Kepada Dialah asa semestinya digantungkan karena Allah menyukai orang-orang yang berdoa kepada-Nya dan Allah tidak akan pernah ingkar janji.
Melalui kisah ini, kita juga diingatkan untuk tidak cepat berputus asa dan selalu bersabar atas segala cobaan yang datang, seperti dinukilkan dari surah al-Baqarah ayat 45. “Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya yang demikian itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabbnya dan mereka akan kembali pada-Nya.”
Selain itu, sentiasa bersangka baik (husnudzan) kepada-Nya. Karena, sesuatu yang kita cintai atau sesuatu yang kita anggap baik (jodoh) belum tentu baik bagi kita menurut Allah. Begitu pula sebaliknya. Sesuatu yang kita anggap buruk bagi diri kita belum tentu buruk menurut Allah.
“Boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal sesuatu itu amat buruk bagimu dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Kamu tidak mengetahui sedangkan Allah Maha Mengetahui,” demikian surah al-Baqarah ayat 216.
Kisah Rithah juga mengingatkan agar kita selalu mengarahkan cinta (mahabbah) tertinggi kita kepada yang memang berhak memilikinya. Cinta Rithah yang begitu tinggi justru diarahkan kepada manusia, yaitu suaminya yang justru tak pernah mau mencintainya. Hal ini justru membuatnya hilang akal.
Cinta yang tertinggi hanya patut dipersembahkan untuk Allah. “Ada pun orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah,” tulis surah al-Baqarah ayat 165.
Mutiara Ramadhan
Sesungguhnya di dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Ar-Rayyan, yang pada Hari Kiamat orang-orang yang berpuasa masuk ke surga melalui pintu tersebut... HR ALBUKHARI No.1896
HIKMAH RAMADHAN

Memahami Makna Ramadhan
Ramadhan hadir untuk membakar dosa-dosa para hamba Allah.
Ramadhan hadir untuk membakar dosa-dosa para hamba Allah.