Seekor sapi kurban jenis simmental yang telah dibeli oleh Presiden Jokowi berada di Rumah Potong Hewan (RPH) Cirangrang untuk disembelih di Jalan Raya Kopo, Babakan Ciparay, Kota Bandung, Senin (11/7/2022). Presiden RI Joko Widodo menyumbangkan satu ekor | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Dialektika

Ekonomi Kurban 2022

Kurban tidak hanya ritual ibadah, tapi telah menjadi tradisi sosial-ekonomi besar tahunan.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS

Kurban tidak hanya ritual ibadah, tapi telah menjadi tradisi sosial-ekonomi besar tahunan. Sebagai negara Muslim terbesar dan sekaligus salah satu perekonomian terbesar di dunia, potensi kurban di Indonesia adalah signifikan.

Karenanya jika terkelola dengan baik, semestinya mampu menjadi kekuatan ekonomi yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan mustahik, tapi juga memberdayakan peternak rakyat yang tingkat kesejahteraannya juga rendah. Dibutuhkan rekayasa sosial agar kurban tidak hanya menjadi pranata keagamaan semata, tapi juga pranata ekonomi yang mensejahterakan.

Dan di masa pandemi kini, upaya mengarusutamakan kurban sebagai pranata sosial-ekonomi ini semakin menemukan relevansi dan urgensinya.

photo
Peternak memberikan pakan hewan kurban di tempat penjualan hewan kurban di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Republika/Thoudy Badai - (Republika/Thoudy Badai)

Potensi Kurban 

IDEAS memproyeksikan potensi ekonomi kurban Indonesia tahun 2022 ini sebesar Rp 24,3 triliun yang berasal dari 2,17 juta pekurban (shahibul qurban). Proyeksi ini meningkat tipis dari tahun lalu yang kami estimasikan mencapai Rp 22,3 triliun dari 2,11 juta orang pekurban. 

Meski tahun ini keberangkatan jamaah haji ke Tanah Suci sudah kembali dibuka dan pandemi telah mereda, tapi terhambatnya pemulihan pasca pandemi akibat krisis global, melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga pangan dan energi, serta penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), menyebabkan kami mengambil estimasi kenaikan yang konservatif.

Penyebaran wabah PMK yang marak dalam beberapa bulan terakhir berpotensi memberi tekanan pada harga hewan ternak akibat pembatasan mobilitas hewan ternak serta minimnya pasokan akibat terbatasnya hewan ternak yang bebas penyakit.

photo
Proyeksi Kurban Indonesia di Tengah Pemulihan Pasca Pandemi. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dari 2,17 juta keluarga Muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi menjadi shahibul qurban ini, kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing-domba sekitar 1,31 juta ekor, sedangkan sapi-kerbau sekitar 519 ribu ekor.

Dengan asumsi berat kambing-domba 20-80 kg dengan berat karkas 41 persen serta berat sapi-kerbau antara 250-750 kg dengan berat karkas 57 persen, maka potensi ekonomi kurban 2022 dari sekitar 1,8 juta hewan ternak ini setara dengan 106,2 ribu ton daging. 

Potensi kurban terbesar datang dari Pulau Jawa, terutama wilayah aglomerasi di mana mayoritas kelas menengah Muslim dengan daya beli tinggi berada. Potensi kurban di Pulau Jawa kami proyeksikan terdiri dari 396 ribu sapi-kerbau dan 936 ribu kambing-domba, senilai Rp 18,3 triliun, setara 80,4 ribu ton daging.

Potensi kurban Jawa terbesar datang dari Jabodetabek, yaitu 117 ribu sapi-kerbau dan 280 ribu kambing-domba, senilai Rp 5,3 triliun, setara 24 ribu ton daging. Potensi kurban Jawa terbesar lainnya datang dari Bandung Raya, Surabaya Raya, Yogyakarta Raya, Malang Raya, dan Semarang Raya. 

Urgensi Intervensi

Indonesia sejak lama mengalami kesenjangan konsumsi makanan yang lebar, yang berakar dari kesenjangan pendapatan. Kesenjangan dalam konsumsi makanan terlihat jelas pada jenis makanan penting yang harganya mahal sehingga tidak mampu dijangkau masyarakat kelas bawah, seperti daging.

Pada 2021, rata-rata penduduk di persentil tertinggi (1 persen kelas terkaya) mengonsumsi 4,52 kg daging kambing dan sapi per tahun, 230 kali lebih tinggi dari rata-rata penduduk di persentil terendah (1 persen kelas termiskin) yang hanya mengonsumsi 0,02 kg daging per tahun. 

Dengan krisis kini yang keras menghantam terutama ke kelompok miskin, kesenjangan konsumsi daging cenderung semakin memburuk. Maka kehadiran kurban di tengah pemulihan pasca pandemi menjadi sangat berarti bagi si miskin.

Kurban berpotensi berpotensi besar memperbaiki akses kelompok miskin pada pangan penting yang harganya mahal ini. Akses yang lebih merata akan menurunkan tingkat ketimpangan konsumsi daging. Ketimpangan konsumsi daging sapi, yang diukur dengan rasio gini, adalah sangat tinggi, di atas 0,6.

photo
Urgensi Intervensi Pangan Bergizi. Kesenjangan konumsi daging dan potensi kurban untuk intervensi gizi. Data diola IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dengan potensi besar kurban di satu sisi dan rendahnya konsumsi daging masyarakat, terdapat peluang besar untuk menurunkan ketimpangan konsumsi daging yang sangat tinggi antara kelas bawah dan kelas atas. Hal ini dapat terjadi ketika kita memfokuskan pendistribusian daging kurban pada kelompok masyarakat dengan konsumsi daging terendah. 

Pada 2021, kami mengidentifikasi setidaknya terdapat 74,4 juta orang mustahik yang merupakan kelompok dengan konsumsi daging terendah, karenanya paling berhak menerima daging kurban. Mustahik paling tepat menerima daging kurban ini, yaitu 5,8 juta mustahik miskin ekstrem (di bawah 0,8 garis kemiskinan/GK), 12,4 juta mustahik miskin (0,8 – 1,0 GK), 16,6 juta mustahik hampir miskin (1,0-1,2 GK), dan 39,6 juta mustahik rentan miskin (1,2-1,6 GK).

Secara umum, kelas menengah memiliki konsumsi daging yang juga rendah, sebagaimana kelas bawah, dan karenanya berhak atas alokasi daging kurban. Namun kelas menengah diduga kuat telah memiliki konsumsi yang tinggi untuk daging olahan seperti bakso, nugget, sosis, serta daging unggas, terutama ayam, dan ikan.

Jika kita dapat melakukan pentargetan secara sempurna kepada 74,4 juta mustahik prioritas, di mana mustahik dengan kelas lebih rendah mendapatkan alokasi daging kurban yang lebih banyak, maka kesenjangan konsumsi daging berpotensi kuat dapat diturunkan secara signifikan.

Simulasi kami menunjukkan, jika dapat dilakukan rekayasa sosial dalam pendistribusian daging kurban, yang mengizinkan penargetan secara sempurna kepada 74,4 juta mustahik prioritas, maka kesenjangan konsumsi daging yang diukur dalam gini rasio berpotensi turun signifikan, dari 0,62 menjadi 0,41.

photo
Daging untuk Semua. Potensi dampak rekayasa sosial distirubusi kurban terhadap ketimpangan konsumsi daging. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Urgensi Rekayasa Sosial

Konsumsi pangan bergizi tinggi berperan penting dalam sistem pertumbuhan dan pertahanan tubuh manusia. Daging adalah sumber protein terbaik, sedangkan telur dan susu adalah sumber nutrisi penting yang lengkap.

Maka rendahnya konsumsi daging akan berimplikasi pada buruknya kualitas asupan gizi, terutama bagi anak yang dapat menurunkan tingkat kecerdasan mereka secara permanen. Tingkat kesehatan yang rendah di masa kecil akan membawa pada status sosial ekonomi yang rendah di masa dewasa, karena jalur kesehatan seseorang banyak terbentuk di masa kecilnya.

Mengacu pada Pedoman Angka Kecukupan Gizi dari Kemenkes (2019), konsumsi ideal untuk asupan gizi protein rata-rata di kisaran 70 gram per hari atau 2,1 kg per bulan, setara 25,2 kg per tahun. 

Dengan potensi daging yang signifikan, mencapai 106,2 ribu ton, maka kurban berpotensi memperbaiki tingkat gizi dan kesehatan masyarakat, terutama kelompok termiskin. Namun potensi kurban terdistribusi amat tidak merata, dengan kesenjangan potensi yang lebar antara daerah metropolitan utama Jawa dengan wilayah lainnya.

photo
Kebutuhan Rekayasa Sosial Kurban. Kesenjangan potensi dan kebutuhan daging kurban antar daerah. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Di sisi lain, potensi mustahik (penerima) kurban juga terdistribusi tidak merata. Potensi mustahik kurban terbesar secara umum datang dari daerah pedesaan Jawa dan luar Jawa.

Kesenjangan konsumsi daging di Indonesia adalah tinggi, tidak hanya terjadi antar kelas ekonomi, tapi juga antardaerah. Lebih jauh, kesenjangan konsumsi daging antardaerah tidak hanya terjadi antara Jawa dan Luar Jawa, bahkan juga terjadi antardaerah di Jawa.

Sebagai misal, pada 2021, konsumsi rata-rata daging di Jakarta Pusat tercatat 1,73 kg per tahun, 40 kali lebih tinggi dari konsumsi Kabupaten Pandeglang yang tercatat hanya 0,04 kg per tahun. 

Tanpa rekayasa sosial, distribusi daging kurban berpotensi hanya beredar di wilayah yang secara rata-rata konsumsi dagingnya justru sudah tinggi. Daerah-daerah surplus daging kurban terbesar seluruhnya tercatat sebagai wilayah dengan konsumsi daging yang tertinggi, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Sebaliknya, daerah-daerah defisit daging kurban terbesar seluruhnya tercatat sebagai wilayah dengan konsumsi daging yang terendah seperti Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Ngawi.

photo
Tebar Kurban ke Pelosok Negeri. Proyeksi daerah utama surplus-defisit daging kurban di Jawa. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Kesenjangan antara potensi dan kebutuhan daging kurban ini menimbulkan potensi distribusi kurban yang tidak merata. Dengan membandingkan antara potensi dan kebutuhan daging kurban, terdapat 3 tipologi daerah.

Pertama adalah daerah surplus. Sebagai misal, Kota Bandung berpotensi menghasilkan 4.672 ton daging kurban. Namun kebutuhan mustahiknya hanya 780 ton, sehingga terdapat potensi surplus 3.893 ton daging.

Kedua adalah daerah defisit. Sebagai misal, Kabupaten Brebes hanya berpotensi menghasilkan 481 ton daging kurban. Namun kebutuhan mustahiknya mencapai 1.399 ton, sehingga terdapat potensi defisit 918 ton daging.

Ketiga adalah daerah netral. Sebagai misal, Kabupaten Bogor berpotensi menghasilkan 3.388 ton daging, tapi kebutuhan mustahiknya mencapai 3.086 ton, nyaris setara. Secara singkat, terdapat potensi mismatch yang besar dalam penyaluran daging kurban jika tidak dilakukan rekayasa sosial. 

Dari simulasi kami, daerah dengan potensi surplus kurban terbesar didominasi daerah metropolitan Jawa, seperti Jakarta (7.451 ton) dan Bandung, Cimahi dan Kabupaten Sumedang (6.804 ton). Daerah surplus kurban terbesar lainnya adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul (4.146 ton), Bogor, Depok dan Kabupaten Sukabumi (2.892 ton), Bekasi (2.135 ton), Kota Tangerang dan Tangerang Selatan (2.048 ton), Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo (2.036 ton) dan Kota Semarang (1.369 ton).

Sementara itu, daerah dengan potensi defisit kurban terbesar didominasi daerah pedesaan Jawa, antara lain, kawasan utara Jawa Timur, yaitu Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep (-2.795 ton), kawasan utara Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Pekalongan (-2.612 ton), Kabupaten Grobogan.

Blora, Pati, Jepara, dan Kudus (-2.460 ton), kawasan timur Jawa Timur, yaitu Kabupaten Jember, Bondowoso dan Probolinggo (-1.807 ton), kawasan utara Jawa Barat, yaitu Kabupaten Karawang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon (-1.572 ton), serta wilayah barat Banten, yaitu Kabupaten Tangerang, Serang dan Pandeglang (-1.526 ton).

Kemiskinan Jawa yang sangat masif menuntut kemampuan identifikasi mustahik yang sempurna bagi pengelola hewan kurban. Sedangkan kemiskinan luar Jawa menuntut kemampuan membuka akses keterpencilan dan keterisoliran yang kuat.

Dengan demikian, ketepatan pendistribusian kurban kepada sasaran yang paling berhak menjadi krusial dan menjadi salah satu indikator terpenting pelaksanaan kurban. Jika dapat dilakukan perfect targeting kepada kelompok masyarakat yang paling berhak dengan diiringi pembedaan jumlah daging kurban sesuai kebutuhan mustahik, maka kemanfaatan daging kurban akan menjadi optimal.

Ujian Berikutnya, Apri/Fadia!

Apri/Fadia memang layak mendapat ucapan dan acungan jempol.

SELENGKAPNYA

Lonjakan Harga Bebani Pedagang dan Konsumen

Pemerintah diminta memberikan perlakuan khusus terhadap cabai dan bawang merah. 

SELENGKAPNYA

Indonesia Taklukkan Saudi di Laga Perdana

Para penggawa tim basket Indonesia bermain dengan baik tanpa melakukan kesalahan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya