Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Duduk Perkara Harga BBM: Indonesia Vs Malaysia

Pada 2021, Malaysia mengeluarkan subsidi BBM Rp 27,8 triliun dan tahun ini Rp 99,56 triliun.

OLEH SUNARSIP

Pasca pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM sekitar 30 persen pada 3 September 2022, muncul penolakan sejumlah kalangan. Penolakan itu sebenarnya wajar karena didasari kekhawatiran kebijakan tersebut akan menurunkan daya beli masyarakat. Terlebih, kita dapat dikatakan baru sembuh akibat pandemi selama dua tahun terakhir.

Pemerintah, saya yakin, juga menyadari ini. Namun, kebijakan ini perlu diambil karena tidak mungkin APBN menanggung beban subsidi dan kompensasi energi yang begitu besar (sekitar Rp 700 triliun), sementara banyak agenda strategis lain yang memerlukan alokasi anggaran yang cukup.

Menyadari kenaikan harga BBM akan berdampak terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin, pemerintah pun menyiapkan langkah mitigasi. Kita telah memiliki pengalaman yang baik dalam mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM.

Sejak 2005, pemerintah telah menciptakan berbagai skim bantuan, seperti BLT, yang terbukti efektif mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Sejak 2006, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai subsidi, seperti melalui KUR, KPR bersubsidi, dan lainnya bagi kelompok masyarakat menengah yang lebih produktif dan tepat sasaran. Kini, pemerintah bahkan menambah manfaat dari berbagai skim tersebut.

 

 
Sejak 2005, pemerintah telah menciptakan berbagai skim bantuan, seperti BLT, yang terbukti efektif mengatasi dampak kenaikan harga BBM.
 
 

Sayangnya, di tengah aksi penolakan ini, berkembang pula informasi yang tidak tepat terkait harga BBM yang menimbulkan disinformasi. Di masyarakat kini beredar informasi mengenai perbandingan harga BBM kita dengan harga BBM di Malaysia: mengapa di Malaysia bisa lebih murah?

Perbandingan harga BBM itu tidak salah, karena faktanya harga BBM di Malaysia memang lebih rendah. Namun, kesimpulan yang berkembang terkait perbedaan harga BBM ini banyak yang menyesatkan karena tidak melihat kondisi sektor migas (hulu dan hilir) secara utuh antara di Indonesia dan Malaysia.

Perlu dipahami bahwa sejak 2004, Indonesia telah berubah status dari negara pengekspor minyak (net oil exporter) menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer). Penyebabnya adalah kemampuan produksi migas kita di sisi hulu (upstream) maupun hilir (downstream) yang cenderung menurun.

Dari sisi hulu, produksi minyak mentah (crude) kita cenderung menurun. Di sisi hilir, terlihat dari kapasitas kilang pengolahan minyak (refinery) kita yang relatif tidak bertambah sehingga tidak menambah kemampuan produksi BBM secara signifikan.

 

 
Perlu dipahami bahwa sejak 2004, Indonesia telah berubah status dari negara pengekspor minyak (net oil exporter) menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer).
 
 

Penguasaan hulu migas sangat mempengaruhi proses pembentukan harga BBM. Semakin besar kebutuhan BBM di dalam negeri, semakin besar pula crude yang harus dihasilkan. Malaysia adalah negara dengan konsumsi BBM yang jauh lebih sedikit dibanding Indonesia.

 

Jumlah kendaraan bermotor di Malaysia, hanya 1/5 dari jumlah kendaraan bermotor di Indonesia yang mencapai sekitar 150 juta. Karena kebutuhan konsumsi BBM di Indonesia jauh lebih besar, sekitar 1,5 juta barel per hari (bph), tentunya penguasaan crude oleh Indonesia seharusnya lebih besar.

Sayangnya, kemampuan produksi crude kita justru menurun, dari lifting sekitar 1 juta bph pada awal 2000 menjadi sekitar 630 ribu bph saat ini. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan BBM-nya, Indonesia harus impor, baik crude maupun BBM.

Biaya impor sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga di pasar dunia dan nilai tukar rupiah. Nah, ketika harga crude sedang tinggi serta nilai tukar rupiah melemah, seperti yang terjadi saat ini, maka biaya pengadaan BBM juga naik, yang semestinya diikuti pula oleh kenaikan harga BBM.

 

 
Nah, ketika harga crude sedang tinggi serta nilai tukar rupiah melemah, seperti yang terjadi saat ini, maka biaya pengadaan BBM juga naik, yang semestinya diikuti pula oleh kenaikan harga BBM.
 
 

 

Selain konsumsi BBM-nya yang jauh lebih kecil, penguasaan Malaysia di hulu migas (crude) juga besar. Melalui Petronas, Malaysia menguasai banyak ladang minyak di dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi ini menyebabkan oil security di Malaysia relatif lebih baik.

Malaysia dan Petronas juga menghadapi kenaikan biaya produksi BBM, ketika harga minyak dunia meningkat dan nilai tukar ringgit melemah, seperti saat ini. Namun Malaysia memilih tidak menaikkan harga BBM karena pemerintah Malaysia dan Petronas mampu menanggung dampak kenaikan biaya produksi tersebut.

Petronas, dengan penguasaan hulu migasnya yang besar memperoleh windfall akibat kenaikan harga minyak dunia. Petronas menggunakan windfall itu untuk mengkompensasi kenaikan biaya produksi BBM bagi kebutuhan domestiknya. Windfall Petronas juga turut meningkatkan pendapatan APBN Malaysia melalui pajak dan non-pajak. Pemerintah Malaysia menggunakan kenaikan pendapatan tersebut untuk meningkatkan subsidi BBM. 

Sebagai informasi, pada 2021, pemerintah Malaysia mengeluarkan subsidi BBM sebesar Rp 27,8 triliun dan pada tahun ini pemerintah Malaysia meningkatkan subsidi BBM-nya hampir 4 kali lipat menjadi Rp 99,56 triliun.

Salah satu faktor yang menyebabkan kita tertinggal di sisi hulu migas adalah iklim investasi migas kita yang masih kurang kompetitif. Cadangan migas kita, terutama gas, masih melimpah tapi belum tergarap. Sayangnya, kegiatan eksplorasi di Indonesia dinilai masih merupakan salah satu yang paling memberatkan (punitive) di dunia. Malaysia, misalnya, telah berhasil dalam kegiatan eksplorasi dan pengembangan blok migas baru dengan penerapan sistem insentif fiskal yang selektif.

 
Pada 2021, pemerintah Malaysia mengeluarkan subsidi BBM Rp 27,8 triliun dan pada tahun ini pemerintah Malaysia meningkatkan subsidi BBM-nya hampir 4 kali lipat menjadi Rp 99,56 triliun.
 
 

Di sisi hilir migas, Malaysia dengan jumlah penduduk hanya sekitar 1/5 dari jumlah penduduk Indonesia memiliki kilang minyak dengan kapasitas 700 ribu bph. Tahun ini, Petronas bekerja sama dengan Aramco memulai membangun kilang baru dengan kapasitas 300 ribu bph. Malaysia telah menjadi negara pengekspor BBM (fuels exporter).

Sedangkan Indonesia hanya memiliki kilang dengan kapasitas 1 juta bph, itu pun tidak dapat berproduksi maksimal karena faktor usia. Tak mengherankan bila kita terpaksa mengimpor BBM yang harganya juga mengikuti volatilitas harga dunia.

Perbedaan kondisi di Malaysia dan di Indonesia ini mendorong munculnya beberapa pandangan yang kurang proporsional kepada Pertamina: mengapa tidak bisa seperti Petronas? Tentu banyak hal yang saling terkait dengan perbedaan kondisi Pertamina dan Petronas.

Berbagai faktor tersebut bermuara pada komitmen dari para pemangku kepentingan. Pertamina memiliki kemampuan investasi yang terbatas untuk mengembangkan bisnisnya (hulu dan hilir). Rezim fiskal kita, misalnya, terlihat lebih mengarusutamakan pendapatan APBN dibanding memberikan ruang investasi lebih luas bagi Pertamina. Sejauh ini, Pertamina lebih banyak menjadi cash cow pemerintah melalui dividen. Kondisi ini sangat berbeda ketika pemerintah Malaysia mengembangkan Petronas.

 
Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pemerintah pernah menarik dividen hampir 100 persen dari laba di Pertamina. Kejadiannya pada 2006, di mana pemerintah menarik dividen hingga 93 persen dari laba Pertamina. 
 
 

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pemerintah pernah menarik dividen hampir 100 persen dari laba di Pertamina. Kejadiannya pada 2006, di mana pemerintah menarik dividen hingga 93 persen dari laba Pertamina. 

Arus kas (cash flow) Pertamina juga turut ditentukan oleh kelancaran pembayaran subsidi dan kompensasi dari pemerintah. Konsekuensinya, ruang investasi Pertamina menjadi terbatas. Jadi, tidak mengherankan bila Pertamina belum mampu menggarap sektor hulu dan hilir migas kita secara maksimal.

Tentu kurang tepat bila membandingkan Pertamina dengan Petronas dengan pola pikir pendekatan harga BBM. Mengingat keberadaan Pertamina memiliki arti strategis bagi ketahanan energi nasional, memang sudah saatnya dipikirkan untuk melakukan perubahan terhadap rezim fiskal kita, baik yang menyangkut kebijakan fiskal sektoral migas maupun kebijakan fiskal bagi BUMN energi khususnya yang menyangkut dividen maupun suntikan modal. 

Agar Gaji tak Numpang Lewat

Jika berbicara soal finansial secara utuh, maka itu adalah tentang masa kini dan nanti.

SELENGKAPNYA

Ekonomi Global Masih Tertekan

Ketidakpastian ekonomi juga menghantui masa depan negara-negara maju.

SELENGKAPNYA

Menghitung Laju Inflasi

Pemerintah berupaya menekan inflasi di bawah tujuh persen.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya